Oleh : Syaikh MT. Mishbah Yazdi
Aku peringatkan kamu tentang macam-macam kebodohan, agar kamu tidak menganggap dirimu sebagai orang yang alim (pandai). Karena sesungguhnya orang yang alim adalah orang yang menyadari bahwa apa yang dia ketahui sangatlah sedikit dibandingkan dengan apa yang tidak dia ketahui, oleh sebab itu dia menganggap dirinya sebagai orang yang jahil. Karena itu pula dia selalu bersemangat untuk menuntut ilmu dan mencarinya; dia selalu cinta pada pengetahuan, mengambil manfaat darinya dan tunduk dihadapan ahli ilmu. Dia tidak apriori pada pendapatnya, banyak bersikap diam, berusaha menghindarkan diri dari kesalahan dan merasa malu atasnya. Apabila dihadapkan padanya masalah yang tidak dia ketahui, dia tidak serta-merta mengingkarinya, karena dia telah memberikan kemungkinan tidak tahu pada dirinya. Dan sesungguhnya orang jahil adalah orang yang menganggap dirinya tahu atas perkara yang sebenarnya tidak dia ketahui dan merasa puas dengan pendapatnya sendiri; dia selalu menjauh dari ulama dan mencemooh mereka. Siapapun yang bertentangan dan berbeda pendapat dengannya, pasti akan disalahkan; dia dengan mudah memberikan predikat sesat atas hal-hal yan belum dia ketahui. Apabila dihadapkan padanya suatu perkara yang tidak dia ketahui, dia akan serta-merta mengingkari dan mendustakannya, dan dengan penuh kebohongan berkata, “Aku tidak pernah tahu yang seperti ini (sebagai ungkapan yang mengisyaratkan kebatilan masalah tersebut), aku tidak melihatnya seperti itu, aku tidak mengira begitu, bagaimana bisa seperti itu dan aku tidak mengetahuinya.” (Semua itu berani dia utarakan), karena dia terlalu yakin pada kebenaran pendapatnya dan kurangnya kesadaran akan kebodohan diri. Maka, sebagai akibat dari terlalu percaya pada kebenaran pendapatnya sendiri dan ketidak-tahuannya, dia selalu menuai kebodohan, mengingkari kebenaran, berani bersikukuh pada kesalahan dan terlalu angkuh untuk menuntut ilmu. (Wasiat Imam Ali kepada anaknya)
Kita telah memahami pentingnya kehidupan akhirat dan bahwa dunia adalah sebuah jalan yang akan berakhir pada sebuah kehidupan abadi. Kita telah memahami dengan baik bahwa perjalanan ini memang harus ditempuh hingga sampai pada tempat tujuan dan tempat tinggal yang hakiki, yaitu kehidupan abadi. Oleh sebab itu, apabila kita mengira bahwa tujuan adalah dunia, berarti kita telah jatuh dalam kekeliruan yang besar dan kita akan membuang-buang energi secara sia-sia, yang sedianya harus digunakan untuk sampai pada kehidupan ukhrawi.
Apabila manusia mau sedikit berpikir dan merenung, dia akan segera memahami permata yang sangat berharga ini; dia akan memahami bahwa kehidupan dunia yang dianggap sebagai kehidupan hakiki, bila dibandingkan dengan kehidupan abadi ukhrawi adalah ibarat kematian dan kefanaan; karena di sanalah kehidupan yang sejati dan kehidupan dunia hanyalah sebuah jalan, bukan tujuan dan dambaan. Tujuan yang sesungguhnya jauh lebih tinggi dan lebih mulia bila dibandingkan dengan kehidupan dunia yang hanya sesaat.
Nah, kini apabila kita telah meyakini bahwa dunia adalah jalan menuju akhirat, tentu pertanyaan berikut ini, yang di dalamnya terkandung ribuan pertanyaan akan mengemuka: Bagaimana seharusnya kita hidup di dunia yang merupakan jalan menuju akhirat agar kita dapat sampai pada kebahagiaan ukhrawi yang abadi? Kita semua menyadari bahwa dalam perjalanan singkat kehidupan dunia, banyak sekali tantangan dan kesulitan, dimana bertahun-tahun sudah bahkan berabad-abad para ilmuwan telah berusaha menyelesaikan berbagai kesulitan itu, namun tak kunjung berhasil. Nah, apalagi dengan kehidupan abadi akhirat yang jauh berada di luar jangkauan akal. Apabila kehidupan yang hakiki, kita pandang jauh lebih sulit daripada kehidupan sementara dunia, pertanyaan berikut ini akan mengemuka: Kesulitan-kesulitan apa saja yang ada di sana dan jalan apa yang harus kita lalui agar kita dapat sampai pada tujuan akhir serta kebahagiaan abadi? Pertanyaan ini adalah sebuah pertanyaan yang bersifat global dan bila dijabarkan akan mendatangkan soal-soal yang lebih detai dan rinci berkaitan dengan setiap saat dari kehidupan serta apa yang menjadi tanggung jawab masing-masing dari anggota tubuh kita terhadap diri dan orang lain. Sebagai misal, apa yang harus dilakukan oleh mata, telinga, tangan, kaki, akal, hati, . . . dalam masa hidup di dunia? Bagaimanakah seharusnya sikap kita dan apa yang menjadi tanggung jawab kita terhadap ayah, ibu, seluruh anggota keluarga, anak-anak, berbagai individu dalam masyarakat dan setiap manusia yang lain, agar kita bisa sampai pada tujuan mulia yang diidamkan? Alhasil, banyak masalah dan urusan rumit yang masing-masing akan melahirkan satu disiplin ilmu khusus yang apabila manusia ingin benar-benar sampai pada kebahagiaan abadi, dia harus mencari jalan keluarnya, dia harus mengetahui dengan baik bagaimana seharusnya dia mengisi kehidupan agar dapat menjaga keselamatan dirinya dan meraih kebahagiaan yang abadi. Berikut ini dari berbagai sudut pandang, kami akan menjelaskan serta menerangkan berbagai masalah tersebut.
Fitrah Haus Ilmu (Cinta Pengetahuan)
Langkah pertama yang harus diambil setelah berhadapan dengan beragam masalah rumit dan setumpuk pertanyaan yang seakan tak pernah berakhir, adalah menemukan jawaban yang dapat memberikan solusi dan dapat menyelamatkan diri kita dari jeratannya. Jelas sekali, apabila seseorang berkeinginan untuk mendapatkan jawaban dari berbagai persoalan tersebut, dia harus menuntut dan mencari ilmu. Akan tetapi belajar dan menuntut ilmu di sini sangat berbeda dengan kebanyakan belajar dan menuntut ilmu lainnya. Kebanyakan dari kegiatan belajar dan menuntut ilmu berangkat dari pemuasan keinginan, untuk mencari kerja dan penghasilan atau karena sebuah nilai yang dihormati oleh masyarakat. Sementara menuntut dan mencari ilmu di sini harus dipicu oleh motivasi-motivasi Ilahi dan tujuan yang suci di mana hal-hal yang majhul harus diubah menjadi ma’lum agar jalan menuju kebahagiaan ditemukan, sehingga dengannya diketahui bagaimana dia harus melangkah di segala situasi dan bagaimana sikap serta perilakunya kepada orang lain. Apabila kita menuntut dan mencari ilmu dengan motivasi yang seperti ini, dapat dipastikan bahwa belajar kita akan mempunyai nilai yang sangat tinggi.
Mungkin, oleh sebab inilah Imam Ali membahas tentang masalah mencari ilmu dan berbagai bahaya yang menghadang para penuntutnya. (Dengan kata lain), untuk mencapai kebahagiaan abadi, kita mau tidak mau harus mencari jawaban dan solusi praktis atas serangkaian pertanyaan, dan tugas penting ini tidak mungkin kita lakukan kecuali dari jalan menuntut ilmu. Dalam rangka mencapai kesempurnaan, tidak ada jalan kecuali mendapatkan jawaban ilmiah atas berbagai pertanyaan dan problema di atas, dan tentu jawabannya hanya mungkin diperoleh melalui belajar dan mencari ilmu. Dari sisi lain, kita menyadari bahwa masalah mencari ilmu itu sendiri merupakan tuntutan fitrah setiap manusia. Yakni, sebelum seorang manusia mencapai kematangan berpikir (bulugh’ aqlaniy) di dalam dirinya telah tertanam sebuah motivasi fitriah untuk mengubah kebodohan (majhulat)-nya menjadi pengetahuan (ma’lumat).
Sebagai contoh, apabila kalian melihat anak-anak usia tiga sampai lima tahun, pada umumnya mereka banyak bertanya. Fenomena ini disebabkan adanya suatu kehausan fitrah yang mendorong mereka untuk mengetahui, memahami, dan mengubah seluruh ketidaktahuan menjadi pengetahuan. Dengan demikian, ketika ditanyakan menuntut dan mencari ilmu itu adalah fitrah yang bermuara pada motivasi bawah sadar, maka maksudnya adalah bahwa nilai ilmu dan mencari ilmu tidak bisa diragukan dan tidak perlu lagi disusun premis-premis yang membuktikan manfaat ilmu dan mencari ilmu untuk kemudian dijadikan dasar atas pentingnya ilmu dan pencariannya. Yakni, cukuplah seseorang berpikir, mengapa ada dorongan kuat dalam diri untuk bertanya dan mengetahui hal-hal yang belum diketahui?! (Maka dia akan menemukan), bahwa dalam dirinya terdapat sebuah motivasi kuat yang tanpa dia sadari mendorong dan menggiringnya untuk mencari jawaban dari hal-hal yang tidak dia ketahui. Dari sejak kanak-kanak motivasi ini telah berkobar dalam diri manusia dan menggerakkannya untuk mencari ilmu. Terkadang, dalam waktu-waktu tertentu, motivasi fitri ini menguat oleh faktor-faktor eksternal; sebagai missal, setelah menginjak masa akil balig, seseorang akan menyadari bahwa permasalahan dan problematika hidupnya harus diberi solusi dengan bersandar pada ilmu dan pengetahuan; dia harus mempelajari jalan dan konsep kehidupan, dan dia mengerti bahwa tanpa cahaya ilmu, dia tidak akan sampai kemana-mana, maka di saat itulah nilai mencari ilmu baginya akan berlipat ganda dan motivasinya untuk mencari ilmu juga semakin menguat.
Perlu diketahui bahwa faktor-faktor eksternal tidaklah selalu menjadi penguat sebuah motivasi. Akan tetapi sebagaimana dia dapat menjadi penguat, adakalanya dia juga dapat melemahkan motivasi tertentu. Contohnya, beberapa halangan dan rintangan yang terdapat dalam mencari ilmu yang menyebabkan lemahnya motivasi pencarian dan apabila manusia tidak berhati-hati terhadap berbagai bahaya tersebut, maka besar kemungkinan semangat serta motivasinya akan padam dan mati. Dengan kata lain, sebagaimana motivasi ini dapat menjadi sarana takarrub Ilallah (mendekatkan diri kepada Allah), takamul (proses penyempurna) dan ditemukannya jalan menuju kebahagiaan, apabila motivasi itu melemah, akan dapat menyebabkan manusia terseret dalam jurang kebodohan dan terperangkap dalam beragam jerat setan. Alih-alih menjadi faktor yang dapat meningkatkan dan meninggikan kualitas manusia, dia dapat menjadi penyebab jatuh dan hancurnya manusia, bahkan hingga mengancam kehidupannya. Terkadang, sedemikian rumit dan pelik masalahnya, sehingga ilmu yang telah dipelajari yang seharusnya mendatangkan manfaat, justru dapat berbahaya dan merugikan bagi penuntutnya. Kendati dia telah bekerja keras, belajar dan meninggalkan kesempatan beristirahat dan bersenang-senang, namun dalam menuntut ilmu dia jatuh dalam kesalahan dan kekeliruan, sehingga belajar dan menuntut ilmu bukan hanya tidak mendatangkan manfaat, tetapi justru mengakibatkan banyak bahaya dan kerugian.
Oleh sebab itu, setelah memberikan perhatian pada pokok tujuan dan terciptanya sebuah pandangan berkaitan dengan kehidupan dunia dan akhirat, Imam Ali mengalihkan topik pembicaraan pada sebuah bahasan yang menjelaskan tentang berbagai kekeliruan, bencana, dan bahaya yang menghadang jalan para pencari ilmu dan mereka yang hendak mengambil manfaat darinya. Beliau berkata, “Summa fazza’tuka bianwa’il jahalat…”; yakni setelah kujelaskan mengenani pentingnya kehidupan ukhrawi dan bagaimana kedudukan dunia bila dibandingkan dengan akhirat, kini aku memperingatkanmu dengan kebodohan-kebodohan yang terdapat dalam perjalanan hidup yang mungkin menimpamu. Jangan pernah engkau mengira bahwa karena kau adalah orang yang berpengalaman (alim) maka kamu akan terbebas dari kebodohan-kebodohan ini. ketahuilah, berbagai kekeliruan dan jerat-jerat setan yang penuh tipuan sedang mengintaimu. Bahkan berbagai jerat dan perangkap ini lebih berbahaya bagimu daripada ancaman lainnya.
Kesombongan dan Sifat Angkuh adalah Penyakit bagi Ilmu
Berbicara tentang berbagai penyakit dan kekeliruan yang terdapat pada jalan para pencari ilmu adalah sama halnya dengan membahas faktor-faktor yang dapat menyemangati seseorang untuk mencari ilmu. Bahkan jauh lebih penting. Oleh karena itu, Imam Ali memberikan beberapa keterangan berkaitan dengan masalah ini yang pada hakikatnya dapat disebut sebagai panduan ringkas tentang adab taklim dan tarbiyah. Beliau telah memberikan serangkaian rumus yang perlu diketahui, dia tidak akan dapat mengambil manfaat dari ilmu yang dipelajarinya.
Sebagai peringatan awal, beliau memberikan penegasan bahwa sumber dari berbagai penyakit dan bahaya yang dapat mengancam para penuntut ilmu adalah sifat sombong dan angkuh. Tentu hal ini tidak berarti bahwa semua penyakit para pencari ilmu tersimpul pada satu penyakit ini. Akan tetapi, dapat dikatakan bahwa penyakit ini merupakan poros, muara dan sumber asli dari seluruh penyakit yang ada. Seorang manusia yang jahil dihadapan setiap masalah yang tidak dia ketahui, tidak memiliki apa-apa selain sebuah pertanyaan (akan hal yang tidak dia ketahui); dia memiliki ketidaktahuan dan dia sadar akan ketidaktahuannya. Kesadaran akan ketidaktahuan ini sama sekali tidak memberikan ruang baginya untuk menonjolkan serta membanggakan diri. Akan tetapi, karena dia menyadari kekurangan dirinya yang harus dihilangkan, maka dia kan merendah dan mau bertanya untuk menghilangkan ketidaktahuannya.
Kondisi sadar akan kekurangan diri sama sekali tidak akan menimbulkan penyakit dan tidak akan membuat seseorang menjadi sombong dan angkuh. Tidak ada orang yang menyombongkan dan membanggakan kebodohannya, dan tentu dia tidak dapat berkata, “Karena aku tidak tahu, maka sungguh hebat dan luar biasa diriku.” Dalam kondisi seperti ini, dia tidak mungkin tertimpah oleh penyakit yang bernama kesombongan dan keangkuhan. Selama seseorang mempunyai kebodohan yang bersifat sederhana dan nonkompleks (jahl basith), maka dia akan steril dari penyakit sombong dan angkuh. Akan tetapi apabila seseorang mulai mengetahui beberapa hal dan sedikit berilmu, dia akan berada dalam ancaman penyakit sombong dan angkuh. Karena dia merasa telah benar-benar mengetahui sesuatu dan memiliki ilmu, maka anggapan inilah yang membuat celah dan mendasari penyelewengan serta menanamkan benih penyakit dalam dirinya.
(Diketik ulang dari
Buku “22 Nasihat Abadi Penghalus Budi”)