Hijab di dalam Rumah Az-Zahra
Rasulullah SAW tengah memasuki rumah Az-Zahra, Ali kw berkata : Jelaskanlah kepada kami apa tugas-tugas kami, Rasulullah SAW berkata: Pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah di kerjaakan oleh Zahra dan pekerjaan-pekerjaan di luar rumah di tugaskan kepada Ali. Fatimah berkata: Hanya Tuhan yang tahu bahwa dengan adanya pembagian tugas ini saya sangat gembira; karena Rasulullah SAW melepaskan beban pekerjaan ini dari saya dan pekerjaan di luar rumah akan senantiasa dilaksanakan oleh para lelaki.
Imam Shadiq berkata: Kaanaa amiiralmu’minina, yahtathibu wa yastasqaa wa yaknusu wa kaanat faathimatu tathhanu wa ta’jinu wa takhbizu; Amiralmu’minin as dan Fatimah as membagi pekerjaan-pekerjaannya sebagai berikut: Pekerjaan di luar rumah, seperti: mengumpulkan kayu bakar, mengambil air dari sumur, dan menyapu di kerjakan oleh Ali dan pekerjaan di dalam rumah seperti: menggiling gandum, membuat roti, dan memanggang roti dikerjakan oleh Fatimah.
Telah di nukil dari Imam Musa ibnu Ja’far yang mengatakan: Seorang lelaki buta dengan lebih dahulu meminta izin telah memasuki rumah Fatimah (sepertinya dia perlu dengan Rasulullah SAW) Fatimah mengambil kerudungnya dan beliau bersembunyi di dalam kerudung tersebut (mengambil hijab), Nabi SAW berkata: Putriku mengapa engkau menutup dirimu sedangkan dia tidak melihatmu? Beliau berkata: Apabila dia tidak melihat saya, tapi saya melihat dia dan dia (jika tidak melihat dan buta) tetapi dia mencium bau wanita! Rasulullah SAW sedemikian gembiranya sambil berkata: Saya bersaksi bahwa engkau adalah belahan jiwaku. (Hayaatu Al-Imam Husain,Khutbah Hadrat Zaenab)
Pada hakikatnya Rasulullah SAW menegaskan bahwa Fatimah sangat teliti dan berhati-hati dalam suatu pekerjaan yang berhubungan dengan menjaga dan memelihara hijab di depan non mahram. Sayyidah Fatimah dalam menjawab pertanyaan Rasulullah SAW yang berbunyi: Apa yang lebih baik bagi wanita? Fatimah berkata: An laa yaraahunnarrijaalu wa laa yarainarrijaala; lelaki tidak memandang wanita dan wanita tidak memandang lelaki, seketika itu Rasulullah SAW berkata: Engkau adalah benar-benar belahan jiwaku. (Wasaail,jilid 14)
Hijab Setelah Meninggal
Sayyidah Zahra semasa hidupnya, berkenaan dengan masalah hijab, baginya tidak hanya sebuah nilai dan asas; bahkan beliau juga mengkhawatirkan jenazah dirinya ketika setelah meninggal. Asma binti Umais berkata: Suatu hari Fatimah berkata kepada saya: Saya tidak ridha melihat perlakuan masyarakat Madinah yang wanita-wanitanya apabila setelah meninggal mereka membawanya ke pemakaman dalam bentuk yang tidak menyenangkan dan hanya selembar kain yang menutupi tubuhnya, padahal lekuk-lekuk tubuh mereka dapat terlihat di balik kain tersebut. Asma berkata: Saya melihat sesuatu di negeri Habasyah yang mengangkut jenazah-jenazah mereka. Mereka mengambil ranting-ranting dari pohon kurma kemudian mereka membuatnya menjadi sebuah keranda, setelah itu sebuah kain di letakkan di atasnya dan mereka letakkan jenazah di dalam keranda tersebut, sebagaimana badan jenazah itu tidak akan terlihat. Ketika Fatimah mendengar topik ini beliau tersenyum dan inilah satu-satunya senyuman yang terlihat dari beliau setelah wafatnya Rasulullah SAW oleh karena itu beliau berwasiat: Sediakanlah bagiku sebuah keranda yang apabila jenazah di angkat tubuhku tidak terlihat. (Dzakhaair al ‘aqbaa)
Oleh karena itu dengan memperhatikan pada ayat-ayat Quran Karim yang sebagian dari pembahasannya telah kami jelaskan dan perbuatan serta sunnah Rasulullah SAW dan keluarganya yang suci serta juga telah sampai kepada kita poin-poin kecil yang berbeda-beda dari para pemimpin agama, hijab bagi wanita dan lelaki adalah suatu kewajiban yang tidak dapat di ingkari dan barang siapa yang mengingkarinya, berarti ingkar terhadap salah satu kewajiban-kewajiban islam dan tidak satupun alasan dan uzur yang dapat di terima.
Menjaga Hak Ilahi dan Hak Sosial
Hijab bukanlah satu hak seseorang yang dapat mengatakan bahwa saya tidak senang menjaga hak ini; bahkan pada tingkat awal hal ini adalah hak Ilahi dan perintah Tuhan, dan menjaganya berarti menjaga hak Tuhan dan tidak menjaganya, berarti menginjak-injak hak Tuhan dan akan mendapat azab Ilahi, khususnya apabila sejumlah dari para pemakai hijab buruk, menyeret sebagian orang untuk berbuat dosa dan ribuan dosa-dosa lainnya yang dalam hal ini, mereka akan mendapat azab di hari kiamat lebih dahsyat dan kemalangan serta kehancuran mereka di alam akhirat yang tidak dapat di ungkapkan. Di samping itu bahwa menjaga hijab dan kehormatan, adalah suatu hak pasti sosial sebab bencana dari ketidakterjagaan dalam berhijab ini juga akan sampai kepada orang-orang di sekitarnya dan juga menjadi penyebab meluasnya dosa serta polusi di seputar orang-orang yang tinggal di dalam masyarakat itu sendiri. Seseorang tidak akan mampu memecahkan rintangan ini dan ini sama halnya dengan orang yang menciptakan kerusuhan dalam sebuah pesawat atau kapal laut, dalam hal ini tenggelamnya kapal laut atau jatuhnya pesawat akibatnya akan mencederai semua orang, tidak hanya pada orang yang berbuat kerusuhan itu; dari hal ini sebagian orang di dalam masyarakat mempunyai hak untuk menghalangi orang-orang yang tidak berhijab dan yang berhijab buruk, dan ini bukan berarti ketiadaan kebebasan, bahkan hal ini berarti menjaga kebebasan orang lain. Dengan dalil ini, amar ma’ruf wa nahi munkar adalah wajib bagi seluruh masyarakat sosial, jadi seluruh masyarakat harus bertindak untuk mencapai hak-haknya sebagai masyarakat dan keselamatan sosialnya. Dalam ibarat yang lain, semua masyarakat mempunyai hak untuk memanfaatkan kemudahan dan keamanan ruh dan pikirannya, apabila seseorang memberikan hak pribadinya memasuki masyarakat dengan terbuka dan telanjang maka orang lain pun juga akan menggunakan haknya untuk menghalangi dia; sebab dia akan mencemari para wanita dan juga lelaki, dimana merupakan sumber hilangnya rasa malu yang dapat menyeret mereka untuk berbuat dosa. Setiap ayah mempunyai hak untuk mengkhawatirkan anak-anak sucinya untuk tidak berbuat dosa. Jadi mengapa orang lain yang dirinya sendiri tidak berhijab harus memyediakan sarana untuk melakukan dosa kepada anak-anaknya? Mengapa pemerintah tidak bertindak dan tidak melarangnya? Mengapa pihak kehakiman dan pihak keamanan tidak menindaki mereka? Oleh karena itu apabila seorang non hijab memberikan hak pribadinya yang menyerupai hewan bebas, maka orang lain pun juga menggunakan haknya untuk menghalangi hewan yang tidak berakal ini dan mengutamakan hak sosial dari pada hak pribadinya.
Apakah Hijab Mempunyai Warna dan Batas Tertentu?
Tidak di ragukan bahwa hijab yang menjadi topik pembahasan luas adalah hijab yang di ketahui sebagai suatu penutup yang menutupi seluruh bentuk-bentuk tubuh wanita, tidak merangsang dan tidak menarik, jadi warna tertentu bukanlah suatu batasan dan tidak menjadi perhatian khusus; akan tetapi dengan dalil bahwa warna hitam menjauhkan dari segala rangsangan dan ketertarikan dan juga terkesan berat dan kental; dan dengan ta’bir lain bahwa warna hitam adalah tidak menarik pandangan dan perhatian; oleh karena itu lebih banyak di jadikan fokus dan tinjauan, dan tidak ada satu pun hadis yang yang mengatakan tentang warna penutup (hijab) wanita dan batasannya menutupi seluruh tubuh kecuali muka, dan kedua pergelangan tangan. Di samping itu bahwa cadur di tinjau dari suatu jenis penutup yang sempurna, yang mana cadur adalah eksistensi kata julbab yang terdapat di dalam Al-Quran dan dapat dijadikan pakaian atau penutup yang lebih baik dan lebih sempurna dan tidak ada bedanya antara yang berlengan (‘abaa arab) atau tanpa lengan (cadur iran).
Sayyidah Zahra dan juga anak-anak sucinya seperti halnya orang-orang mukmin lain dalam sepanjang sejarah Islam, mereka dahulu memilih hijab yang lebih sempurna dan wanita-wanita muslim masa sekarang seharusnya menjadikan mereka sebagai contoh atau tokoh pribadinya.
Hal-hal Yang Telah Menjadi Pengecualian Menutup Bagi Wanita
Memelihara dan menjaga hijab adalah wajib dalam segala kondisi; akan tetapi ada hal-hal yang telah menjadi pengecualian. Adalah sudah pasti bahwa yang menjadi pengecualian tersebut kita cukupkan hanya pada hal-hal yang dharuri saja.
1.Wajah dan Tangan Sampai Pergelangannya.
Seperti yang telah kami katakan bahwa seluruh tubuh wanita harus tertutup dari non muhrim; kecuali wajah dan kedua tangan sampai pergelangannya yang bagi wanita tidak wajib menutupnya, meskipun bahagian itu juga mustahab menutupnya dan merupakan hal yang baik. Dari sisi ini kebanyakan wanita-wanita beragama di zaman dahulu mereka memakai cadar dan sampai sekarang masih ada pula wanita-wanita yang memakainya. Adalah haram melihat ke wajah atau tangan wanita apabila bermaksud untuk berlezat-lezat dan hal ini di hitung sebagai ajang cuci mata tanpa melakukan dosa terhadap wanita itu sendiri.
Aisyah menukil bahwa: Asma putri Abu Bakar telah masuk dan hadir di depan Rasulullah SAW dalam keadaan dia berpakaian tipis dan menampakkan tubuh, Rasulullah SAW membalikkan wajah darinya dan berkata: Wahai asma! Tidak selayaknya wanita yang telah sampai pada masa balighnya menampakkan sesuatu dari tubuhnya; kecuali dua bagian yang Rasulullah SAW isyaratkan pada wajah dan kedua tangan sampai pergelangannya. (Sunan Abu Dawud, Jilid 2)
Masalah: Wanita harus menutup tubuh dan rambutnya dari non muhrim dan ihtiyat wajib dia juga menutup tubuh dan rambutnya dari anak laki-laki yang masih belum baligh tetapi dapat menentukan baik dan buruknya sesuatu (mumayyis). (Risalah Maraji’)
Ali ibnu Ja’far dalam menjawab masalah bahwa sampai dimana batasan non muhrim dapat melihat tubuh wanita?
Dari perkataan saudaranya Imam Musa ibnu Ja’far berkata: Alwajhu walkaffa wa maudhi’a assiwaari;[1] (hanya) dapat melihat pada wajah dan telapak tangan dan tempat gelang yang biasa tergantung di tangannya. (Qarb al-Asnaad)
Tidak diragukan bahwa maksud dari melihat adalah melihat tanpa bermaksud berlezat-lezat.
2.Ketika Melamar
Satu hal lagi yang lelaki dapat melihat pada wanita non muhrim adalah ketika lelaki datang melamar. Apabila seorang lelaki bermaksud ingin menikah dengan seorang wanita maka berdasarkan hadis-hadis, lelaki tersebut dapat melihat ke wajah dan bahkan rambut kepala wanita itu sehingga lelaki tersebut tidak menyesal setelah menikah. Dalam konteks ini, pada hakikatnya lelaki dihukumi sebagai seorang pembeli dimana dia harus memilih barang yang merupakan keinginannya, agama Islam juga memperhatikan hal ini dan mengatakan: Lelaki dapat melihat calon istrinya tanpa bermaksud berlezat-lezat dengan syarat bahwa si wanita tersebut akan dinikahinya. Imam Ali Kw berkata tentang perihal seorang lelaki yang ingin aqad dengan seorang wanita, beliau mengatakan: Tidak ada halangan untuk melihat si wanita tersebut; sebab lelaki adalah pembeli. (Wasaail, Jilid 14)
Imam Shadiq berkata: Tidak ada halangan seorang lelaki yang ingin menikah dengan seorang wanita melihat ke wajah dan tempat gelangnya. (Wasaail, Jilid 14)
Dalam hadits lain beliau berkata: Lelaki dapat melihat keindahan-keindahan dan rambut kepala calon istrinya dengan syarat bahwa tidak bermaksud untuk berlezat-lezat.
3.Dharurat
Satu lagi yang telah menjadi pengecualian dalam hal melihat kepada non muhrim adalah dalam keadaan dharurat; seperti ketika jiwa seorang non muhrim dalam bahaya dan dokter tidak mempunyai cara lain untuk menolongnya kecuali dia terpaksa harus menyentuh dan mengoperasinya; seperti melahirkan dan lain-lain. Akan tetapi dharurat di sini berarti bahwa hanya berkeinginan untuk menolong jiwanya; tetapi apabila dokter wanita tersedia, tanpa adanya dharurat maka dokter lelaki tidak boleh melihat dan menyentuh pasien non muhrim. Bahkan jika memungkinkan dia boleh melihatnya lewat cermin dan tidak boleh melihatnya secara langsung.
Akan tetapi di tengah-tengah masyarakat hal ini sering membayangi bahwa dokter adalah muhrim; ini adalah kesalahan belaka, dokter sampai kapanpun adalah non muhrim dan hanya ketika dharurat, dia dapat melihat kehormatan atau menyentuh pasiennya dan karena hanya dengan jalan memeriksa masalah akan terselesaikan.
4.Muhrim
Dalam Al-Quran mengenai ayat-ayat hijab, muhrim dapat diketahui apakah dengan perantaraan perkawinan seperti: Ibu si istri dan ayah suami dan dengan perantaraan nisbi seperti: saudara laki-laki, ayah, paman dari pihak ayah, paman dari pihak ibu, yang kesemuanya ini telah menjadi pengecualian; yakni para muhrim tersebut dapat melihat satu sama lain tanpa disertai dengan berlezat-lezat dan apabila disertai dengan berlezat-lezat maka melihat baginya adalah haram, meskipun wanita tidak wajib menutup untuk muhrimnya; akan tetapi adalah baik jika menjaga kehormatannya.
Ibu atau saudara perempuan tidak sepantasnya berpakaian sedemikian rupa di hadapan anak lelakinya yang masih bujang sehingga dapat menyalahi kehormatan, dan mereka juga tidak sepantasnya berhias diri di depan kakek, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah dan ibu, sebagaimana diketahui sebagai muhrim, meskipun tidak haram memakai pakaian-pakaian yang merangsang dan menyalahi kehormatan di depan para muhrim yang telah di sebutkan tadi, tetapi hal ini adalah tidak benar dan tidak sopan. Kesalahan lain yang sering terjadi pada sebagian dari keluarga adalah bahwa saudara perempuan si istri atau saudara laki-laki suami diketahui adalah muhrim dan hadir di hadapan mereka tanpa memakai hijab, padahal sangkaan dan pikiran ini adalah salah dan jika suami anda mempunyai sepuluh saudara laki-laki atau istri anda mempunyai sepuluh saudara perempuan maka bagi anda semuanya ini adalah non muhrim. Menantu wanita dapat menjadi muhrim dengan suami dan ayah suaminya hanya dengan melalui perkawinan dan sebaliknya pula menantu lelaki dapat menjadi muhrim dengan istri dan ibu istrinya hanya dengan melalui perkawinan dan selainnya itu harus menjaga hijabnya.