“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah
diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang telah diperintahkan itu, berarti)
kamu tidak menyampaikan risalah-Nya,
dan Allah menjagamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
Kepada orang-orang yang ingkar.”
(QS. Al-Maidah, 5 : 67)
Ayat di atas turun pada hari kamis, tanggal 18 Zulhijjah tahun 10 hijrah, setelah Rasulullah SAW selesai menunaikan ibadah haji yang dikenal dengan “hijjah al wada” (haji perpisahan) atau disebut juga dengan hijjah al Islam (haji Islam), hijjah al balagh (haji penyampaian risalah), hijjah al kamal (haji kesempurnaan) dan hijjah al tamam (haji penyempurnaan). Ayat tersebut berkenaan dengan pengangkatan Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah Rasulullah SAW.
Di bulan Zulhijjah, umat Islam di seluruh penjuru dunia senantiasa diingatkan oleh dua peristiwa yang sangat monumental. Pertama, adalah turunnya perintah dari Allah SWT kepada Nabi Ibrahim as untuk menyembelih (mengorbankan) putranya yang terkasih Nabi Ismail as, yang selanjutnya segala bentuk ‘ekspresi’ terhadap Wahyu Ilahi tersebut kemudian diabadikan oleh Allah SWT dalam serangkaian ritual ibadah haji yang dilaksanakan setiap tahunnya oleh umat Islam dari berbagai penjuru dunia di tanah suci Mekkah. Kedua, adalah peristiwa Ghadir Khum, yaitu peristiwa turunnya Wahyu Allah (QS. Al-Maidah, 5 : 67) untuk menyampaikan perintah-Nya berkenaan dengan pengangkatan/penunjukan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Peristiwa ini sendiri tidak begitu populer, bahkan hampir-hampir menjadi sesuatu hal yang terlupakan dalam sejarah perkembangan Islam.
Peristiwa Ghadir Khum, meskipun dilupakan bahkan terkadang orang ingin menghapuskannya dari sejarah Islam, namun tetap menjadi bagian penting dan monumental dari rangkaian panjang perjalanan sejarah umat Islam. Dikatakan monumental, paling tidak karena dua hal. Pertama, bahwa di Ghadir Khum tersebut, diturunkan perintah terakhir menyangkut masalah keimamahan (kepemimpinan) yang dengannya risalah Islam menjadi sempurna. Kedua, dengan selesainya penyampaian masalah kepemimpinan oleh Rasulullah SAW, maka kelanjutan risalah dan perjuangan Islam tentu akan terwujud.
Berikut ini beberapa riwayat berkenaan dengan peristiwa Ghadir Khum yang monumental itu.
- Muhammad Ar-Razi telah mengatakan : Telah turun ayat tersebut tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah, dan ketika ayat ini diturunkan dia (Rasulullah SAW) memegang tangannya seraya berkata : ”Barangsiapa yang menjadikanku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya, ya Allah belalah orang yang membela dia dan musuhilah orang yang memusuhi dia”. Kemudian Umar bin Khattab menemuinya, dia mengatakan (kepada Ali) : Selamat bagimu wahai putra Abu Thalib, anda telah diangkat menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap mu’min dan mu’minah. Dan dia itu (yakni turunnya ayat tersebut berkenaan dengan keutamaan Ali) ialah perkataan Ibn Abbas, Al-Barra dan Muhammad bin Ali (Tafsir Al-Fakhr Ar-Razi).
- Sahabat Nabi Zaid bin Arqam telah berkata : Ketika Rasulullah SAW pulang dari hijjah al-wada’ dan singgah di Ghadir Khum, beliau memerintahkan agar dipasang tenda-tenda yang besar, kemudian beliau bersabda : “Seolah-olah aku telah dipanggil dan aku akan memenuhi (panggilan itu), sesungguhnya aku telah meninggalkan padamu dua pusaka yang amat berharga, yang pertama lebih besar dari yang lainnya, Kitab Allah Yang Mahatinggi dan Itrahku Ahli Baitku, maka perhatikanlah bagaimana kalian akan memperlakukan keduanya sepeninggalku, sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah sehingga mereka datang kepadaku di telaga, (kemudian beliau bersabda), Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla adalah Maula-ku dan aku adalah maula setiap orang yang beriman. Kemudian beliau memegang lengang Ali lalu beliau bersabda : Barangsiapa yang menjadikanku pemimpinnya maka orang ini sebagai pemimpinnya, ya Allah belalah orang yang membelanya dan musuhilah orang yang memusuhinya.” (Al-Mustadrak).
- Al-Barra bin Azib telah berkata : “Kami bersama Rasulullah SAW dalam suatu safar, dan kami singgah di Ghadir Khum, kemudian diserukan kepada kami shalat berjamaah dan dibersihkan tempat untuk Rasulullah SAW di bawah kedua pohon, lalu beliau shalat zuhur. Setelah itu beliau memegang lengang Ali, seraya bersabda : Bukankah kalian telah mengetahui, bahwa aku lebih berhak terhadap orang-orang mukmin daripada diri-diri mereka sendiri ? Mereka berkata : Tentu saja. Dia berkata lagi : Bukankah kalian mengetahui, bahwa aku lebih berhak (sebagai wali) bagi setiap orang mukmin daripada dirinya sendiri ? Mereka berkata : Tentu saja. Al-Barra berkata : Kemudian beliau memegang lengang Ali lalu beliau bersabda : Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya maka Ali adalah maulanya, ya Allah belalah orang yang membelanya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Al-Barra berkata : Lalu Umar setelah itu menemuinya, dan berkata : Selamat wahai putra Abu Thalib, kini anda telah menjadi pemimpin setiap orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan (Musnad Imam Ahmad bin Hanbal).
- Sa’ad bin Abi Waqqash telah berkata : “Saya telah mendengar Rasulullah SAW berkata pada hari Al-Juhfah, lalu ia memegang lengan Ali dan berkhotbah. Dia memuji Allah dan menyanjungnya, kemudian beliau mengangkat tangan Ali seraya beliau bersabda : Inilah waliku, dia akan membayar utangku dan aku akan membela orang yang membela dia dan memusuhi orang yang memusuhi dia.” (An-Nasai dalam Khashaish al-‘Alawiyyah, Al-Bidayah wa al-Nihayah, Al-Ghadir).
- Sa’ad bin Abi Waqqash telah berkata : “Kami bersama Rasul Allah SAW, maka tatkala beliau sampai di Ghadir Khum beliau berhenti untuk mengumpulkan manusia, beliau menyuruh kembali orang yang telah mendahuluinya dan menunggu orang-orang yang ada di belakangnya. Setelah orang-orang berkumpul, beliau bersabda : Wahai manusia siapakah pemimpin kamu ? Mereka berkata tiga kali : Allah dan Rasul-Nya. Kemudian beliau memegang tangan Ali dan mengangkatnya seraya bersabda : Barangsiapa yang Allah dan Rasul-Nya sebagai pemimpinnya maka orang ini (Ali bin Abi Thalib Kw) adalah pemimpinnya, ya Allah belalah orang yang membela dia dan musuhilah orang yang memusuhi dia.” (Al-Ghadir).
Itulah sebagian sahabat Nabi SAW yang telah meriwayatkan hadis al-ghadir (man kuntu maulahu fa aliyyun maulahu …..), Al-Amini rahimahullah telah menyusun daftar para sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadits al-ghadir, sahabat Nabi yang telah meriwayatkan hadis tersebut seluruhnya ada 110 orang (Al-Ghadir).
Setelah selesai, Rasulullah SAW mengangkat Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai khalifahnya yang pertama, lalu turunlah ayat :
“Pada hari ini (Kamis, 18 Zulhijjah tahun 10 Hijrah) telah
Ku-sempurnakan ajaran untukmu dan telah Ku-cukupkan
Nikmat-Ku atasmu dan telah Ku-ridhai Al-Islam
Sebagai pedoman hidupmu.”
(QS. Al-Maidah 5 : 3)
- Dari Abu Sa’id Al-Khudri dia telah berkata : Tatkala Rasulullah SAW memberi jabatan kepada Ali pada hari Ghadir Khum, maka dia (Rasul Allah) menyerukan wilayah untuknya (lalu) jibril turun kepadanya dengan membawa ayat ini : “Al-yauma akmaltu lakum dinakum …….” (Tafsir Al-Durr al-Mantsur).
- Dari Abu Hurairah dia telah berkata : “Barangsiapa yang shiyam pada tanggal 18 Zulhijjah, akan dituliskan baginya pahala shiyam 60 bulan. Hari itu adalah hari Ghadir Khum, yakni ketika Nabi saw memegang tangan Ali bin Abi Thalib, baliau bersabda : “Bukankah aku sebagai pemimpin kaum mukminin. Mereka berkata : “Ya (engkau sebagai pemimpin kami). Beliau berkata : “Barangsiapa yang menjadikanku sebagai maula-nya, maka Ali adalah maula-nya.” Setelah itu Umar bin Khattab berkata kepada Ali bin Abi Thalib : “Selamat untuk anda wahai putra Abu Thalib, sekarang anda telah menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap muslim.” (Tarikh Baghdad oleh Al-Khathib Al-Baghdadi).
- Diantara orang yang tidak senang kepada Sayyidina Ali dan tidak menerima ketentuan Allah yang disampaikan Nabi-Nya di Ghadir Khum adalah Al-Harits bin Al-Nu’man Al-Fihri. Sufyan bin Uyainah telah berkata : Ayahku telah menceritakan kepadaku dari Ja’far bin Muhammad dari ayah-ayahnya, semoga Allah meridhai mereka, bahwa Rasulullah SAW ketika sampai di Ghadir Khum beliau memanggil manusia lalu mereka semua berkumpul, kemudian beliau memegang lengang Ali dan berkata : “Man kuntu maula fa ‘Aliyyun maulahu “. Hadits ini tersebar ke berbagai negeri dan sampailah kepada Al-Harits bin Al-Nu’man Al-Fihri, lantas dia mendatangi Rasulullah SAW dengan mengendarai unta betinanya. Setibanya ditempat Nabi SAW dia derumkan untanya lalu turun. Kemudian dia berkata : “Wahai Muhammad anda telah perintah kami dari Allah Azza wa Jalla, agar kami bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa engkau utusan Allah, masalah ini telah kami terima. Engkau telah perintah kami agar shalat lima kali (setiap hari), kami terima. Engkau telah perintah kami untuk mengeluarkan zakat, kami terima. Engkau telah perintah kami shaum bulan Ramadhan, kami terima. Dan kamu telah perintah kami agar menunaikan haji, maka kami telah melaksanakannya. Namun engkau ini tidak merasa puas dengan semua itu, sehingga kau angkat kedua tangan anak pamanmu dan engkau utamakan dia di atas kami semua, lalu engkau katakan : “Man kuntu maulahu fa ‘Aliyyun maulahu.” Apakah ini aturan darimu atau dari Allah Azza wa Jalla ? Lantas Nabi SAW bersabda : “Demi yang tidak ada tuhan selain Dia, sesungguhnya ketentuan ini dari Allah Azza wa Jalla”, lalu Al-Harits bin Al-Nu’man berpaling dan menuju kepada untanya yang ditambatkan seraya mengucapkan sumpah serapah : Ya Allah, jika yang diucapkan Muhammad itu benar, maka turunkanlah atas kami batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih. Dan sebelum dia sampai ke tempat unta yang ditambatkannya, Allah Azza wa Jalla melemparkan sebuah batu keatas kepalanya hingga keluar dari duburnya lalu ia terkapar mati. Sehubungan dengan kasus ini, Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat (yang artinya) : “Ada seorang yang meminta diturunkan siksa dengan segera, tidak seorangpun yang dapat menolaknya untuk orang-orang yang ingkar, (siksa) dari Allah yang mempunyai tangga-tangga.” (Nurul Abshar oleh Asy-Syablanji, cetakan Dar al-Fikr, Faidh Al-Qadir oleh Al-Munawi).
Dari riwayat-riwayat di atas, menunjukkan bahwa peristiwa Ghadir Khum adalah sebuah kenyataan sejarah, yang tentu saja tidak dapat diingkari meskipun orang-orang tidak menyenangi bahkan ingin menghapusnya dari realitas sejarah. Dan dari keterangan itu juga sekaligus menjadi bukti terhadap prasangka sebagian umat Islam bahwa Ghadir Khum itu hanyalah buatan orang-orang Syi’ah saja. Bahwa ketidakpuasan sebagian sahabat sejak awal, sebetulnya sudah dirasakan oleh Rasulullah SAW terutama sekali ketika beliau akan menyampaikan sesuatu yang berkenaan dengan Keimamahan. Dan puncak ketidakpuasan itu berwujud dalam bentuk pertemuan di Saqifah Bani Saidah, pada saat jasad manusia suci Rasulullah SAW belum lagi dimakamkan. Seolah-olah apa yang telah disampaikannya di Ghadir Khum, menjadi sirna seiring dengan kepergian beliau menemui Tuhannya. Semoga kita tidak menjadi bagian dari Umat Muhammad SAW yang melupakan peristiwa Ghadir Khum. Sebuah peristiwa monumental.
Wallahua’lam bi al-shawwab.
Oleh : Mohammad Hossein Ridho