Perkembangan astronomi Islam makin berkembang dengan kemunculan al-Farghani. Sang astronom itu berasal dari Transoxania, sebuah kota di Uzbekistan, Asia Tengah. Di Barat dia dikenal dengan nama Alfraganus, suatu indikasi yang menunjukkan pengaruhnya terhadap Eropa melalui penerjemahan karya-karyanya ke dalam berbagai bahasa Eropa, terutama bahasa Latin.
Al-Farghani termasuk seorang tokoh astronom terkemuka pada Khalifah al-Ma’mun. Diriwayatkan (Arsyad, 1989) bahwa al-Farghani aktif memulai observasi astronominya ketika Khalifah al-Ma’mun membangun sebuah observatorium astronomi di Bagdad pada 829. Melalui observasi yang terus-menerus dilakukannya, dia berhasil menentukan jarak dan ukuran planet/benda langit (Bulan, Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, dan Saturnus). Nasr (1968) menyebutkan bahwa dalam penentuan jarak dan ukuran planet, tak ada yang lebih dikenal daripada percobaan al-Farghani.
Dalam menentukan jarak planet, al-Farghani mengikuti teori, bahwa tak ada “ruang yang terbuang”, sesuai dengan falsafah “tak ada ruang kosong” di alam raya, sehingga dia menetapkan apogium suatu planet bersinggungan dengan perigium planet berikutnya. Apogium dan perigium adalah masing-masing titik terjauh dan titik terdekat lintasan orbit planet dengan Bumi. Makin lonjong suatu lintasan, makin besar perbedaan antara apogium dan perigium. Menurut Nasr (1968), jarak yang diberikan al-Farghani untuk apogium dan perigium tiap planet dalam sistem episiklus sejajar dengan ujung-ujung elips dalam astronomi modern.
Hasil observasi dan perhitungan jarak dan ukuran planet beserta teori dan metodologi yang digunakannya, dia tuangkan dalam sebuah karya yang terkenal, Elemen Astronomi. Menurut Nasr (1968), karya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan diterima secara universal di Barat hingga zaman Copernicus. Ajram (1992) menyebutkan bahwa karya al-Farghani itu digunakan sebagai teks otoritas puncak astronomi di Eropa dan di Asia Barat selama hampir 700 tahun, dan melalui karya itulah, diantaranya, al-Farghani memengaruhi perkembangan astronomi di Eropa sejak abad ke-12 hingga abad ke-18.
Natsir Arsyad (1989) menyatakan bahwa karya-karya al-Farghani (asli berbahasa Arab dan terjemahannya) masih tetap bertahan dan tersimpan baik di Oxford, Paris, Kairo, dan Perpustakaan Universal Princeton, di antaranya adalah Jawami ‘Ilm al-Nujum wa Ushul al-Harakat al-Samawiyyah atau kadang juga disebut Fi al-Harakat al-Samawiyyat wa Jawami ‘Ilm al-Nujum, Ushul ‘Ilm al-Nujum (Asas-asas Ilmu Bintang), al-Madkhal ila ‘Ilm al-Falak (Pengantar ke Ilmu Perbintangan), Kitab al-Fushul al-Tsalatsin. Semuanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Spanyol oleh John dari Seville dan Gerard dari Cremona pada 1135, juga disebutkan bahwa terjemahan ke dalam bahasa Ibrani oleh Jakob Anatoli masih tetap terawat baik di Berlin, Munich, Vienna, Oxford, dan lain sebagainya.
Terjemahan-terjemahan karya al-Farghani dalam bahasa Latin diterbitkan pula di Ferrara, Italia, pada 1493, di Nuremberg pada 1537, di Paris pada 1546, dan di Berkeley, Inggris, pada 1943. Sementara itu, terjemahan bahasa Ibrani diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Latin oleh Jacob Christimann yang terbit di Frankfurt pada 1590. Pada 1669, di Amsterdam, Jacob Golius mengedit teks Arabnya.
Komisi Nasional Mesir untuk UNESCO (1986) menyebutkan bahwa buku al-Farghani yang berjudul Ushul al-Falak (Prinsip-prinsip Astronomi) memperoleh penghargaan tinggi di Universitas Bologna di Italia selama Renaisans. Beberapa karya astronomi al-Farghani diterjemahkan oleh Gerard Cremona dan Johannes Hisplanesia dengan nama Compendium. Melalui Regiomontanus, seorang astronom Eropa, Compendium itu lalu menyebar ke segenap pelosok daratan Eropa. Buku itu pun diterbitkan oleh Melanchton di Nuremberg pada 1537, yang membuat al-Farghani sebagai salah satu seorang pionir ilmu astronomi modern yang dikenal sampai sekarang.
***
Uraian di muka mendorong kita untuk menarik dua kesimpulan. Pertama, sarjana muslim memiliki etos keterbukaan dan cosmopolitan yang dapat menerima berbagai tradisi keilmuan dari berbagai peradaban. Sabda Nabi Muhammad SAW: “Pungutlah hikmah itu dari mana pun datangnya.”, benar-benar mereka hayati dan amalkan. Karena sikap keterbukaan-kosmopolitan itulah sarjana muslim dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan ikut memberi kontribusi besar terhadap peradaban dunia.
Kedua, sarjana muslim klasik memiliki kemampuan sintesis-kreatif, yaitu kemampuan memadukan berbagai kekayaan khazanah ilmu dari beragam tradisi dan peradaban seraya secara kreatif mengembangkannya sedemikian rupa sehingga membentuk tradisi keilmuan baru yang autentik dengan paradigma dan cara pandang yang sesuai dengan pandangan dunia Tauhid. Mereka penuh percaya diri dan sama sekali tidak khawatir sebagaimana yang dimiliki oleh kaum ortodoks untuk mereguk hikmah dari peradaban asing mana pun, karena epistemologi holistik yang berlandaskan nilai-nilai Tauhid mampu membekali mereka untuk dapat mengadopsi khazanah asing itu dan menjadikannya sebagai unsur-unsur dalam pohon tradisi keilmuan Islam.
*Disadur dari Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, Husain Heriyanto (2011)