Komprehensi-komprehensi yang digunakan dalam akhlak seperti “baik”, “buruk”, “harus”, “tidak boleh”, “benar”, “tidak benar”, “tugas”, dan “tanggung jawab”, semuanya merupakan komprehensi-komprehensi khusus yang mempunyai makna dan pengertian masing-masing. Pemahaman-pemahaman nilai ini memiliki faedah dalam penggunaannya ketika mempunyai basis dan landasan ontologis, sehingga jika seseorang melanggar nilai-nilai akhlak, ia akan merasakan konsekuensi dari pelanggarannya dalam bentuk penderitaan atau kepedihan hidup serta jauh dari kebahagiaan.
Fitrah manusia dan pengajaran yang didapatkannya dari agama, dapat menjadi penjamin atas pengamalan dan perealisasian perbuatan-perbuatan akhlak. Pahala dan balasan, dengan tidak melihat wilayah aktualitasnya, mempunyai dampak atas perealisasian nilai-nilai akhlak di tengah masyarakat apatah lagi dengan adanya sangsi-sangsi sosial seperti pujian terhadap pelaku akhlak baik dan celaan terhadap para pelaku akhlak buruk. Namun yang paling urgen dalam masalah ini adalah keberadaan Tuhan yang menjadi asumsi dan postulat agama yang dapat menjadi penjamin utama bagi pelaksanaan perbuatan-perbuatan akhlak baik dan pengaman ampuh untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan akhlak buruk.
Sangat banyak dari komprehensi-komprehensi agama bisa berpengaruh dalam masalah-masalah akhlak. Misalnya, ketika kita mengatakan perbuatan benar adalah perbuatan yang diperintahkan Tuhan, di sini kita membawa keberadaan Tuhan secara langsung dalam masalah akhlak. Tetapi terkadang kita mengatakan perbuatan benar adalah perbuatan yang menjamin kebahagiaan abadi manusia maka di sini kita tidak berbicara secara langsung tentang Tuhan, tetapi salah satu dari doktrin lain agama; yakni kita menerima postulat tentang kehidupan abadi manusia. Yakni kita menerima secara yakin bahwa manusia setelah mati dan meninggalkan alam materi ini, ia akan melewati kehidupan lain yang abadi dan lestari, dan di sana ia akan mendapatkan pahala kebahagiaan atau balasan kesengsaraan.
Berkenaan dengan komprehensi agama dan komprehensi akhlak serta hubungan keduanya telah kita bahas dalam tulisan sebelumnya, di mana dalam hal ini penentuan ukuran akhlak akan berpengaruh dalam memberi tinjauan dan konklusi tentangnya. Dengan pengertian bahwa jika akhlak berdasarkan prinsip manfaat atau prinsip kelezatan atau berdasarkan prinsip sosial masyarakat atau prinsip akal amali, dalam konteks ini mungkin akhlak dengan agama diasumsikan tidak mempunyai hubungan sama sekali atau hubungan keduanya hanya dalam bentuk pondasi bagi yang lainnya; dan jika parameter permasalahan-permasalahan akhlak adalah kedekatan dengan Tuhan, dengan meninjau ketiadaan pengetahuan kita terhadap “qurbah” dan “maqam” Tuhan maka hubungan antara akhlak dan agama merupakan hubungan proposisi dan kandungan.
Dalam tulisan sebelumnya juga telah dipaparkan secara singkat beberapa teori dan pandangan pemikir Barat berkenaan masalah ini. Sekarang dalam tulisan kedua ini kami akan paparkan beberapa teori dan pandangan dari ulama dan pemikir Muslim tentang hubungan akhlak dengan agama serta mengungkapkan teori yang menjadi pilihan kami.
Pandangan Ulama dan Pemikir Islam
- Pandangan adliyah dan bukan adliyah serta teori keberadaan konklusi dan ketiadaan konklusi akhlak dari agama
Para teolog dan filosof Islam, membincangkan tentang hubungan agama dan akhlak secara bertepatan dengan pembahasan mereka pada masalah kebaikan dan keburukan syar’i atau akli. Dan secara umum kaum muslimin berdasarkan tinjauan mereka terhadap hubungan kedua fenomena ini dibagi atas dua kelompok asasi Adliyah dan bukan Adliyah. Adliyah adalah golongan yang meyakini bahwa manusia mempunyai kemampuan dalam mengkonsepsi sebagian dari prinsip-prinsip akhlak, dan sebagian permasalahan-permasalahan akhlak serta kebaikan dan keburukan perbuatan harus diperoleh dari jalan kitab serta sunnah; kendatipun kebaikan dan keburukan perbuatan itu sendiri pada hakikatnya merupakan esensialitas amal. Oleh karena itu kebahagiaan akhir manusia berada dalam orbit pengamalan terhadap hukum-hukum akal dan syar’i akhlak. Teori dan pandangan ini yang juga dianut oleh sebagian ulama Masehi, disandarkan kepada Mu’tazilah dari ahlu sunnah dan pemikir-pemikir Syiah. Dalam berhadapan dengan pandangan ini, kaum Asy’ariyah dan bukan Adliyah yang menolak teori lebih dahulunya akhlak atas agama serta memandang bahwa dalam kedudukan afirmasi dan pembuktian, akhlak merupakan bagian dari agama dan natijahnya dihasilkan dari agama.
Teori mazhab Asy’ariyah yang mengusung pandangan kebaikan dan keburukan syar’i dapat dijelaskan dalam dua bentuk:
Pertama, bentuk pengambilan natijah dan kedua, bentuk kenyataan. Dengan pengertian bahwa ketika Tuhan memerintahkan kerjakan perbuatan X, apakah dari kalimat ini dapat diperoleh konklusi bahwa para mukallaf secara akhlak harus mengerjakan perbuatan X tersebut; yakni proposisi-proposisi nilai dalam akhlak, setimbang dengan proposisi-proposisi deskriptif dalam agama. Supaya kedua pandangan ini menjadi jelas maka kita membutuhkan pembahasan tentang kebaikan dan keburukan dari sudut pandang Adliyah dan bukan Adliyah.
Masalah kebaikan dan keburukan zâti (esensial) dan rasional, merupakan pembahasan yang sangat urgen dan menjadi salah satu topik bahasan dalam teologi, akhlak, dan ushul fiqh, dan berperan sebagai suatu kaidah dasar dalam memecahkan banyak dari masalah-masalah lain yang berhubungan dengan akhlak dan agama. Pembahasan keniscayaan dan kemestian akal dalam ushul fiqh, kelestarian nilai-nilai asli manusia dalam ilmu akhlak, dan masalah-masalah penting teologi seperti kewajiban taklif, keberadaan balasan, keniscayaan pengutusan Nabi dan Rasul Tuhan, dan masalah lainnya dalam ilmu kalam, semua topik-topik tersebut bersandar pada masalah kebaikan dan keburukan zâti. Akar dari masalah kebaikan dan keburukan akal sejak dahulu telah diungkap dalam filsafat Yunani; di mana filosof ini membagi filsafat dengan filsafat nazhari dan amali. Ilmu akhlak mereka masukkan dalam filsafat amali dan mereka ungkapkan dalam filsafat ini tentang kemandirian kebaikan dan keburukan serta kemandirian nilai-nilai akhlak.
Para teolog Islam juga dalam pembahasan hikmah dan keadilan Tuhan, mengungkapkan tentang pembahasan kebaikan dan keburukan akli, serta mengutarakan suatu pertanyaan tentang apakah akal manusia mempunyai kemampuan memahami dan menghukumi kebaikan dan keburukan amal dan perbuatan ataukah tidak? Dan mereka memandang bahwa pemecahan masalah ini merupakan kunci daripada kerumitan masalah-masalah kalam. Untuk lebih gamblangnya masalah ini, perlu perhatian terhadap penjelasan di bawah ini:
Masalah kebaikan dan keburukan, diungkap dalam hubungannya dengan maqam penetapan dan maqam kenyataan. Dalam maqam kenyataan dibicarakan tentang kebaikan dan keburukan zâti (esensial), sedangkan dalam maqam pembuktian dibahas tentang masalah kebaikan dan keburukan akli (rasional). Dalam maqam pertama, pertanyaan dalam bentuk apakah amal dan perbuatan, esensial dan dalam maqam realitas tersifati dengan baik dan buruk?
Dan dalam maqam kedua, pertanyaan berhubungan dengan epistemologi serta kemampuan akal dalam mengkonsepsi kebaikan dan keburukan perbuatan.
Adapun yang dimaksud zâti (esensial) dalam baik dan buruk perbuatan, terdapat dua pandangan:
- Sebagian memandang bahwa zâti dalam pembahasan ini, adalah zâti bab burhan, yakni keniscayaan zat; dengan pengertian bahwa kebaikan dan keburukan terhitung sebagai kemestian dan keniscayaan zâti perbuatan.
- Sebagian lain menyalahi pandangan di atas dan berkata bahwa keniscayaan mahiyah, merupakan suatu realitas di samping realitas lain; sementara di sisi lain, kebaikan dan keburukan merupakan suatu perkara iktibari (persepsi mental); oleh karena itu, yang dimaksud dengan zâti dalam masalah ini, adalah akli itu sendiri; yakni seseorang tanpa mengambil bantuan dari luar, mempersepsi kebaikan dan keburukan perbuatan.
Menurut pandangan kami, dari pembahasan-pembahasan dan argumentasi penetapan atau penafian kebaikan dan keburukan zâti dan akli dalam karya-karya Asy’ariyah dan Mu’tazilah, dua maqam kenyataan dan pembuktian dalam masalah ini adalah jelas; kendatipun kedua maqam ini, dalam hal di mana keduanya bercampur maka esensial (zâti) ditafsirkan dengan rasional (akli), akan tetapi yang benar dalam masalah ini adalah pemisahan kedua maqam ini. Dalam maqam kenyataan, pembahasan berhubungan dengan apakah Syâri’ Muqaddas (penetap hukum dan undang-undang, yakni Tuhan) mempertimbangkan dan memperhitungkan kebaikan dan keburukan bagi perbuatan ataukah perbuatan tidak diperhitungkan dengan sifat baik atau buruk? Dan dalam maqam pembuktian, pembahasan berhubungan dengan metode pengetahuan, yaitu apakah dalam menyingkap kebaikan dan keburukan perbuatan kita butuh kepada teks agama? Apakah akal, tanpa butuh pada media lain mampu mengkonsepsi kebaikan dan keburukan perbuatan? Maka dari itu, masalah pertama berhubungan dengan maqam pembuatan dan penetapan dan masalah kedua, berhubungan dengan maqam penyingkapan dan pembuktian. Dengan demikian, tidak bisa zâti ditafsirkan dengan akli; kendatipun tidak mungkin juga dikemblikan kepada zâti bab burhan.
Penelitian kami dalam masalah ini menyimpulkan bahwa zâti di sini, bermakna bahwa perbuatan-perbuatan dalam tersifatkan dengan baik dan buruk, tidak butuh kepada perantara dalam “tsubût” (kenyataan) dan jika sebagian dari peneliti ushul fiqh menyanggah bahwa sangat banyak dari perbuatan-perbuatan, seperti mengambil harta lain yang dialamatkan dengan kebencian dan ketidakridhaan, tersifatkan dengan sifat buruk dan berhak dicela, dan penyifatan perbuatan dengan buruk mengambil bentuk dengan perantara. Harus dijawab bahwa peneliti bersangkutan telah salah dalam meninjau subyek keburukan; sebab dalam contoh tersebut, terjadi pada subyek yang disebut sebagai “pencurian”, bukan mengambil harta lain; meskipun dalam “unwan” (nama, alamat) pencurian, juga tersembunyi pengertian mengambil harta lain dan ketidakridhaan.
Para teolog Islam dalam masalah ini terbagi kepada dua kelompok; suatu kelompok yang mengingkari kebaikan dan keburukan zâti dan akli serta masyhur disebut kaum Asy’ariyah; kelompok lainnya yang menerima kebaikan dan keburukan zâti dan akli, disebut dengan kaum Adliyah.
Muhakkik Thusi dan teolog lainnya dari Adliyah, mengkonstruksi beberapa argumen untuk membuktikan kebaikan dan keburukan zâti dan akli; sebagai contoh Muhakkik Thusi dalam Kitab “Tajrîd al-I’tiqâd” berkata: “Jika kebaikan dan keburukan adalah syar’i, dalam bentuk ini maka tidak akan tertetapkan kebaikan dan keburukan akal dan juga kebaikan dan keburukan syar’i; sebab jika misalnya berdusta adalah bukan keburukan akli, dan secara asumsi seorang nabi mengabarkan bahwa berdusta adalah buruk, darinya tidak dapat diterima berita tersebut; sebab mungkin saja pemberitaannya tentang keburukan berdusta, adalah dusta. Dengan demikian kenabian ia juga tidak terbukti; sebab berdasarkan atas asumsi, berbuat yang menyalahi hikmah, tidak buruk bagi Tuhan dan membenarkan pendusta juga adalah tidak buruk. Implikasi dari asumsi ini juga, mungkin saja seseorang mengklaim kenabian tentang dirinya dengan berdusta dan Tuhan memberlakukan mukjizat ditangannya, di samping itu tidak ada celaan jika nabi palsu ini mencegah orang-orang dari sesuatu yang diwajibkan Tuhan serta memerintahkan mereka pada sesuatu yang diharamkan Tuhan atas nama Tuhan. Singkat kata, ketika berdusta bukanlah keburukan akli maka seluruh kemungkinan-kemungkinan ini tentu saja menjadi hal yang dimungkinkan. Dengan penjelasan lain, jika kebaikan dan keburukan akli tidak diterima maka keluarnya mukjizat dari para pendusta dan nabi hakiki tidaklah dapat dibedakan dan dalam bentuk itu, tidak ada kemungkinan untuk menetapkan kenabian dan syariat.
Para pengusung Adliyah setelah menetapkan kebaikan dan keburukan zâti serta akli, lantas menyandarkan berbagai masalah teologi khusus terhadap kaidah ini; masalah-masalah seperti makrifatullah atau keniscayaan pengenalan terhadap mun’im (pemberi nikmat), kemestian bersyukur kepada mun’im, kemestian menolak dharar yang sangat berefek pada keselamatan, menyifatkan Tuhan dengan sifat adil dan hikmah, kemustahilan keluarnya keburukan dari Tuhan, kaidah lutf, keniscayaan pengutusan Nabi-Nabi, kebaikan taklif, pembenaran terhadap para penyeru kenabian, undang-undang tetap dalam dunia yang berubah, kelestarian akhlak dan topik-topik lain yang menjadi natijah dari masalah ini.
Setelah pembuktian kebaikan dan keburukan zâti, giliran berikutnya adalah pembuktian kebaikan dan keburukan akli. Harus diperhatikan bahwa pertikaian dan perbedaan di antara Asy’ariyah dan Adliyah berada pada tataran bahwa pendukung kebaikan dan keburukan akli (Adliyah) memiliki keyakinan bahwasanya akal mempunyai kemampuan dalam mengkonsepsi sebagian dari perbuatan-perbuatan Tuhan dan manusia. Asas dan prinsip universal kebaikan dan keburukan perbuatan seperti kebaikan keadilan dan keburukan kezaliman serta sebagian yang partikular seperti keburukan menggunakan harta orang lain tanpa keridhaannya, keburukan bohong, kebaikan jujur, kebaikan amanah dan perbuatan-perbuatan partikular lainnya, bagi semua orang adalah sudah jelas kedudukannya. Di samping itu Adliyah juga berkeyakinan bahwa untuk mengetahui dan menyingkap sebagian kebaikan dan keburukan, harus dengan perantara syariat suci yang datang dari Tuhan. Dalam berhadapan pandangan ini, mereka yang mengingkari kebaikan dan keburukan akli. Menurut mereka (Asy’ariyah), akal secara mandiri sama sekali tidak mampu mengkonsepsi dan mengetahui kebaikan dan keburukan perbuatan, oleh karena itu berasaskan ini, untuk mengetahui seluruh perkara baik dan buruk perbuatan adalah dharuri dan niscaya merujuk kepada syariat.
Perbedaan yang jelas dalam norma dan kultur di antara bangsa-bangsa, tidak bertentangan dengan kebaikan dan keburukan akli; sebab klaim Adliyah pada maqam pembuktian yang berhubungan dengan prinsip universal dan sebagian yang partikular, di mana pada poin-poin itu tidak terdapat perbedaan di antara suku-suku dan bangsa-bangsa. Jika seseorang mengkonsepsi subyek dan predikat masalah ini secara benar maka ia akan menghukuminya juga secara benar. Demikian juga penerimaan terhadap kebaikan dan keburukan dzâti serta akli, tidak memestikan penentuan dan pembatasan kekuasaan Tuhan; sebab ketika dikatakan bahwasanya Tuhan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk; ini punya pengertian bahwa kesempurnaan wujud Tuhan secara tinjauan takwini meniscayakan perkara demikian ini dan akal juga menyingkap hubungan niscaya tersebut.
Hubungan akhlak dan agama mendapatkan pandangan yang berbeda berasaskan masing-masing dari pra asumsi-pra asumsi di atas. Berdasarkan prinsip Adliyah, akhlak dalam maqam kenyataan tidak mempunyai hubungan dengan agama dan syariat serta masing-masing terlepas satu sama lain; sebab perbuatan-perbuatan, secara zat tersifati dengan baik dan buruk, dan dalam maqam itsbât (penetapan, pembuktian), dalam bagian universal dan sebagian dari bagian partikular juga terlepas dan mandiri dari agama dan syariat. Akan tetapi dalam masalah-masalah lain dari akhlak, terdapat hubungan yang erat dan dalam antara agama dan syariat. Adapun berdasarkan prinsip Asy’ariyah, akhlak dalam maqam kenyataan dan penetapan mempunyai hubungan sinkretis dengan agama, dan akhlak secara kenyataan dan penetapan diperoleh dari agama serta merupakan bagian dari agama.
- Pandangan Syeikh Misbah Yazdi: Hubungan Organik Akhlak dan Agama
Syeikh Misbah Yazdi, dalam kitab “Filsafat Akhlak”, secara detail memasuki pembahasan hubungan agama dan akhlak. Ringkasan pandangannya antara lain berikut ini: Baik dan buruk akhlak, pada kenyataannya menjelaskan adanya hubungan antara perbuatan ikhtiar manusia dan natijah-natijah akhir dari itu dan kita dapat memahami bahwa perbuatan itu adalah baik ataukah buruk. Jika suatu perbuatan mempunyai hubungan positif dengan kesempurnaan akhir kita maka itu adalah baik dan jika hubungannya negatif maka itu adalah buruk. Pada dasarnya, pandangan ini tidak diambil dari satupun keyakinan agama; yakni kemestian penerimaan pandangan ini tidak memestikan penerimaan wujud Tuhan atau hari kiamat dan atau perintah-perintah agama. Akan tetapi dalam masalah apakah kesempurnaan akhir itu? Dan bagaimana dapat disingkap hubungan antara perbuatan dan kesempurnaan akhir? Di sinilah timbul hubungan antara akhlak dengan agama.
Oleh karena itu, jika kita hanya meninjau prinsip asli dari pandangan ini maka kita tidak berakhir pada agama; akan tetapi ketika kita ingin memberi bentuk khusus dan tertentu tentang apa yang merupakan akhlak baik dan apa yang merupakan akhlak buruk, dalam hal ini akan mendapatkan hubungan dengan ushul agama dan kandungan wahyu serta kenabian. Ketika kita ingin menentukan kesempurnaan akhir manusia, kita terpaksa mengutarakan permasalahan Tuhan sehingga kita dapat menetapkan bahwa kesempurnaan akhir manusia adalah qurbah (dekat) pada Tuhan. Pada konteks inilah pandangan ini mendapatkan hubungan dengan keyakinan agama. Demikian pula untuk menentukan perbuatan-perbuatan baik dan hubungannya dengan kesempurnaan akhir manusia, harus kita tinjau masalah keabadian jiwa sehingga jika mendapatkan perbedaan dengan sebagian dari kesempurnaan-kesempurnaan materi serta bertentangan dengannya, kita dapat melebihkan salah satu di antara mereka dan berkata bahwa perbuatan X adalah buruk; bukan dikarenakan kita tidak mampu meraih kesempurnaan materi; akan tetapi dikarenakan bertentangan dengan salah satu dari kesempurnaan-kesempurnaan ukhrawi; maka dari itu harus juga ada keyakinan terhadap ma’ad (eskatalogi). Di samping itu, apa yang dapat kita dapatkan dengan perantara akal dari hubungan antara perbuatan dan kesempurnaan akhir, satu seri pemahaman-pemahaman universal yang mana pemahaman-pemahaman ini, tidak seberapa berguna untuk menentukan misdak-misdak perintah akhlak. Misalnya kita memahami bahwa keadilan adalah baik atau menyembah Tuhan adalah baik; akan tetapi dalam permasalahan bahwa adil dalam setiap masalah meniscayakan apa dan bagaimana bertindak adil dalam setiap permasalahan, tidak jelas dalam banyak masalah serta akal dengan sendirinya tidak dapat menentukannya.
Sebagai asumsi, apakah dapat ditinjau dalam masyarakat hak-hak wanita dan laki-laki harus sama secara keseluruhan ataukah harus ada perbedaan-perbedaan di antara mereka? Ketika kita dapat menghukumi dengan adil suatu pandangan yang meliputi seluruh hubungan-hubungan perbuatan kita dengan tujuan dan natijah akhirnya, tetapi kita mengetahui bahwa pencakupan seperti ini tidak mungkin untuk akal biasa manusia; maka dari itu, agar kita dapat memperoleh misdak-misdak khusus perintah-perintah akhlak, kita tetap butuh kepada agama; yakni wahyulah yang akan menjelaskan perintah-perintah akhlak dalam setiap masalah khusus dengan batasan khususnya dan dengan syarat-syarat serta kemestian-kemestiannya, dan akal secara mandiri tidak dapat mengambil tanggung jawab ini. Oleh karena itu, pandangan kami juga dalam bentuk sempurnanya, butuh kepada prinsip-prinsip keyakinan agama (keyakinan pada Tuhan, Ma’ad dan Wahyu) dan juga dalam menentukan misdak-misdak kaidah akhlak butuh kepada kandungan wahyu dan perintah-perintah agama. Yang pasti sesuai dengan pandangan yang kami anggap benar, harus kami katakan bahwa akhlak tidak terpisah dari agama; tidak dari keyakinan-keyakinan agama dan tidak dari perintah-perintah agama. Dalam maqam tsubût dan dalam maqam itsbât, pandangan ini meyakini keberadaan hubungan akhlak dengan agama. []
Oleh: Ruhullah Syams