oleh : Ruhullah Syams
Hijab Tabiat
Setiap aktivitas dan perhatian yang tertuju kepada selain Tuhan, akan menjadi hijab-hijab antara manusia dengan Tuhan; akan tetapi jika aktivitas dan perhatian itu tertuju kepada alam tabiat dan materi, hijab ini adalah hijab zhulmani dan jika perhatian tertuju pada alam malakut dan jabarut, hijab tersebut adalah hijab nurani. Kata Imam Khomeini: jika jiwa dapat melepaskan dirinya dari tingkatan ini dan hijab tabiat, niscaya ia akan mempunyai bashirah.(Taqrîrât-e Falsafeh Imam Khomeini, jld 1, hal. 386).
Seseorang yang terperangkap dalam alam tabiat, ia mempunyai penglihatan yang terbatas hanya pada lahiriah dunia materi; tetapi orang yang melintasi lahiriah dunia dan mencapai penglihatan batin dan menjadi pemilik bashirah akan mengetahui apa itu mukasyafah jalal dan jamal Tuhan.
Dalam pembahasan hijab tabiat dan kesibukan jiwa terhadap alam materi, dapat dikatakan bahwa tingkatan-tingkatan rendah eksistensi merupakan hijab-hijab bagi tingkatan-tingkatan tinggi eksistensi. Dan menurut syekh Isyraq, alam materi ini merupakan kegelapan dan ketiadaan cahaya; karena itu, seluruh alam materi terhitung hijab zhulmani dan setiap orang yang mempunyai uns terhadapnya maka ia telah terperangkap pada jenis hijab ini.
Dengan kata lain, setiap orang yang memutuskan mata rantai keberadaan alam materi dari mabdanya dan melihatnya dengan pandangan wujud bebas, tidak melihatnya sebagai wujud fakr, dan pada akhirnya menjadikannya pusat perhatian dan tujuan, maka dia telah terjebak pada penyembahan berhala dan tsanawiyyah serta alam ini sudah menjadi hijab zhulmani yang tebal untuknya.
Akan tetapi seseorang yang melihat alam tabiat ini sebagai ayat Tuhan serta tidak memandangnya sebagai sesuatu yang mandiri dari Tuhan, bahkan dia melihatnya sebagaiwujud fakr yang selamanya bergantung dan butuh pada Tuhan, dan dengan melihat alam ini ia seolah-olah menyaksikan pemilik ayat maka bagi orang seperti ini alam materi telah berubah baginya menjadi hijab nurani. Imam Khomeini qs berkata: “Seluruh perkara duniawi, jika menjadi penyebab perhatian manusia terhadap dunia dan membuatnya lalai dan lupa pada Tuhan maka itu akan menjadi hijab zhulmani. Seluruh alam-alam jisim (materi) merupakan hijab-hijab zhulmani. Dan jika dunia menjadi wasilah perhatian kepada Hak SWT dan mencapai rumah akhirat maka hijab-hijab zhulmani berganti menjadi hijab-hijab nurani.” (Imam Khomeni, Jihad-e Akbar, hal. 244).
Hijab Ilmu dan Makrifat
Mungkin seseorang akan berpikir bahwa ilmu dan makrifat menjadi hijab dikarenakan adanya jarak antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui, sementara dalam isyq (cinta) tidak ada jarak antara sang pencinta dan dicintai, dan isyq merupakan peleburan dan kefanaan sang pencinta pada yang dicintai, karena itu tidak ada penghalang dan hijab bagi keduanya. Sebaliknya ‘alim senantiasa dengan penglihatan ilmu memandang Tuhan, kendatipun ilmu dan makrifat itu sendiri merupakan hijab lathif dan dari segi ini ilmu mesti dipandang sebagai hijab nurani.
Akan tetapi yang benar adalah bahwa ilmu dan istidlal serta burhan merupakan hijab-hijabzhulmani. Imam Khomeini qs berkata: “Dalil itu sendiri adalah tirai, dan selama tirai ada maka jarak tetap ada, dan selama jarak ada maka tidak akan diperoleh washl.” (Taqrîrât-e FalsafehImam Khomeni, jld 1, hal. 354). Dan di tempat lain beliau berkata: “Banyak sibuk dalam ilmu-ilmu burhani adalah sebab kegelapan dan kekotoran hati.” (Imam Khomeni, Syarh-e Chel Hadits, hal. 544).
Oleh karena itu, jika seseorang hanya menyibukkan diri dengan istilah-istilah teknis serta pemahaman-pemahaman ilmu-ilmu agama dan dengan itu ia berpikir bahwa dikarenakan ilmu dan makrifatnya ia telah mencapai suatu maqam tinggi dan melihat dirinya lebih di atas dari yang lainnya maka ilmu dan makrifat tersebut pada hakikatnya telah menjadi hijab zhulmani baginya dan menjadi penghalang perjalanannya untuk sampai pada Hak SWT.
Ilmu yang bernilai adalah ilmu yang berasaskan dengan landasan Ilahiah, dan dalam hal ini ia benar bahwa ilmu-ilmu agama mempunyai landasan Ilahiah dan sangat bernilai, akan tetapi ia tidak boleh tertipu dengan nama mempelajari istilah-istilah teknis dan pemahaman-pemahaman ilmu-ilmu agama tersebut, telah menjadikannya bermartabat dan suci; sebab jika ia lalai dari tujuan mempelajarinya maka ia bukannya akan menjadi semakin zuhud dari dunia serta takut kepada Tuhan, akan tetapi bahkan ia akan menggunakannya untuk mendapatkan maqam dan kedudukan serta nama harum di sisi manusia. Dan dalam kondisi ini, ilmu dan makrifat agama merupakan hijab zhulmani dan penghalang kedekatan kepada Tuhan.
Kata Imam Khomeini, makrifat-makrifat yang menambah kotoran hati bukanlah makrifat. Alangkah menyedihkannya makrifat-makrifat yang akibat perkaranya manjadikan pemiliknya sebagai pewaris syetan! Kibr merupakan akhlak khusus setan; dia telah sombong kepada bapakmu Adam as, (membuat dia) tertolak dari tempat dan kedudukannya; kamu yang sombong kepada seluruh Adam dan keturunan Adam tentunya juga adalah tertolak.
Yang perlu kita camkan adalah bahwa mencari dan menimba ilmu-ilmu agama merupakan perkara yang mesti dilakukan; tetapi meraih ilmu-ilmu ini mestilah dipandang sebagai mukaddimah untuk tahdzib nafs dan berakhlak dengan akhlak karimah. Akan tetapi sangat disayangkan sebagian orang-orang yang terpelajar dalam agama, tetap saja sampai akhir umurnya dalam mukaddimah, dan dia melupakan dzul mukaddimah sebagai tujuannya.
Hijab Wuquf
Hijab wuquf merupakan juga salah satu dari hijab-hijab zhulmani. Ketika seseorang merasa telah sempurna dan berhenti dari perjalanan mencari kesempurnaan, saat itulah hijab mendatangi dirinya dan menghentikan gerak menyempurnanya. Padahal manusia tidak mempunyai batas perhentian; setiap maqam dan derajat yang dicapai manusia, niscaya masih terdapat maqam dan derajat yang lebih sempurna lagi di atasnya; hatta ketika dia telah mencapai maqam fana dan baqa dengan Hak SWT pun itu baru permulaan pergerakan dalam maqam dan derajat yang sama sekali tidak dapat disifati dan dijelaskan. Sebab manusia adalah mumkinul wujud dan dia mencintai kesempurnaan mutlak wajibul wujud, dia bergerak mendekat kepada wajibul wujud dan menginginkan kesempurnaannya, akan tetapi karena kesempurnaan wajibul wujud tidak terbatas maka perjalanan mumkinul wujud kepadanya pun tidak terbatas. Dan karena mumkinul wujud tidak akan pernah dan mustahil menempati maqam wajibul wujud maka sesempurna apapun kesempurnaan yang dicapainya, tetap terbentang di hadapannya kesempurnaan yang lebih sempurna.
Jika seseorang telah mencapai sebagian derajat dan kesempurnaan dan berkhayal bahwa tidak ada lagi perjalanan kesempurnaan yang perlu dicapai maka khayalannya ini telah menghentikan geraknya, dan ketiadaan gerak serta perhentian gerak ini menjadi hijab zhulmani baginya; sebagaimana berhenti dengan khalq menjadi hijab dari Hak dan berhenti dengan Hak adalah hijab dari khalq.
Terkadang perhatian terhadap ketiadaan hijab juga merupakan hijab dan sebab kejauhan dari Hak SWT, ketika ketiadaan hijab menyibukkan kalbu seorang ‘arif dan pesuluk maka ketiadaan hijab ini menjadi hijab baginya. Dengan kata lain, ketika manusia melihat dirinya, memandang ketiadaan hijab dirinya, dan atau berbalik sedikit pada selain Tuhan maka ketika itu dia terperangkap dengan hijab zhulmani.
Dalam sebagian hadis, kelalaian dan kelupaan juga dihitung sebagai bagian dari hijab-hijab zhulmani dan bahkan disebutkan sebagai pangkal dan sumber hijab-hijab lainnya:
«الغفلة سبب کل حجاب» : Kelalaian adalah sebab seluruh hijab (Allamah Majlisi, Biharul Anwar, jld. 70, hal. 110).
Dan jika kelalaian dan kelupaan menjadi sebab seluruh hijab-hijab zhulmani maka dapat dikatakan mengingat Tuhan merupakan sebab dan pangkal tersingkapnya seluruh tirai hijab-hijab zhulmani:
««إذا ذکر الله ارتفع کل حجاب : Ketika Allah disebut (diingat) maka terangkatlah seluruh hijab.
Tentu masih terdapat hijab-hijab zhulmani lainnya yang tidak kita bahas dalam kesempatan ini, dan apa yang kami sebutkan di atas tidak lain adalah manifestasi hijab-hijab zhulmani antara kita dan alam malakut. Dan jika seseorang diberi taufik oleh Tuhan untuk melewati tujuh puluh hijab-hijab zhulmani baru dia menemukan jalan ke alam malakut; tetapi dari alam malakut ke alam jabarut dan dari alam jabarut ke alam lahut masih terdapat sangat banyak hijab yang kita tidak ketahui jumlah dan namanya. Akan tetapi dengan rahmat Tuhan yang meliputi segala sesuatu, mudah-mudahan kita diberi taufik untuk yaqazah (bangkit) dari kelalaian panjang dan tergerak untuk sair dan suluk mensucikan cermin jiwa sehingga ia dapat menerima tajalli jalal dan jamal Allah SWT.