Perspektif

Argumen Kemestian Wahyu dan Nubuwwah (1)

Oleh : Syamsunar

 

Untuk membuktikan kemestian nubuwwah, dapat dilakukan dengan dua pendekatan argumen, pertama dengan pendekatan argumentasi akal dan kedua dengan pendekatan argumentasi naqli (narasi). Sebelum dipaparkan pembuktian dan argumentasinya, sangat urgen diutarakan poin berikut ini: bahwasanya unsur inti dari kenabian terbangun atas dua hal, a) Aturan dan undang-undang datang dari Tuhan (kemestian adanya wahyu), b) Pembawa aturan atau wahyu (kemestian adanya Nabi). Oleh karena itu, sebagian dari argumen rasional, tinjauannya mengarah pada kemestian wahyu, dan sebagiannya mengarah kepada kemestian kenabian. Akan tetapi tentu saja dengan jalan membuktikan salah satu di antara keduanya maka sudah meniscayakan ketetapan yang lainnya.

Argumentasi Rasional

Untuk membuktikan kemestian kenabian, jalan pertama yang harus ditempuh mengkonstruksi argumentasi rasional tentangnya, sebab tanpa landasan argumentasi rasional maka permasalahan fundamen ini tidak memiliki nilai validitas ilmiah yang bersifat universal (sebab orang-orang ateis dan penganut agama yang tidak mengakui kemestian kenabian tidak dapat dimasukkan ke dalam orang-orang yang bisa menerima argumentasi kenabian dengan jalan naqli). Ini disebabkan karena apabila masalah kenabian dijelaskan dengan argumentasi wahyu maka hal ini hanya dapat dilakukan jika eksistensi Tuhan dan eksistensi Firman-Nya telah dibuktikan dengan argumen rasional terlebih dahulu. Oleh karena itu, langkah pertama yang mesti dilakukan membuktikan prinsip kenabian dengan argumentasi akal. Setelah dibuktikan tentang keniscayaannya dan wahyu yang diturunkan pada Nabinya (khususnya Nabi Muhammad SAW beserta Al-Quran yang turun padanya), barulah dapat dibuktikan masalah kenabian dan rincian tentangnya dengan pendekatan ayat-ayat Al-Quran.

Adapun landasan argumentasi rasional kemestian kenabian, di antaranya beberapa premis berikut, Pertama, kebutuhan manusia kepada undang-undang secara daruri dan ketidakmampuan mereka untuk mengadakannya. Kedua, kebutuhan kepada kesempurnaan ruh. Ketiga, kemestian pembimbing. Sekarang kita akan menguraikan argumen kemestian kenabian ini dan landasannya.

Kebutuhan Terhadap Undang-undang dan Ketidakmampuan Manusia Mengadakannya    

                Penjabaran burhan ini dapat disempurnakan dengan menjelaskan beberapa poin terlebih dahulu sebagai mukaddimahnya:

  1. Penciptaan manusia berasaskan hikmah dan hanya sanggup ditangani oleh Tuhan Yang maha Bijaksana dan Hakîm,
  2. Manusia tersusun dari dua unsur materi dan ruh. Komposisi ini telah menyebabkan manusia mesti mendapatkan kekhususan-kekhususan badan materi dan kekhususan-kekhususan ruh non-materi, dan ini mengimplikasikan adanya kebutuhan manusia yang bersifat rasional dan bersifat empirikal, namun tujuan sejati dari penciptaan manusia, hakikatnya adalah perkara rasional dan langgeng.
  3. Manusia dari dimensi materi dan tabiat, adalah maujud yang bergolak, tidak puas, agresor, penindas, memperbudak, dan egois. Ada kemungkinan sifat agresor terhadap hak-hak orang lain ini sudah inheren dengan dimensi wujud tabiatnya. Dari sisi ini, jika kekuatan tabiat manusia tidak dikekang dan dikontrol, maka ia merupakan maujud berbahaya dan pembuat keburukan, yang apabila ia berkeinginan memikirkan tentang masalah hak-hak manusia dan menyusun tentangnya maka niscaya ia akan berpikir dan menyusun hal yang menguntungkan sekelompok orang serta merugikan kelompok lainnya. Dan dengan undang-undang yang ia susun demikian, akan mengantarkan manusia pada perbudakan sekelompok orang dan kelompok lainnya sebagai penindas serta pengambil keuntungan. Selanjutnya kelompok lemah akan semakin terpojok dan lemah posisinya, yang pada akhirnya akan mengarah kepada kehancuran, ketiadaan, atau perbudakan dalam bentuk yang bermacam-macam. Manusia seperti ini memandang cara mencapai kebahagiaan dengan jalan penindasan dan itu merupakan logikanya. Mereka ini hendak membawa orang-orang lemah di bawah kekuasaannya serta memperbudaknya. Namun, sebab penindasan terhadap orang lain bukanlah hal yang langgeng maka tidak lama kemudian terjadilah pertentangan dan pergolakan di antara kelompok-kelompok yang berlawanan. Oleh karena itu, ungkapan populer ini seperti manusia adalah makhluk berperadaban, manusia adalah makhluk berbudaya, tidaklah benar tanpa analisa dan penguraian yang tepat. Bahkan dengan watak material yang bersemayam dalam tabiat manusia selamanya peradaban ini tidak pernah terinstitusikan, sebab mereka secara tabiat (bukan fitrah) menginginkan segala sesuatu itu kepada dirinya dan bagi dirinya (egoisme).
  4. Dari sisi lain, manusia tidak memiliki jalan lain kecuali hidup bermasyarakat, sebab ia tidak mampu secara sendiri memecahkan kesulitan-kesulitan hidup yang sangat banyak dari pangkal jalan kehidupannya dan mencapai keinginan-keinginan yang muncul dari kebutuhan-kebutuhan naturalnya. Oleh karena itu, ia membutuhkan kehidupan bermasyarakat dan bermitra. Dan dalam kehidupan bermasyarakat dan bermitra ini, akan nampaklah akar-akar ketidakadilan dan kezaliman, pelanggaran hak-hak, penjajahan, penindasan, ketamakan, egoisme, dan tabiat buruk manusia lainnya. Di sinilah letak kebutuhan manusia terhadap undang-undang, undang-undang yang universal, komplit, sempurna, menyamaratakan, dan menyampaikan manusia kepada keamanan serta kesejahteraan.
  5. Dari sisi lain, akal manusia dalam membawa manusia untuk melewati jalan kesempurnaan dan kebahagiaan, kendatipun mempunyai pengaruh yang cukup penting akan tetapi ia secara sendiri tidak dapat menyingkap semua kejahilan-kejahilan serta memecahkan seluruh perselisihan, pertentangan, dan kekisruhan. Sebab, sangat banyak masalah yang berhubungan dengan mabda (awal/tauhid) dan ma’âd serta sejumlah nilai-nilai agung lainnya yang jauh dari jangkauan akal manusia. apalagi, akal teoritis juga dalam pemikiran dan penalaran tidak terhindar dari kesalahan berpikir (fallacy, sophis) serta kesalahan, dan juga akal praktis dalam keputusan dan kebijakan tidak lepas dari penjara syahwat dan ghadhab (amarah). Sebagaimana yang terjadi dalam banyak bidang dan masalah, seperti ekonomi, budaya, pendidikan, akhlak, keluarga, sosial, politik, dan lainnya, akal  tidak sanggup mengkonstruksi jalan yang kokoh dan permanen. Contoh konkrit dari itu munculnya ideologi dan aliran yang beraneka ragam yang saling berlawanan dan bertentangan.
  6. Di samping itu, manusia tidak mempunyai pengetahuan dan ilmu berkenaan dengan pengadaan undang-undang komprehensif, universal, dan memenuhi seluruh segi, sebab ia tidak dapat meninjau dan  mempertimbangkan kekhususan-kekhususan seluruh wilayah secara geografis dalam seluruh periode sejarah atas seluruh masyarakat manusia dan meletakkan bagi mereka suatu undang-undang yang cocok. Contoh ketidaksanggupan ini, adanya perselisihan undang-undang dalam setiap zaman dan juga perubahan serta pergantian yang terus menerus dalam generasi demi generasi.

 

Dengan memperhatikan sisi dan dimensi yang beragam dari pembahasan dan landasan yang sudah disebutkan di atas, maka akal menerima kemestian turunnya undang-undang universal dan sempurna dari alam metafisika. Akal mengakui kekurangannya dan menerima penampakan suatu kekuatan yang membawa produk-produk pikiran ke arah hakikat serta menghilangkan kesalahan-kesalahannya, yang menolong akal dalam menemukan dan merealisasikan undang-undang universal dan sempurna Ilahi, yang menggantikan pertentangan-pertentangan serta perselisihan-perselisihan dengan kesatuan dan kesepakatan, dan yang mengorganisir kebutuhan-kebutuhan pemikiran dan rasionalitas dan memekarkan potensi-potensi insaniah serta memberitahukan jalan keberuntungan dan jalan kerugian. Suatu kekuatan yang memancar dari ilmu dan makrifat, yang mengetahui sisi-sisi kegelapan dan terang, perkara kecil dan besar, sisi universal dan partikular dari sistem alam penciptaan serta hukum-hukum yang berlaku di dalamnya.

Mazhar (penampakan/penjelmaan) dan manifestasi kekuatan ini tidak lain adalah wujud para Nabi as. Oleh karena itu, Nabi (Muhammad SAW) adalah paling pertama dan utamanya ciptaan Tuhan (yang pertama diciptakan Tuhan adalah cahayaku: hadits), dan hanya dalam pancaran kenabiannya masyarakat manusia mampu menggapai kebahagiaan. Demikian juga tentunya manusia paling akhir yang akan hidup di muka bumi ini niscaya akan melaluinya dalam naungan wahyu dan agama Ilahi, sebab kebutuhan manusia terhadap wahyu dan pembimbing adalah niscaya dan universal. (Bersambung…)

(Sumber : “Manifesto Kenabian: Rahasia dan Khatamiyyah Kenabian” oleh Syamsunar, Penerbit Chamran Press)

 

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: