Oleh : Syaikh Jawadi Amuli
Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Allah SWT di dalam ayat-ayat-Nya selalu memanggil Rasul SAW dengan penuh penghormatan. Di antaranya Allah SWT tidak pernah memanggil nama beliau melainkan memanggil dengan jabatan Ilahiahnya, “Wahai Nabi,” Wahai Rasul, “ Wahai orang yang berselimut” dan sebagainya. Sementara untuk nabi-nabi lain Allah memanggil dengan menyebut nama-nama mereka seperti wahai Nuh, wahai Musa, wahai Daud.
Nama Muhammad SAW disebutkan di dalam Al-Quran hanya empat kali, yaitu di dalam surah Ali Imran ayat 144, surah Al-Ahzab ayat 2, surah Muhammad ayat 29, dan surah Al-Fath ayat 29. Nama beliau kadang-kadang disebut dengan Ahmad dalam surah An-Nahl ayat 6. Misalnya, ketika Allah SWT membicarakan tema penutup para nabi. Untuk mengingatkan kedudukan mulia Rasulullah SAW, Allah SWT juga menyuruh agar orang-orang di sekitar Rasul SAW agar tidak mengeraskan suaranya, “Ketika berada di dekat Rasul, Janganlah kalian tinggikan suara kalian di atas suara Nabi.” (QS. Al-Hujurat : 2), juga, “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)…,”(QS. An-Nur : 63). Majelis Rasul SAW adalah majelis ilmu dan akal dan bukan majelis obrolan biasa. Dan, itu dijelaskan dalam surah Al-Ahzab. Di dalam riwayat-riwayat juga dijelaskan tentang keutamaan majelis Rasul SAW.
Tentang kedudukan mulia Rasul SAW di dalam riwayat ditulis, bahwa ketika itu Abu Sa’id Khudri sedang shalat. Dalam pada itu Rasulullah SAW memanggil. Abu Sa’id Khudri tidak mau menyambutnya karena ia merasa sedang melakukan shalat, yang dianggapnya sebagai sesuatu yang lebih penting. Kemudian Rasul SAW mengkritiknya, Wahai orang-orang yang beriman sambutlah panggilan Allah dan Rasul-Nya ketika mereka menyeru kalian kepada yang akan memberi kehidupan kalian, (QS. Al-Anfal : 24). Bukankah orang-orang yang sedang shalat juga menyampaikan salam ketika sedang shalat; Assalamu ‘alayka ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wabarakatuhu.
Salam ini hukumnya haram kalau disampaikan kepada selain Nabi SAW. Bahkan membatalkan shalat. Berdasarkan riwayat ini, para ulama mengeluarkan istinbath hukum bahwa seseorang yang menyambut panggilan Nabi SAW di tengah-tengah shalatnya maka shalatnya tidak batal dan juga tidak berdosa. Sementara sebagian ulama Ahlussunnah mengatakan bahwa shalatnya batal, meskipun tidak berdosa.
Di dalam shalat, kita sebenarnya dituntut untuk selalu menghormati Rasulullah SAW. Bukankah sejak awal dan ketika sedang melaksanakan shalat, nama Rasul SAW senantiasa diagungkan. Sewaktu azan dan iqamah kita selalu mendengar nama Muhammad SAW dan kita memberikan kesaksian akan kenabian dan kerasulannya :Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Ini adalah penghormatan. Demikian juga ketika selesai shalat, kita mengucapkan, “Assalamu ‘alayka ayyuhannabiyyu wa rahmatullah wa barakatuh.” Semua kaum Muslim dalam shalatnya, siang dan malam, dalam shalat wajib dan shalat sunnah menyampaikan salam ini. Inilah penghormatan khusus dari Allah seperti yang disebutkan di dalam ayat, dan Kami tinggikan namamu. (QS. Al-Insyirah : 4).
Rasulullah SAW mendapatkan penghormatan dalam berbagai ayat Al-Quran. Allah SWT juga menggandengkan posisi-Nya dengan posisi Rasul SAW sebagai pemegang otoritas yang berhak ditaati, seperti dalam ayat-ayat berikut.
Berimanlah kalian kepada Allah dan Rasulnya…., (QS.An-Nisa :136),
Siapa yang taat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya…, (QS. An-Nisa : 69),
Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya…, (QS. An-Nisa : 59)
Wahai orang-orang yang beriman, sambutlah panggilan Allah dan Rasul-Nya ketika ia menyeru kalian kepada yang akan memberikan kehidupan pada kalian. (QS. Al-Anfal : 24),
Siapa yang menolong Allah dan Rasul-nya…, (QS. Al-Hasyr : 8),
Siapa yang bertawalli kepada Allah dan Rasul-Nya…, (QS. Al-Maidah : 56),
Jika kalian taat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya dengan ikhlas. (QS. At-Taubah : 91),
Kemuliaan itu milik Allah dan Rasul-Nya. (QS. Al-Munafiqun : 8),
Dan tidaklah pantas bagi laki-laki Mukmin dan perempuan Mukmin , apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata. (QS. Al-Ahzab : 36)
Setiap manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri atau bermusyawarah dengan orang lain dalam urusan-urusan biasa. Namun berkaitan dengan hukum-hukum Tuhan mereka harus menyerahkannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam perkara-perkara tertentu, manusia disuruh bermusyawarah namun tidak dalam urusan Tuhan. (QS. Asy-Syura : 38).
Nama Allah dan Rasul SAW juga disebutkan beriringan dalam urusan-urusan yang penting seperti ketika menunjukkan keterlepasan dari orang-orang musyrik, “(inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka).” (QS. At-Taubah : 1)
Demikian juga Allah menggandengkan Rasul-Nya ketika mengumumkan peperangan kepada orang-orang yang memakan riba. (lihat surah Al-Baqarah : 279)
Dalam urusan harta pun nama Rasul SAW disebutkan dengan nama Allah, “Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul dan keluarga Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil…., (QS. Al-Anfal : 41)dan ayat-ayat lain yang senada dengannya.
Perintah agar merujuk pada Al-Quran
Al-Quran adalah cahaya, tempat berlindung, dan jalan yang jelas untuk selamat dari kegelapan, ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu untuk mengeluarkanmu dari kegelapan menuju cahaya, (QS. Ibrahim : 1). Rasulullah SAW juga bersabda, “Apakah kalian tidak memperhatikan bagaimana siang dan malam cepat berlalu? Yang baru menjadi tua dan yang jauh menjadi dekat. Kalau kalian menghadapi kejadian-kejadian yang kalian anggap kegelapan, maka segeralah cari cahaya.“ Miqdad kemudian bertanya, “Apa yang harus kami lakukan?“ “Hendaklah kalian berpegang-teguh pada Al-Quran,” jawab beliau. Jika kalian terbelenggu fitnah seperti dalam kegelapan malam, maka berpegang-teguhlah pada Al-Quran. Karena kitab suci ini dapat menyelematkan kalian agar tidak tergelincir dalam kebodohan dan kebingungan. Al-Quran juga dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
Rasulullah SAW mengatakan, “orang yang dianugerahi Al-Quran oleh Allah SWT dan kemudian ia menyangka bahwa ada orang lain yang lebih beruntung darinya maka ia telah mengganggap kecil yang besar dan menganggap besar yang kecil.” Artinya, ia menganggap istimewa kenikmatan dunia dan menganggap kecil karunia Al-Quran. Rasulullah SAW juga bersabda, “Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada nabi-nabi lain. Salah satunya adalah jawani’ al-kalam (kata-kata yang memuat banyak isi).” Di dalam riwayat lain dijelaskan, yang dimaksud jawani’ al-kalam adalah Al-Quran.
Karena sangat mencintai umatnya, Rasulullah SAW berusaha menyempurnakan aspek-aspek potensi kesempurnaan manusia. Memiliki pemahaman terhadap Al-Quran adalah jalan yang terbaik untuk menyempurnakan kesempurnaan manusia. Maka itu, beliau berusaha menjembatani manusia dengan Al-Quran. Jika ada kelompok manusia yang tidak menghormati Al-Quran dengan membelakanginya, maka mereka tidak akan mendapatkan syafaatnya. Bahkan syafaat menjadi diharamkan dari mereka. Rasul SAW juga menyatakan siapa yang menempatkan Al-Quran di belakangnya, maka ia akan menyeretnya ke neraka dan siapa yang menempatkan di depannya akan menuntunnya ke surga. Siapa saja yang menempatkan Al-Quran sebagai imamnya, maka Al-Quran akan mendorongnya ke surga dan siapa saja yang menjadikan dirinya sebagai imam bagi Al-Quran dan menafsirkan Al-Quran sesuai kehendak hawa nafsunya, berarti umat itu telah meninggalkan Rasulullah SAW sendirian. Dan, itulah yang membuat beliau merasa bersedih hati. Karena itu, di dalam Al-Quran Nabi SAW mengeluhkan, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Quran ini diabaikan,” (QS. Al-Furqan : 30). Rasulullah SAW tidak pernah mengeluh ketika menyampaikan misinya di Madinah. Padahal, beliau menghadapi segala kesulitan dan penderitaan. Akan tetapi, ketika Al-Quran tidak diamalkan, ia mengeluhkan, “Ya Tuhanku, kaumku telah mengabaikan Al-Quran ini.” Dakwah Rasulullah SAW kepada Al-Quran adalah kerja keras yang selalu diamalkan olehnya. “Aku diberi wahyu Al-Quran, agar dengan itu aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang Al-Quran sampai kepadanya.” (QS. Al-An’am : 19).
Menjelang detik-detik kematiannya, ia menyampaikan pesan kepada putrinya Fatimah Zahra agar bersabar dan meminta dibacakan Al-Quran. Kemudian Fatimah membacakan ayat, Dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik. (QS. Al-Mumtahanah : 12). Al-Quran ingin menegaskan, perempuan-perempuan yang beriman tidak akan mendurhakaimu. Jadi, perempuan-perempuan yang merobek-robek baju dan mencakar-cakar wajahnya ketika kematian orang yang dikasihinya, tanda mereka telah mendurhakai Rasul SAW. Beliau juga berpesan, “Aku memberi wasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah SWT memerintahkan kepadaku dan kepada kalian bahwa rumah akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menginginkan kemewahan di dunia dan juga tidak menginginkan kerusakan.” (QS. Al-Qashash : 83). Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah dan wasiat Tuhan kepada kita semua adalah: janganlah kalian berlebih-lebihan, janganlah kalian menyombongkan diri di depan orang-orang karena akhirat dan surga yang abadi hanya untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri, Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Qashash : 83)
Ahli surga adalah manusia yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan. Bahkan ia juga tidak memiliki minat berbuat seperti itu. Tujuan dari wasiat Rasul SAW menunjukkan sejauh mana kedekatan dan kecintaan Rasulullah SAW pada kata-kata Tuhan.
Al-Quran memang menghanyutkan dan memesonakan sehingga siapa saja yang membacanya dengan benar akan terhenyak. Seseorang yang menikmati tataran kata-kata berangsur-angsur akan melejitkan diri untuk menikmati tataran makna.
..***…
(Dituliskan ulang dari buku Nabi SAW dalam Al-Quran : Jawadi Amuli)