Irfan & Akhlak

Bertawakkal kepada Allah SWT

oleh : Husain Mazhahiri 

Bertawakkal kepada Allah dapat dihitung sebagai salah satu kekuatan penolong untuk bisa kita menang dalam pertempuran melawan nafsu ammarah kita. Dengan bertawakkal kepada Allah SWT kita dapat memanfaatkan nafsu ammarah kita menjadi kendaraan seperti buraq guna pergi menuju alam malakut, dan kemudian keluar dari alam itu menuju tempat yang lebih tinggi, sehingga kita sampai ke alam jabarut.

“[Dialah] Tuhan masyriq dan  maghrib, tiada Tuahan melainkan Dia, maka sembahlah Dia sebagai pelindung.” (QS. Al-Muzammil: 9)

Ayat ini datang setelah Al-Quran mengatakan, “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzammil: 5) Jika anda ingin sampai ke suatu tujuan tertentu maka Anda harus menjadikan Allah SWT sebagai pelindung. Atau dengan kata lain, Anda harus bertawakkal kepada-Nya supaya Anda memperoleh kemenangan dalam mencapai tujuan Anda itu.

Kata “tawakkal”, artinya bersandar. Kalimat yang berbunyi wakal ilaihi al-amra, artinya menyerahkan dan mempercayakan urusan kepadanya. Adapun ungkapan ittakala ‘alallahberarti tunduk dan patuh kepada Allah, sementara kalimat tawakkal ‘allallah berarti yakin dengan apa yang ada di sisi Allah SWT dan tidak bergantung serta tidak bersandar kepada apa-apa yang ada di tangan manusia.

Sedangkan kata “wakil” adalah orang yang bekerja di dalam urusan orang lain dan mewakilinya.

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan [keperluan] nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)

Artinya, Allah SWT-lah yang akan mencukupkannya jika dia bertawakkal dan bersandar kepada-Nya. Barangsiapa yang hendak melaksanakan suatu urusan yang penting hendaklah dia bertawakal kepada-Nya di dalam melaksanakan urusannya itu. Akan tetapi janganlah dia hanya bersandar kepada-Nya saja, melainkan dia juga harus berusaha dengan segenap kemampuannya untuk tercapainya urusannya itu, dan pada saat yang sama dia berharap dan bersandar kepada Allah. Karena, orang yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan menyempurnakan dan mencukupkan urusannya.

Jika seorang manusia bersandar dan bergantung kepada Allah SWT di dunia ini, niscaya dia melihat, seandainya dia bergantung kepada selain Allah maka selain Allah itu tidak mendatangkan pengaruh sama sekali bagi dirinya. Karena, hanya Allah sajalah yang layak dijadikan sandaran.

Jika Allah mengetahui seorang hamba hanya bersandar kepada-Nya dan tidak bersandar kepada selain-Nya niscaya Allah akan menolong hamba itu pada apa saja yang dia inginkan; dan seandainya seluruh manusia bekerjasama satu sama lain untuk mencelakakan hamba itu, niscaya mereka sama sekali tidak akan bisa mendatangkan sedikitpun kecelakaan baginya, walaupun hanya sebesar sayap nyamuk. Karena, Allah SWT lah yang berdiri di belakangnya dan menjaganya.

Jika Allah SWT mengangkat tangan perlindungan-Nya dari diri seseorang, niscaya orang itu akan jatuh ke tempat yang paling rendah dan hina.

Katakanlah, “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaukah segala kebajikan. Sesunggunya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali ‘Imran: 26)

Sesungguhnya ayat yang mulia ini, dari sisi maknanya sama dengan makna tawakkal yang telah kita isyaratkan. Adapun dalil yang menunjukkan hal itu ialah, jika seorang manusia bersungguh-sungguh didalam pelajarannya maka dari sisi akhlak dia akan menjadi manusia yang baik, dan dapat memanfaatkan ilmu yang telah diperolehnya, serta dengan ilmu yang dimiliknya itu dia dapat bergaul dengan masyarakat dan kemudian menjadi orang yang mulia di tengah-tengah masyarakat, persis sebagaimana yang diharapkan oleh ibu dan ayahnya. Akan tetapi siapa yang akan memberi kemuliaan ini kepadanya? Karena, sesungguhnya kemuliaan itu tidak berada di tangan seorang manusia pun.

Sebaliknya, seorang manusia yang tenggelam di dalam sifat-sifat yang buruk, maka sifat-sifat buruknya itu akan menolak kemuliaan; dan tidak ada artinya penganugrahan kemuliaan kepadanya dari sisi Allah SWT, karena dia tidak akan layak menerima kemuliaan itu. Ketika Allah SWT tidak memberikan kemuliaan kepada dia, maka tidak mungkin manusia dapat memberikan kemuliaan kepadanya, dan dia pun tidak akan bisa menarik kemuliaan kepada dirinya. Dengan begitu, dia akan menjadi seorang yang hina dan tercampakkan.

Kita sedikit demi sedikit –karena sulitnya—harus menata diri kita di sisi Allah supaya Dia menjadi wakil kita di dalam seluruh urusan kita. Kita harus bersandar dan bertawakkal kepada Allah setelah sebelumnya kita mendengar dan taat kepada-Nya.

Jika kita mengetahui, “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-A’raf : 56), dan kita mengetahui bahwa rahmat Allah mencakup segala sesuatu, maka niscaya kita akan bertawakkal dan bersandar kepada-Nya di dalam seluruh urusan kita. Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya engkau mengetahui kadar rahmat Allah niscaya engkau pasti bersandar kepada Rahmat-Nya.”

Pada hadis yang lain Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT terlah menciptakan seratus rahmat, lalu Allah turunkan satu rahmat darinya kepada para makhluk-Nya, yang dengan itu mereka saling mengasihi antara satu sama lainnya, sedangkan sembilan puluh sembilan rahmat lainnya Allah simpan untuk para kekasih-Nya.”

Dalam sebuah doa kita membaca ungkapan yang berbunyi, “Wahai Zat yang lebih baik kepada-Ku dibandingkan seorang ayah yang penuh kasih, dan lebih dekat kepada-Ku dibandingkan seorang sahabat yang akrab, Engkaulah tempat curahan perasaanku di kesunyian tatkala suatu tempat menakutkan aku, dan tatkala negeri-negeri mengusirku….”

Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya. (QS. An-Nisa: 179)

Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah, “Salamun ‘alaikum. “Tuhanmu telah menetapkan kasih sayang atas diri-Nya. (QS. Al-An’am: 54)

Semua orang tahu bahwa para wali Allah adalah mereka yang mengetahui rahmat Allah. Dengan begitu, mereka bersandar dan bertawakkal kepada-Nya, dan karena itu Allah SWT mengangkat perasaan takut dan sedih dari hati mereka.

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (QS. Yunus: 62)

Semua perasaan takut dan kekhawatiran yang terjadi di dunia ini merupakan akibat logis dari tidak adanya tawakkal kepada Allah SWT. Barangsiapa bertawakkal kepada Allah dan bersandar kepada-Nya, niscaya dia menjadi seorang pahlawan yang pemberani. Karena, orang yang bertawakkal kepada Allah tidak mengenal kecemasan dan kekhawatiran. Anda melihat mereka senantiasa bersemangat di dalam bekerja demi dunia dan akhirat mereka. Tawakkal dan penyandaran diri mereka kepada Allah, membantu mereka untuk bisa keluar dengan mudah dari berbagai kesulitan. Sebaliknya, manusia yang senantiasa cemas dan gelisah, maka ketikanafsu ammarah-nya menerpa dirinya maka dengan serta merta insting seksualnya mengendalikan dirinya, untuk kemudian menjerumuskannya ke dalam lembah yang hina.

‘Allamah Thabathaba’i, penulis kitab Tafsir al-Mizan, telah menyebutkan dua puluh empat faktor pembantu yang ada pada diri Zulaikha yang bisa menjerumuskan Yusuf as ke dalam maksiat. Beberapa diantaranya ialah, Zulaikha adalah seorang wanita yang sangat cantik, dia masih muda, ratu Mesir, berbicara dengan Yusuf dengan penuh syahwat, dia meminta Yusuf melakukan maksiat dengannya, dan dia menyiapkan bagi Yusuf semua sarana yang mendorong kapada tindakan yang tidak senonoh. Akan tetapi Yusuf tidak melakukan sesuatu kecuali yang di ridhai oleh Allah SWT, meskipun dia mangancam dengan pemukulan, pengusiran, dan pemenjaraan.

Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud [melakukan perbuatan zina] dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud [melakukan pula] dengan wanita itu andai kata dia tidak melihat tanda [dari] Tuhan-nya. (QS. Yusuf: 24)

Yusuf telah bersandar dan bertawakkal kepada Allah, maka Allah pun meraih tangannya dan membawanya untuk selamat dari azab dan kecelakaan.

Seseorang bertanya kepada Marji’ Besar Muqaddas Ardabili—semoga rahmat Allah tercurah atasnya, “Jika Anda berduaan dengan seorang wanita muda yang cantik di tempat yang aman dan sunyi, apa yang Anda lakukan?” Muqaddas Ardabili menjawab, “Saya akan berlindung kepada Allah dan bertawakkal kepada-Nya, serta menyerahkan urusan kepada Allah dan tidak melakukan apa yang dibenci-Nya.”

Benar, sesungguhnya pada keadaan yang seperti ini, tidak ada manusia yang dapat selamat darinya kecuali orang  yang mengenal Tuhannya, meyakini hari perhitungan, dan takut akan kedahsyatan hari kiamat. Kita berlindung kepada Allah dari keadaan yang seperti ini.

Perlu kita sebutkan, bahwa semua insting yang ada pada diri kita berada pada bentuk yang seperti ini. Di antara insting-insting yang setiap hari yang kita praktekkan, diantaranya ialah insting makan dan minum. Rasa lapar terkadang bisa memaksa seorang manusia untuk memakan bangkainya. Demikian juga insting seksual, yang dikatakan oleh Freud sebagai akar syahwat. Freud mengatakan bahwa insting seksual merupakan pusat dari semua insting yang ada pada diri manusia. Hipotesa Freud ini dibantah dan digugurkan oleh murid-muridnya sendiri.

Freud mengatakan, “Sesungguhnya semua insting secara mendasar kembali kepada insting seksual. Penghisapan seorang bayi terhadap tetek ibunya termasuk ke dalam kategori insting seksual.” Salah seorang muridnya menjawab’ “Hingga sekarang Anda belum mengalami kelaparan. Jika kelaparan menimpa diri Anda, maka Anda akan menolak melakukan kegiatan seksual dengan sorang wanita muda yang cantik, dan Anda lebih mengutamakan makanan yang dapat menghilangkan rasa lapar Anda, serta tidak terlintas sedikit pun masalah-masalah seksual di dalam pikiran Anda.

Sungguh benar apa yang dikatakan oleh murid Freud ini. Kita telah menyaksikan bagaimana manusia memakan anjing dan kucing di saat kelaparan. Inilah sekarang yang sedang terjadi di Rusia, di mana harga-harga barang begitu tinggi, sehingga memaksa mereka untuk memakan anjing, kucing, dan bangkai. Kondisi kehidupan dan perekonomian yang kita alami sekarang ini, tidak memaksa kita untuk melakukan yang seperti itu. Oleh karena itu kita patut memuji Allah dan mensyukuri segala nikmat-Nya.

Insting kecintaan kepada kedudukan pun demikian. Dia mendorong manusia kepada kehianaan, manakala nyala apinya membakar seorang manusia yang tidak mengenal tawakkal dan berserah diri kepada Allah.

Nadir-Syah telah mencungkil kedua mata anak laki-lakinya yang masih muda, setelah dia mendengar anaknya itu meminta kepemimpinan dari dirinya. Nadir Syah juga berusaha mencungkil mata-mata lainnya, akan tetapi Allah SWT mencegahnya untuk bisa melakukan hal itu. Lalu, masyarakat membunuhnya, setelah mereka menyerang Nadir Syah di kemahnya, untuk kemudian merancah badannya menjadi serpihan-serpihan kecil.

Makmun Al-‘Abbasi menceritakan, “Aku pernah duduk bersama ayahku Harun di majelisnya, lalu masuklah Imam Musa bin Ja’far al-Kazhim  kepada kami. Ketika itu saya belum mengenalnya, namun tampak dengan jelas saya menyaksikan gemetarnya ayah saya manakala dia masuk dan bangkit dari tempatnya untuk menuntun Imam Musa  masuk ke kamar khususnya dengan penuh penghormatan. Setelah satu jam, ayah saya pun keluar dari kamarnya disertai Imam Musa al-Kazhim. Ketika itu ayah saya memeluk dan menciumi Imam Musa, dan dia memerintahkan kepada saya, saudara saya, dan orang-orang lain yang ada disekitarnya untuk mengantarkan Imam Musa kerumahnya dengan penuh penghormatan. Kami pun melakukan apa yang diperintahkan oleh ayah, lalu setelah itu kami kembali.

Ketika saya melihat semua yang hadir telah meninggalkan majelis ayah saya Harun, saya bertanya kepada ayah saya, ‘Katakan kepadaku wahai ayahku, siapakah laki-laki itu? ‘Harun menjawab, ‘Dia adalah orang yang lebih mengetahui dan lebih berhak atas kekhilafahan. Dia adalah salah seorang putra Rasulullah Muhammad SAW.’

Saya berkata kepada ayah saya, ‘Lalu mengapa Anda tidak serahkan saja kekhilafahan itu kepadanya, wahai ayahku?’ Mendengar itu ayah saya pun menoleh ke arah saya, dan berkata dengan wajah yang merah padam, ‘Seandainya aku tahu bahwa engkau menjadi rival bagiku di dalam urusan ini, niscaya aku akan mencungkil kedua biji matamu.’

Seorang manusia Muslim hendaknya betawakkal kepada Allah, Zat yang mencukupkan dan menolongnya manakala dia mendapati salah satu dari instingnya membangkang kepadanya. Dengan begitu, dia dapat menjinakkan instingnya itu. Allah SWT berfirman, “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan [keperluan]nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)

Selamat, bagi mereka yang mampu berdiri kokoh di hadapan berbagai dorongan syahwat, dengan bertawakkal dan berserah diri kepada Allah SWT.

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: