Perspektif

Haji : Mengembangkan Dimensi Spritual dan Sosial

Ketika melaksanakan ibadah haji, seseorang mestinya menyadari bahwa haji merupakan sebuah panggilan untuk merendahkan hati di hadapan Allah. Penghambaan kepada Allah, menolah penghambaan kepada selain-Nya, jelas termanifestasikan dalam ritual-ritual Haji. Bagaimana ibadah ini dikombinasikan dengan shalat-shalat dan doa-doa, membuatnya menjadi ibadah yang mensyaratkan penghambaan kepada Allah dalam bentuknya yang paling utama.

Haji adalah bentuk kerendahan hati di hadapan Allah Yang Maha Kuasa. Haji merupakan bentuk penelusuran dan ekspresi terhadap tanda-tanda Allah dalam bentuknya yang paling dalam. Haji adalah ibadah yang beragam manusia dari jenis yang berbeda datang bersama-sama untuk menyatakan pengabdian, penghambaan dan kerendahan hati dihadapan Allah. Kesucian, kebebasan dari nafsu, keterpisahan dari materi secara penuh dapat disaksikan di sana.

Mengunjungi rumah Allah (Ka’bah) dengan mengenakan dua helai pakaian sederhana, menunjukkan kemerdekaan mereka dari objek-objek material dan berusaha untuk melupakan segala sesuatu bahkan anak-anak, keluarga, dan tanah air mereka. Dan satu-satunya hal yang terlintas dalam pikiran mereka adalah perkataan “ya” untuk menyambut proklamasi Allah. Inilah mengapa haji dipandang sebagai salah satu bentuk terpenting dari penghambaan dan bimbingan spiritual. Lebih lanjut, sebuah pertanyaan muncul, apakah haji memiliki aspek politik dan sosial, ataukah ia hanya dapat direduksi dalam penghambaan kepada Allah, seperti halnya shalat di waktu malam, tidak memiliki hubungan apapun dengan persoalan-persoalan Islam yang telah berhubungan dengan sesama Muslim?

Dengan kata lain, apakah Haji dimaksudkan Allah semata-mata sebagai penghambaan kepada-Nya oleh seluruh Muslim, tua dan muda, dan tidak ada aspek politik dan sosial yang dapat disematkan ke dalam ibadah ini? Atau apakah ajaran ini titik temu antara aspek penghambaan dan politik; sebuah pusat bersatunya bentuk penghambaan dengan aspek-aspek ekonomi dan sosial? Al Quran, hadis dan sunah-sunah para pendahulu yang saleh ternyata membenarkan pandangan yang kedua.

Sisi Positif Ibadah Haji

Al-Quran melukiskan Haji Nabi Ibahim as sebagai berikut, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan khaki,dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.

Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu itu ada beberapa manfaat, sampai kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah).” (Q.S. 22:27-33)

Perhatikan ayat 28, dan secara seksama perhatikan kalimat, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka. Dari sini jelaslah bahwa: pertama, apakah tujuan dari manfaat-manfaat tersebut sehingga para pengunjung Ka’bah mesti menanggung sebuah kesaksian? Kalimat ini dilanjutkan dengan, dan supaya mereka menyebut nama Allah, dengan maksud bahwa Haji memiliki dua aspek yang menjelma dalam mengingat Allah, dan aspek sosial yang ditunjukkan dalam hal menjadi saksi atas manfaat-manfaat yang diberikan Allah.

Kedua, dalam ayat ini, istilah “manfaat”merujuk kepada aspek-aspek sosial dan politik yang malah diberikan prioritas atas dan suapaya mereka menyebut nama Allah. Ketiga, Al-Quran telah menggunakan kata “manfaat-manfaat” secara keseluruhan, sehinggal hal itu mencakup setiap ragam manfaat, baik ekonomi, politik maupun sosial. Kita tidak berhak untuk menyematkan bagi kalimat tersebut aspek yang spesifik. Jika kita melakukan hal itu, dengan menggunakan kalimat ini sebelum dan supaya mereka menyebut nama Allah, hal itu menunjukkan bahwa sebagai suplemen atas penghambaan, Haji memiliki dimensi manfaat yang lain. Kita semestinya tidak membatasi Haji hanya kepada penghambaan, tetapi haji harusnya dihubungkan secara langsung dengan kehidupan Muslim.

Mari kita simak uraian Syaikh Mahmud Shaltut (mantan Direktur Universitas al-Azhar, Kairo-Mesir) ketika mencoba menafsirkan kalimat ini. Dia mengatakan, “Manfaat-manfaat yang disaksikan dan didapatkan dari Haji serta telah dibahas sebagai filsafat pertama Haji, memiliki yang luas dan lengkap dan tidak akan pernah dapat direduksi kedalam karakteristik tertentu. Kalimat ini, dengan segala keumuman dan kelengkapannya, mempunyai semua aspek individual dan sosial dari Haji. Apabila penyucian diri dan pendekatan kepada Allah dipandang sebagai suatu manfaat, maka mencari informasi dengan membuat sketsa batas-batas perkembangan ilmu dan budaya adalah juga suatu manfaat. Jika keduanya dipandang sebagai suatu manfaat, maka panggilan kepada Muslim untuk memusatkan seluruh kemampuan dalam usaha menyebarluaskan Islam adalah juga manfaat. Dalam pandangan ini, manfaat-manfaat bagi Muslim beragam sesuai dengan zaman dan kondisi Muslim yang berlaku.”

Mantan Direktur al-Azhar ini juga mengatakan, “Merefleksikan tempat khusus Haji dalam Islam, dan tujuan-tujuan Haji dalam hubungannya, baik dengan pribadi maupun masyarakat, adalah sangat ditekankan bagi para ulama, cendikiawan, budayawan, politikus dan pejabat pemerintah yang memiliki wewenang administratif, bagi yang memiliki pengetahuan ekonomi dan keuangan, para guru agama dan para pejuang di jalan Allah agar memperhatikan kepada ajaran mulia ini.”

Adalah kewajiban bagi disetiap kelas masyarakat untuk bersegera ke arah perlindungan Tuhan. Para ulama, fuqaha, cendikiawan, dan ilmuwan mesti bersatu di sana, sehingga dunia akan menyaksikan sayapnya menaungi mereka, dan bagaimana konsepsi tauhid telah menyatukan mereka di Ka’bah dalam satu kesatuan, dan hasilnya mereka dapat bertatap muka, saling menasihati, dan menolong satu sama lain. Selanjutnya, saat kembali ke tanah air, mereka datang sebagai satu umat yang hati, perasaan, dan pikirannya satu tujuan.

“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat. Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”.

“Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang didalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Q.S. 22:38-41)

Apakah penempatan ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan jihad dan mempertahankan Islam setelah ayat-ayat Haji memiliki signifikasi khusus ataukah penempatan ayat-ayat Haji dan jihad secara bersamaan itu tanpa makna? Adalah tak terbayangkan apabila Al-Quran yang menempatkan ayat-ayat tersebut menolak hubungan di antara mereka.

Kesatuan gaya dan esensialitas dari relasi antara kedua kelompok ayat tersebut merupakan argumen yang membawa seseorang berpikir bahwa ada hubungan khusus antara Haji dan jihad, antara pemikiran dan perbuatan, dan bahwa lokasi pelaksanaan Haji merupakan tempat terbaik bagi Muslim untuk menyiapkan diri mereka terhadap tekanan mental dan spiritual melalui ketahanan mental dan kepemimpinan spritual, selama mereka berada di sana, agar dapat mengalahkan kekuatan dunia yang arogan dan menjajah.

Kongres ilahi terbesar ini merupakan kesempatan terbaik bagi Muslim untuk bertatap muka dan membahas persoalan politik serta membentuk kesatuan untuk menghadapi musuh-musuh mereka. Tanggung jawab ini tidak dibatasi hanya pada saat dan tempat Haji. Muslim harus menolak setiap pembatasan ruang dan waktu dan bersiap menghadapi musuh-musuh keadilan kapanpun diperlukan. Ritual Haji dan pertemuan agung sesama Muslim dar seluruh penjuru dunia merupakan kesempatan terbaik untuk melaksanakan tanggung jawab Ilahi ini.

Tidak hanya Syaikh Shaltut yang mendeskripsikan secara umum manfaat yang disebutkan dalam ayat tersebut, tetapi juga Thabari, mufassir termashur dari dunia Muslim Sunni, dengan meriwayatkan sejumlah hadits yang berkaitan dengan haji. Sebagian besar riwayat tersebut, terutama yang berhubungan dengan ayat-ayat haji di atas, menyatakan bahwa Muslim mesti meraih setiap manfaat duniawi.

Ka’bah: Penjaga Kehidupan

Al-Quran melukiskan Ka’bah sebagai “keamanan bagi manusia” dalam ayat-ayat berikut. “Allah telah menjadikan Kab’ah, rumah suci itu sebagai keamanan (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. 5:97)

Konsepsi sebagai “keamanan” dalam ayat tadi juga dapat dirujuk dalam ayat Al-Quran yang lain: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (Q.S. 4:5)

Kata qiyam yang digunakan dalam persoalan ini bermakna ‘keamanan’, yang dalam realitasnya bersinonim dengan kata imad dan sanad. Makna ayat tersebut adalah bahwa pelaksanaan ritual Haji di dekat Rumah Suci (Ka’bah) adalah sebuah jalan menuju perlindungan (keamanan) bagi kehidupan dunia dan akhirat dari masyarakat Muslim. Datang bersama pada waktu Haji bukan hanya melindungi kehidupan spiritual pribadi muslim, tetapi juga cara yang dilalui semua elemen kehidupan individual dan sosial Muslim menjadi aman. Bertindak waspada yang dimaksud ayat tersebut membawa kita kepada makna yang lebih luas, misalnya, apapun yang berhubungan dengan kepentingan Muslim dan dianggap sebagai pemelihara kebutuhannya, dilindungi melalui ritual Haji. Melalui refleksi Haji seperti pandangan di atas, masihkan untuk mereduksi aspek Haji hanya pada hal yang berkaitan dengan ibadah ritual belaka?

Perilaku politik yang meliputi organisasi, kesatuan, dan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme, dan yang menyatukan Muslim untuk memantapkan persatuan menghadapi musuh, adalah jawaban yang paling masuk akal. Al-Quran tidak mengijinkan manusia untuk menyerahkan kepemilikan mereka, yang merupakan pendukung kehidupan mereka, kepada orang-orang yang lemah pemahamannya, dan ia secara empatik berfirman: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (Q.S. 4:5).

Dengan memperhatikan ayat di atas, apakah pantas untuk menyerahkan tanggung jawab yang besar dalam urusan Haji kepada mereka yang tidak memahami urgensinya dan sama sekali tidak sadar akan peranannya dalam kehidupan Muslim? Thabari mengatakan, “Allah telah membangun Ka’bah sebagai tempat simbol-simbol perhelatan manusia dan sebagai dasar dari kepentingan mereka yang berkaitan dengan urusan-urusan mereka.”

Pengarang Al-Manar, saat mencoba menjelaskan ayat-ayat tersebut, mengatakan, “Allah telah menciptakan Ka’bah sebagai alat untuk memelihara urusan-urusan agama manusia, sehingga ia menjadi sarana penyucian perilaku mereka dan pengembangan jiwa mereka. Melalui ajaran haji, yang merupakan dasar agama kita. Kita melihat bahwa haji adalah bentuk penghambaan spiritual yang berisi aspek-aspek ekonomi dan politik.”

(Sumber: Majalah Syi’ar Edisi Haji, Islamic Culturual Centre-Jakarta)

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: