Irfan & Akhlak

Hakikat Kenabian (2)

Oleh : Syamsunar

Mengenal Kebutuhan-kebutuhan

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, diketahui bahwa akal tidak mampu memecahkan seluruh problema dan dilema manusia. Menyelesaikan seluruh kebutuhan-kebutuhan manusia dengan bersandar pada akal dan potensi-potensi persepsi lainnya adalah tidak mungkin, sebab sebagaimana telah kita ketahui dari pembahasan sebelumnya, akal manusia tidak dapat mengenal dirinya dan alam sekitarnya sebagaimana ia adanya. Oleh karena itu, ia tidak mampu menyelesaikan seluruh problema-problema mendasarnya sebagaimana seharusnya dan sampai batas kesempurnaannya.

Untuk memecahkan dan menyelesaikan masalah serta problema penting yang ada di seputar manusia, dibutuhkan informasi luas dan cukup, dan ini tidak terjangkau seluruhnya oleh kemampuan akal dan potensi persepsi lain manusia. Tuhan berfirman: “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit”. (QS. Al-Isra’ : 85)

Berdasarkan ini, maka meskipun kebutuhan-kebutuhan nyata dan hakiki manusia dengan seluruh perkara pengenalannya, juga tidak terkonsepsi oleh akal secara mandiri, sebab pengenalan terhadap kebutuhan-kebutuhan hakiki hanya dapat dilakukan dalam naungan pengenalan yang dalam dan akurat terhadap tujuan akhir dan pengenalan jalan benar untuk mencapainya, dan pengenalan perkara-perkara ini tidak mungkin bagi manusia tanpa dibantu oleh wahyu. Oleh karena itu, di sini juga harus kami utarakan kesepakatan kami dengan kelompok kedua, yakni manusia bukan hanya tidak dapat memecahkan seluruh problema-problemanya, bahkan mereka tidak dapat mengenal dan mengidentifikasi semua itu secara benar dan akurat.

Mungkin saja untuk membela kelompok pertama dikatakan bahwa kebutuhan dan keperluan tidak mempunyai makna terhadap jenis perkara yang tidak mungkin dikenali, yakni kebutuhan tidak ada dari kelompok perkara yang tidak mungkin dikenal dan diketahui, dan jika kebutuhan itu ada, niscaya ia mungkin diketahui. Sebagai penjelasan, perkara-perkara alam terdiri atas dua kelompok yakni pertama, serangkaian perkara yang bentuk keberadaannya terlepas dari persepsi kita (maksudnya keberadaannya tidak bergantung pada persepsi kita, bahkan tidak bergantung pada wujud kita), kedua, serangkaian perkara dimana persepsi dan perasaan kita terhadap mereka merupakan bentuk keberadaanya itu sendiri, yakni ia tidak terlepas dari persepsi dan perasaan kita.

Sebuah meja yang ada di hadapan kita, eksistensi dan keberadaannya sama sekali tidak mempunyai ketergantungan dengan kita. Kita ada atau tidak ada, kita mempersepsinya atau tidak mempersepsinya, meja itu tetap memiliki eksistensi. Demikian juga maujud-maujud lainnya yang keberadaannya berada di luar diri kita, seperti bumi, langit, air, udara, api, batu, dan lainnya. Tidak satupun dari maujud-maujud ini yang eksistensi dan keberadaannya bergantung pada maujud lain yang mempunyai persepsi dan perasa, sehingga apabila tidak ada maujud yang mempunyai persepsi dan perasa yang mempersepsi dan merasakan mereka maka keberadaan mereka akan menjadi ketiadaan. Akan tetapi kelompok lain dari obyek dan perkara yang terjadi di alam, seperti sakit, sedih, riang, lapar, kenyang, suka, benci, dendam, dan lainnya merupakan obyek dan perkara yang bergantung kepada maujud yang mempersepsi dan merasakannya, dan jika tidak ada maujud yang mempersepsinya maka mereka akan tiada (atau sama sekali tidak pernah akan mengada). Sebab kebutuhan terhadap sesuatu merupakan  kebutuhan suatu maujud yang memiliki perasaan dan persepsi, seperti manusia yakni manusialah sebagai maujud yang memiliki perasaan dan persepsi yang merasakan kebutuhan kepada sesuatu. Sebagai contoh, seseorang yang merasakan lapar dan mengiringi perasaan itu, ia merasakan kebutuhan kepada makanan. Jika perasaan ini tidak ada, ia tidak merasakan kebutuhan kepada makanan.

Akan tetapi klaim ini tidaklah benar dan terdapat di dalamnya kesalahan dan kekeliruan. Antara kebutuhan dan perasaan butuh telah dicampur adukkan. Perasaan butuh merupakan perkara kejiwaan, dimana keberadaannya merupakan persepsi terhadapnya itu sendiri. Tetapi kebutuhan itu sendiri, dari dimensi ia adalah kebutuhan, tidaklah demikian. Kebutuhan-kebutuhan terdiri atas dua bagian yakni satu bagian dari kebutuhan-kebutuhan adalah perkara nyata dan obyektif, seperti kebutuhan kepada makanan, pakaian, tempat tinggal dan lainnya, dan satu bagian lagi dari kebutuhan-kebutuhan merupakan perkara kejiwaan dan subyektif, seperti kebutuhan akan kasih sayang, cinta, dan lainnya. Makna kejiwaan kelompok kebutuhan ini tidak dari aspek kebutuhan terhadap mereka, akan tetapi dari aspek keterkaitan kejiwaan pada mereka. Oleh karena itu, kebutuhan dari dimensi ia adalah kebutuhan, bukanlah faktor kejiwaan, akan tetapi adalah kenyataan dan obyektifitas. Manusia butuh kepada makanan, apakah ia merasakannya atau tidak merasakannya. Mungkin saja sistem pencernaan seseorang mengalami gangguan penyakit dan tidak mengirimkan pesan-pesan secara benar yang berhubungan dengan perasaan lapar dan ia sama sekali tidak merasakan kondisi lapar, padahal badannya sudah melemah dan bahan makanan yang menjadi kebutuhannya tidak sampai padanya. Dalam kondisi ini ia tidak merasakan lapar dan tidak merasa butuh pada makanan, namun kenyataan yang  ada pada tubuhnya adalah keperluan pada makanan.

Dengan demikian, ada kemungkinan terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dalam kondisi biasa tidak terasakan oleh kita, dan untuk mendapatkan perasaan butuh, kita memerlukan pemberitahuan dan pengajaran. Kita membutuhkan sangat banyak terhadap sesuatu bagi keselamatan akhir kita, yang apabila kita tidak mengacuhkan mereka maka mereka itu tidak akan kita kenali. Di sinilah peran para Nabi as menjadi jelas. Mereka, dengan bantuan Ilahi dan dari jalan wahyu, mengenal kebutuhan-kebutuhan fundamental manusia dan juga mengetahui cara memecahkan dan menyelasaikannya, serta apa yang mereka ketahui tentangnya mereka ajarkan kepada manusia lainnya. Tanpa bantuan wahyu dan pertolongan Ilahi, kita tidak akan mengenal kebutuhan-kebutuhan kita dan tidak mengetahui cara menjaminnya: “… dan mengajarkan kamu apa yang tidak kamu ketahui”, (QS: Al-Baqarah [2]: 151).

Tujuan Duniawi atau Ukhrawi

Dalam agama asli dan murni, tujuan dari kenabian secara prinsipal adalah ukhrawi. Adapun masalah duniawi, ia hanyalah merupakan tujuan kedua dan sekunder. Akan tetapi berdasarkan sebuah penafsiran dapat dikatakan bahwa dunia dan akhirat satu sama lain tidaklah terpisah. Akhirat adalah batin dari dunia. (Risalatul Wilayah, Allamah Thabathaba’i)

Oleh karena itu, keduanya masing-masing kita tinjau sebagai tujuan dari agama dan kenabian, serta kedua-duanya berpengaruh dalam membangun keberagamaan manusia. Namun perlu dicamkan, dalam tafsiran ini juga, yang asli dan hakikat adalah batin (akhirat) dan yang lahir (dunia) ibaratnya seperti busa air di atas air yang segera akan lenyap, dan yang hakiki serta lestari adalah batin, yang akan tampak di akhirat kelak. Dengan kata lain, apa yang akan kita saksikan di alam lain nantinya, pada dasarnya tidak lain dari penampakan batin dari dunia ini juga. Sekarang ini juga alam akhirat sudah ada, tapi kita lalai akan  keberadaannya. Di akhirat mata kita akan terbuka dan apa yang telah kita siapkan di dunia ini akan kita saksikan di sana: “Pada hari itu mereka semuanya dibangkitkan Allah, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah menghitungnya (semua amal perbuatan itu), meskipun mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Al-Mujadilah : 6) Oleh karena itu, tujuan asli daripada agama dan kenabian adalah menjamin kebahagiaan abadi manusia, sementara perkara ini tidak akan merealitas kecuali dengan dilandasi pandangan terhadap akhirat.

Tinjauan awal yang memandang kenabian menjamin kebutuhan-kebutuhan dunia, meskipun bersifat maknawi, dalam hal ini mengambil jarak dari agama murni. Benar bahwa dalam agama terdapat faedah dan manfaat dunia yang banyak, di antaranya pengaruh-pengaruh maknawi seperti hilangnya perasaan teralienasi dan kesedihan keterasingan, mendapatkan perasaan aman dan ketenangan jiwa, serta lainnya, namun antara tujuan asli sesuatu dengan faedahnya terdapat suatu perbedaan yang prinsipal.

Beberapa hal telah disebutkan tentang manfaat dan pengaruh dari agama dan keberagamaan, akan tetapi pada hakikatnya agama adalah sesuatu yang lebih tinggi dari itu, karena agama substansinya adalah menjamin kebahagiaan abadi dan mencapai kedekatan kepada Tuhan.

Hidayah Individu dan Sosial

Tidak diragukan bahwa Tuhan yang Maha Agung telah meletakkan hidayah takwini dalam tabiat dan kodrat setiap manusia, dimana tabiat dan kodrat ini dalam pandangan pengetahuan ketuhanan disebut dengan fitrah. Mereka yang mengatakan “panggilan nurani adalah panggilan Tuhan”, berasaskan ini, telah mengungkapkan pernyataan yang benar. Akan tetapi harus dicamkan bahwa panggilan nurani tidak selamanya dengan jelas dapat sampai di telinga pendengaran kita. Terkadang begitu banyak hambatan yang ada dalam perjalanannya sehingga ia sampai pada kita dalam bentuk samar-samar ataukah bahkan sama sekali tidak terdengar oleh kita. Maka di sinilah dibutuhkan penyeru dan pengingat dari luar.

Terkadang manusia sekalipun dalam hal yang akalnya cukup untuk mempersepsi secara benar terhadapnya dikarenakan pengaruh faktor-faktor tertentu maka ia menjadi lalai, sebagai contoh akal manusia cukup untuk membuktikan keberadaan Tuhan dan Tauhid, namun terkadang dikarenakan kondisi-kondisi sosial dan kemasyarakatan yang ada, telah menjadikan ia kehilangan kesempatan melakukan pekerjaan tersebut, yakni atmosfir sosial yang muncul melalaikan manusia dari hakikat ini dan membuat mereka tidak menggunakan akal di jalan perenungan dan pemikiran berkenaan dengan kebenaran tauhid dan kekeliruan selainnya. Ini adalah suatu kenyataan yang kurang lebih dapat diterima. (Ma’arif al-Quran)

Terkadang juga akal manusia terpendam di bawah hijab keragu-raguan dan atmosfir sosial, sehingga tidak lagi memiliki kemampuan kerja. Keberadaan dan ketiadaan akal bagi manusia dalam kondisi ini hampir tidak ada bedanya.

Dari sisi lain, kapasitas semua manusia tidak berada dalam batasan dimana mereka mampu secara langsung menyingkap kandungan hakikat-hakikat yang ada di balik alam empirik. Hal ini memestikan ditemukannya kapasitas pengetahuan transenden dalam beberapa individu tertentu, sebab tidak ada kemungkinan pengiriman wahyu pada seluruh kalbu manusia dalam bentuk satu persatu. Dengan kata lain, untuk terjalinnya hubungan antara alam Ilahi dengan alam ciptaan mesti terjadi gerak dari alam atas dan alam bawah (terjadi pergerakan dari dua arah).

Ungkapan ini sendiri bermakna bahwa, dari alam bawah terdapat orang-orang yang berupaya untuk meningkatkan kapasitas eksistensi dan pengetahuannya sehingga melintasi puncak alam ciptaan dan mendapatkan kemampuan berkomunikasi dengan alam-alam lain, khususnya alam Ilahi. Di sisi lain, dari alam atas juga terjadi proses penurunan hakikat-hakikat ketuhanan, dan hakikat-hakikat ini mendapatkan domain penurunannya sampai batas dimana dapat terjangkau oleh manusia yang telah mengalami perjalanan transendental. Dalam kondisi inilah memungkinkan terjadi hubungan pewahyuan dan penerimaan wahyu, dan dengan dalil ini maka hakikatnya para Nabi as di satu pihak melakukan mikraj dan di pihak lain Tuhan menurunkan wahyu-Nya.

Oleh karena itu, jelaslah bahwa satu persatu manusia tidak mampu untuk menanggung beban berat ini. Beratnya tajalli Ilahi dan tekanan yang timbul darinya, telah membuat Nabi Musa as jatuh pingsan tidak sadarkan diri: “Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” Allah berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) kepada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, “Maha suci Engkau dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.” (QS. Al-A’raf : 143)

Tuhan menyifatkan wahyu dengan beban berat, dimana untuk menanggungnya Nabi SAW harus meninggalkan tidur malamnya dan beribadah yang berat untuk mempersiapkan dirinya menanggung beban berat tersebut: “Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil, (yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu, atau lebih dari (seperdua) itu, dan bacalah Al-Quran itu dengan tartil. Sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang  berat kepadamu.” (QS. Al-Muzammil :1-5)

          Oleh karena itu, orang-orang yang terpilih (menjadi Nabi) di antara manusia adalah orang-orang yang memiliki kesiapan untuk menerima wahyu dan makrifat-makrifat ketuhanan, kemudian berasaskan itu mereka memimpin dan memberi petunjuk kepada manusia, sebab Tuhan yang menciptakan manusia untuk kebahagiaan akhirat kebahagiaan yang berada dalam pusaran keimanan pada Allah dan hari akhirat dan Allah tahu bahwa bagi manusia akan datang syarat dan kondisi dimana mereka lalai terhadap masalah-masalah universal ini, hikmah Dia mengharuskan bahwa dalam syarat dan kondisi demikian ini, Dia mengirimkan orang-orang pembaharu, pengajar, dan pengingat yang mengarahkan manusia untuk perhatian terhadap suatu tema yang fitrahnya memberi kesaksian terhadapnya dan akalnya paham tentang tema tersebut, meskipun pada awalnya mereka dalam keadaan lupa dan lalai. Ungkapan Amirul Mukminin Ali kw: “Memberi peringatan pada mereka akan nikmat-Nya yang terlupakan serta membangunkan akal-akal mereka yang tertimbun”, mungkin mengarah kepada tema ini.

Maka dari itu dalam masalah kenabian, tidak dapat diterima pandangan kelompok pertama yang hanya bertumpu pada hidayah individu. Hidayah masyarakat adalah mesti dan apabila tidak ada hidayah ini kepada manusia maka mereka tidak dapat sampai pada kebahagiaan abadi.

Keselarasan Para Nabi dan Urafa

Tidak diragukan antara urafa dan para Nabi terdapat keserupaan yang banyak. Antara pengalaman batin para Nabi as dengan urafa juga terdapat banyak kesamaan. Kedua kelompok memperoleh mukasyafah batin dimana orang biasa tidak mendapatkan itu. Para cendekiawan Muslim menghitung penyaksian realitas dalam kondisi tidur (ru’yah shâdiq) dan mukasyafah urafa sebagai tingkatan-tingkatan rendah dari kenabian.  Para Nabi as memiliki apa yang dimiliki oleh urafa dan juga memliki sesuatu yang lebih dari itu. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan setiap Nabi adalah urafa, akan tetapi setiap urafa belum tentu adalah Nabi, karena itu di antara mereka nisbahnya adalah umum dan khusus mutlak.

Oleh karena itu, tidak boleh dipandang perolehan-perolehan irfani itu asing dari kondisi-kondisi kenabian, jika terdapat perbedaan bentuknya tidaklah sampai membuat asing satu sama lain. Adapun poin penting dari masalah ini, mengungkapkan bentuk yang jelas dari perbedaan kedua kelompok tersebut. Apa yang membuat para Nabi as berbeda dengan urafa? Apakah hanya karena para Nabi as merasakan adanya tugas sedangkan urafa tidak memiliki hal itu adalah dimensi yang membedakan kedua kelompok ini?

Sebagian orang menganggap bahwa hanya perasaan diberi tugas yang membedakan antara para Nabi as dengan urafa. Mereka melihat perbedaan para Nabi as dengan urafa dalam hal ini (mendapatkan tugas), dan menurut pandangan mereka terkadang dari sisi alam atas (alam Ilahi) terlontarkan perintah dan tugas untuk menyampaikan satu rangkaian pesan-pesan dan aturan-aturan amal. Para Nabi as sedemikian yakinnya terhadap perintah dan tugas itu dan sedemikian mereka rasakan kepercayaan serta kepastian sehingga mereka siap menghadapi segala kepahitan, kesempitan, serangan, dan permusuhan, serta mereka teguh menjalankan tugasnya.

Metode pendekatan ini, jika dihubungkan dengan pandangan  pertama tentang  kenabian adalah seirama, dan berhadapan dengan problem serta isykal (kritik). Problem yang paling urgen dihadapinya, tidak memandang peran Tuhan dalam memilih dan mengangkat seorang Nabi.  Dalam bentuk pendekatan ini, pengalaman kenabian tersifati sedemikian hingga cocok juga dengan keimajinasian manusia, sebab mereka mengatakan tonggak kepribadian dan kenabian para Nabi dan satu-satunya modalitas mereka, hanyalah wahyu atau dengan peristilahan kontemporer pengalaman keagamaan. Dalam pengalaman ini, Nabi melihat demikian ini bahwa terkadang seseorang datang di sisinya dan membisikkan pada kalbunya pesan-pesan dan perintah-perintah.

Problem dari ungkapan ini, bahwasanya wahyu dipandangnya sebagai pengalaman agama dan tidak lebih dari itu, sehingga ia tidak membedakan antara wahyu dengan pengalaman-pengalaman keagamaan urafa. Padahal, terdapat kekhususan-kekhususan dalam wahyu yang tidak ada dalam pengalaman-pengalaman keagamaan.

Para Nabi as, semuanya mendapatkan saham kenabiannya dari sisi Tuhan, sedangkan asset urafa bisa dipandang dalam batas tertentu merupakan faktor perolehan (iktisâbi). Adapun yang merupakan faktor iktisâbi pada diri Nabi-Nabi adalah kadar yang sama mereka dengan urafa, sedangkan yang membedakan mereka dengan urafa lainnya adalah hibah dan pemberian Ilahi. Ibnu Arabi, di dalam berbagai kitabnya menjelaskan tentang tema ini, khususnya dalam kitab maestronya Fushus al-Hikam. Di awal pembahasan mutiara hikmah Nabi Dawud as dalam kitab ini, Ibnu Arabi menuliskan seperti in: “Ketahuilah, karena kenabian dan risalah terkhusus dari Tuhan maka pada keduanya tidak ada sama sekali iktisâbi. Yakni pemberian kenabian tasyrî’i kepada para Nabi as (adalah mauhûbi), sebagaimana pemberian-pemberian Tuhan yang lainnya atas mereka, itu juga berupa kenikmatan dan pengutamaan.” Dalam kitab Al-Futuhât al-Makkiyyah, ia menyandarkan kepada seluruh kaum Muslimin berkenaan masalah ini, dan berkata: “Menurut akidah kaum Muslimin, seluruh syariat-syariat merupakan ilmu-ilmu mauhûbi (pemberian).” Para komentator kitab Fushus Ibnu Arabi seperti Qaishari dan Kâsyâni, juga menguatkan dan menegaskan tema ini.”

Sebagian cendekiawan tercerahkan dan agamis juga mengomentari topik ini dan berkata: “Nabi SAW tidak membuat Al-Quran dengan akal dan istidlalnya, tapi terlontar dari luar dan dari sisi Tuhan baginya.”

Mereka yang memandang antara para arif dan para Nabi as perbedaannya hanya pada tataran perasaan adanya tugas dan tanggung jawab, sesungguhnya bermaksud mematerikan dan membumikan seluruh identitas kenabian serta menafikan dimensi alam Ilahinya. Dan pandangan mereka bahwa rancangan asli bahkan seluruh rancangan yang ada berada di tangan manusia, pada dasarnya tidak butuh membawa nama Tuhan apatah lagi eksistensi-Nya dalam pembahasan masalah kenabian. Analisa kenabian seperti ini, tidak hanya menyalahi ruh Islam murni bahkan juga selaras dan sejalan dengan ateisme dan ketiadaan keimanan pada Tuhan.

Adapun penjelasan prinsip kenabian berdasarkan atas hikmah dan kehendak baik Tuhan, dalam uraian ini, sebagaimana yang telah lalu, inisiatif perbuatan tidak keluar dari kekuasaan Tuhan dan Tuhan tetap merupakan perancang asli dan utama dalam peristiwa kenabian. Di sini, eksistensi Tuhan sudah menjadi postulat, dengan pengertian sudah diterima dan diaplikasikan dalam menjelaskan masalah kenabian.

Hikmah Tuhan juga menjadi postulat. Yakni jika kita tidak memandang Tuhan sebagai Maha Hakîm, tidak akan didapatkan konsep keniscayaan pengutusan Nabi. Hikmah Tuhanlah yang meniscayakan Dia tidak melepaskan manusia dalam kondisinya sendiri (kondisi ketiadaan pembimbing). Dan untuk menyampaikan manusia pada kesempurnaan yang dicarinya, Tuhan membuka pengetahuan jalan benar menuju kepadanya.

(Sumber : “Manifesto Kenabian: Rahasia dan Khatamiyyah Kenabian” oleh Syamsunar, Penerbit Chamran Press)

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: