Di kegelapan malam, seseorang berdoa dan bermunajat. Bibirnya dipulas rasa manisnya ucapan “Allah, Allah, Allah…” Keadaan ruhani ini sangat mengusik setan, hingga setan mendatangi dan membisiknya, “Hai orang tak tahu malu dan keras kepala. Engkau tahu kalau Allah tidak mengucapkan Labbaika (membalas sapaanmu) dan tidak menjawab permohonan dan rintihanmu. Mengapa kau masih saja memaksakan diri ?”
Bisikan setan ini membuat hatinya hancur dan lirih. Dia pun meninggalkan doa dan tertidur. Setelah lelap, dia bermimpi melihat Nabi Khidir berada di taman hijau yang rindang, Khidir bertanya, “Apa yang terjadi? Kenapa kau tidak mengucapkan Allah, Allah, Allah…lagi? Apa kau berputus asa dalam berdoa dan bermunajat ?”
“Setiap kali kuucapkan Allah, Allah, Allah,” kata sang pendoa, “Aku tak pernah mendengar jawaban labbaika. Aku takut kalau aku telah terusir dari rumah indah itu; karena itulah aku berputus asa.” Nabi Khidir berkata, “Hai pemunajat yang miskin nan papa! Allah berkata kepadaku, Apakah kau harus mendengar jawaban Allah dari pintu dan dinding ? Allah, Allah, Allah… bermakna bahwa daya tarik Allah menyerumu kearah-Nya. Ini merupakan Labbaik Allah kepadamu…”
“Hai pendoa yang mulia! Allah telah memberi kedudukan kepada Fir’aun dan menjaganya dari segala penyakit supaya dia tak mendengar suara napas kesialan dan rintihannya sendiri. Beristiqamah, sadar, dan mantapkanlah langkahmu di jalan. Ketahuilah bahwa ucapan, rintihan dan ratapanmu di istana Allah ini adalah bukti bahwa engkau telah disambut dan diterima oleh-Nya.”