Kejatuhan Bagdad di tangan bangsa Tarta pada 1258 telah meruntuhkan Daulah ‘Abbasiyah. Jengis Khan bersama cucunya, Hulagu Khan, menghancurkan tatanan sosial budaya dan peradaban Islam yang telah lima abad dibangun dengan susah payah. Berbagai pusat pendidikan dan penelitian sains, serta perpustakaan dibakar ludes bersama isinya. Ratusan ribu judul buku sains dan filsafat dibakar dan dibuang ke sungai dan laut. Konon, karena sedemikian banyaknya buku yag dibuang ke laut sehingga membuat sungai dan laut menjadi berwarna hitam akibat lunturnya tinta-tinta, maka laut itu disebut dengan laut hitam.
C.A. Qadir (1988) menyebutkan serangan penuh darah itu seperti kejatuhan meteor yang merusak Dunia Muslim secara keseluruhan dan merupakan peristiwa yang hampir tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia. Dia juga mengutip pernyataan M.M. Sharif (A History of Muslim Philosophy) yang menulis, “Penghancuran dan pembakaran Bagdad merupakan malapetaka besar Dunia Islam dan peradaban Arab-Persia yang telah tumbuh kembang sedemikian kaya selama beberapa ratus tahun”.
Pendiri Observatorium Maraghah
Dengan latar belakang situasi seperti yang dipaparkan di atas, tampil seorang sarjana muslim. Nashir al-Din al-Thusi (w. 1274), untuk menyelamatkan sisa-sisa khazanah intelektual peradaban Islam. Setelah menghancurleburkan Bagdad, pasukan Hulagu Khan bermaksud menginvasi Khurasan yang berada di bawah pangeran-pangeran Persia. Ketika Hulagu akhirnya menaklukkan Persia, Nashir al-Din al-Thusi menyadari bahwa tidak ada jalan lain untuk mencegah perusakan hebat dari kaum Tartar yang belum mengenal peradaban membaca-menulis tersebut. Dia mencoba segala usaha yang mungkin dengan menawarkan jasanya sebagai ahli astrologi dan astronomi kepada Hulagu. Dengan cara tersebut, dia memperoleh kepercayaan penguasa Mongol itu, dan da berhasil menolong dan menyelamatkan banyak perpustakaan dan lembaga pendidikan Islam. Dia lalu diserahi tanggung jawab atas hibah keagamaan dan dapat membujuk Hulagu untuk mendirikan observatorium dan lembaga sains di Maraghah, Persia.
Menurut Seyyed Hossein Nasr (1968), selaku direktur observatorium Maraghah, Nashir al-Din mengumpulkan ahli matematika dari mana saja ke pusat ilmu itu, dan secara pribadi dia bertanggung jawab atas kebangkitan kembali penelaah astronomi dan matematika dalam Islam. Bahkan, observatorium Maraghah itu, menurut Qadir (1988), juga menjadi pusat pendidikan sains dan filsafat. Dalam observatorium itu diselamatkan 400.000 buku-buku ilmiah.
Observatorium Maraghah itu dianggap sebagai observatorium terbesar dan terkenal (Komisi Nasional Mesir untuk Unesco, 1986). Dia terkenal lantaran mutu instrumen-instrumennya dan keahlian orang-orang yang bekerja di dalamnya. Banyak sarjana dan tokoh ilmuwan yang lahir dari observatorium dan pusat pendidikan sains itu. Misalnya, Quthb al-Din al-Syirazi (w. 1311), Ibn Syathir, dan Muhy al-Din al-Maghribi. Diriwayatkan bahwa Ibn Khaldun sangat tertarik dengan ajaran dan tradisi Nashir al-Din.
Nasr (1968) menyebutkan bahwa tradisi Maraghah diteruskan oleh murid-murid Nashir al-Din dan juga oleh para astronom yang dikumpulkan oleh Ulugh Beg (cucu Timurlane yang masuk Islam dan keturunan Hulagu Khan) di Samarkand, seperti Ghiyats al-Din Jamsyid Mas’ud al-Kasyani dan ‘Ali Qusyji. Di daerah utara Persia tersebut, juga dibangun observatorium yang, menurut Nasr (1968), bersama dengan observatorimum Istanbul, merupakan jembatan yang menghubugkan tradisi astronomi Islam ke dunia Barat.
Dengan alasan itulah, Nashir al-Din kerap dijuluki sebagai tokoh utama yang menghidupkan kembali ilmu-ilmu rasional, bukan saja karena serangan fisik dari bangsa Tartar, namun juga karena serangan pemikiran dari dalam tubuh Islam sendiri, khususnya dari kaum ortodoks-tradisional yang memusuhi filsafat dan rasionalitas. Perlu diketahui bahwa filsafat dan ilmu-ilmu rasional sejak al-Kindi hingga Ibnu Sina sering mendapat permusuhan sengit dari teolog-teolog skripturalistik (zhahiriyah) dan ahli-ahli hadis. Sayangnya, tanggapan Nashir al-Din hanya berhasil memengaruhi umat Islam di Persia, sedang sebagian besar umat Islam lainnya sejak abad ke-13 hingga sekarang lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran teolog dan ahli hadis yang memusuhi filsafat dan ilmu-ilmu rasional.
Ibn Sina Kedua
Nashir al-Din al-Thusi lahir di Thus, Khurasan, Persia (sekarang Iran), pada 1201. Dia belajar matematika kepada Kamal al-Din b. Yunus al-Maushili dan jadi terkenal sebagai ahli astronomi, selain dikenal sebagai ahli teologi, etika, dan filsafat yang cukup berpengaruh. Setelah membangun observatorium Maraghah sebagai pusat pendidikan sains dan filsafat, Nashir al-Din melewati sebagian besar masa tuanya di Maraghah, kemudian menjelang akhir hidupnya dia pindah ke Kazhimiyyah dekat Bagdad. Di sana dia meninggal dunia dan dikuburkan di sebelah makan Musa al-Kazhim, seorang Imam Syiah yang ketujuh (Nasr, 1968).
Nasr (1968) menyatakan bahwa dipandang dari penguasaan seni, sains, dan filsafat, tokoh yang paling dominan setelah Ibn Sina adalah Nashir al-Din al-Thusi. Karya-karya ilmiah Nashir al-Din dalam bidang astronomi, teologi, etika, dan filsafat masih dipelajari hingga kini sebagaimana juga terhadap karya-karya Ibn Sina. Dia menghidupkan kembali filsafat Ibn Sina dengan menjawab serangan ahli teologi terhadap Ibn Sina, seperti dari al-Ghazali dan Fakhr al-Din al-Razi. Dia banyak mengomentari dan mengulas karya-karya filosifis Ibn Sina. Dia adalah pengikut setia tradisi Ibn Sina, Syaikh al-Ra’is (Pemimpin Para Sarjana).
Nashir al-Din juga membangun sistematika teologis filosofis untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban Islam melalui karyanya Tajrid al-I’tiqad (Pensucian Keyakinan). Menurut Nasr (1968), karya teologi-filosofis tersebut menjadi salah satu rujukan utama para ulama Syiah hingga sekarang. Imam Khomeini pun dalam beberapa karyanya—yang sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia—kerap merujuk kepada karya tersebut.
Sarjana yang dijuluki sebagai “Ibn Sina kedua” itu menulis karya-karyanya dalam bahasa Arab dan Persia. Dia menulis komentar atau ulasan mengenai seluruh siklus teks matematika Yunani dari Euclide hingga Ptolemeus. Dia juga menulis karya tentang etika yang hingga kini masih dipelajari, yaitu Etika Nashiriah (Akhlaq-I Nashiri). Pemikiran etika Nashir al-Din menempatkan akal sebagai manajer (tadbir) keputusan-keputusan dan perilaku moral manusia. Menurutnya, kesempurnaan moralitas bergantung pada sejauh mana potensi akan kemanusiaan diaktualisasikan.
Nashir al-Din juga menulis beberapa karya sastra. Dia juga menulis sebuah naskah bagus tentang sufisme. Menurut Nasr (1968), praktis dalam setiap bidang dari teologi dan filsafat hingga matematika dan astronomi, dia meninggalkan karya-karya besar. Pengaruhnya pada Dunia Islam, khususnya bagian timurnya (wilayah Persia), besar sekali. Di dunia Barat hanya karyanya mengenai astronomi dan matematika yang diterjemahkan, tetapi hal itu jadi penting sekali dan berpengaruh sepanjang bagian akhir Abad Pertengahan dan pada masa Renaisans di Eropa.
Guru Copernicus
Dalam astronomi, dia mengembangkan telaah-telaah astronomi muslim terdahulu dalam mengkritik dan mengoreksi sistem Ptolemeus. Bahkan, dia telah sampai pada tingkat pengajuan model planet yang baru, yang non-Ptolemeus. Model baru itu berusaha lebih setia kepada konsepsi sifat bola dari langit ketimbang model Ptolemeus dengan menempatkan Bumi pada pusat geometris bola-bola langit, tidak pada jarak tertentu dari pusat seperti yang ditemui dalam teori Ptolemeus. Nashir al-Din menggambarkan dua bola, yang satu berputar di dalam yang lainnya, untuk menerangkan apa yang tampak sebagai gerak planet. Sejarawan Amerika E. S. Kennedy menamakannya dengan pasangan Thusi (Thusi Couple) karena dia merupakan jumlah dua vektor yang bergerak. Menurut Ajram (1992) model gerakan planet al-Thusi ini konsisten dengan hukum-hukum fisika.
Model planet baru itu sendiri dikerjakan hingga selesai oleh muridnya. Quthb al-Din al-Syirazi, dan oleh astronom Damaskus, Ibn Syathir. Menarik untuk dicatat bahwa baru-baru ini sejarawan telah menemukan sebuah kemiripan yang kuat antara model planet al-Thusi dengan model yang dikembangkan Copernicus, seorang astronom Eropa yang kemudianr dianggap sebagai penemu teori gerak planet yang benar. Menurut Nasr (1968), teori Ibn Syathir sama dengan teori Bulan yang dikemukakan Copernicus dua abad sesudahnya, dan ternyata Copernicus bagaimana pun mengenal perkembangan akhir astronomi Islam tersebut, mungkin melalui terjemahan Bizantium. Oleh karena itu, sebagian sejarawan menyebutkan bahwa Copernicus dapat dianggap sebagai murid dari Tradisi Maraghah.
*Disadur dari Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, Husain Heriyanto (2011)