Oleh : Syaikh MT. Mishbah Yazdi
Penyebab Kesombongan
Mungkin di benak anda muncul sebuah pertanyaan: Bagaimana seseorang dapat terkena penyakit sombong hanya karena mengetahui satu dua masalah, sementara masih ada ribuan masalah yang belum dia ketahui dan masih banyak hal yang belum dia mengerti? Dan mengapa ketika dia belum mengetahui apa-apa dan tidak mempunyai apa-apa selain setumpuk ketidaktahuan, dia bisa selamat dari penyakit ini?! Untuk pertanyaan ini, ada dua jawaban yang bisa dipaparkan:
- Ketika seseorang mengayunkan langkah-langkah awal dalam menuntut ilmu, dia tidak mengetahui seberapa banyak majhulat yang dimilikinya (yakni, hal-hal yang belum dia ketahui), namun dia hanya mengetahui bahwa dia tidak tahu apa-apa dan hanya itu. Dia mengetahui bahwa dia mempunyai banyak ketidaktahuan dan tidak memahami banyak masalah; dia tidak mengenal berbagai disiplin ilmu dan bahkan dia tidak mengetahui bahwa Ilmu tersebut berbicara tentang apa serta membahas masalah apa. Misalnya, seorang pelajar yang baru menginjak tingkat pendidikan menengah atau atas, secara global dia mengetahui bahwa ada beberapa bahasan yang dipaparkan dalam ilmu matematika, namun dia secara spesifik dan rinci tidak mengetahui masalah serta subjek bahasannya seperti apa. Dia tidak mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan aritmatika atau masalah apa saja yang dibahas dalam ilmu geometri! Pada dasarnya dia tidak mengerti, tidak mempunyai gambaran bahkan tidak memiliki persoalan atau subjek masalah untuk diketahui dan dipelajari. Dia tidak mengerti apakah dia sudah tahu atau belum? Apakah dia mempunyai kemampuan untuk menjawab dan menguraikan permasalahan atau tidak? Dia hanya mengetahui secara garis besar, bahwa ada serangkaian subjek dan masalah yang dibahas oleh para ahli matematika, kimia, fisika, dan seterusnya, tetapi dia tidak memahami bahwa masalah-masalah itu seperti apa. Dengan kata lain, dia tidak mengerti subjek dan masalah apa yang dibahas dalam ilmu-ilmu tersebut.
Oleh sebab itu, ketidaktahuan seperti ini, tidak dapat dibanggakan dan disombongkan. Adapun seseorang yang telah mengetahui beberapa hal dan telah mengerti serangkaian masalah dan jawabannya dari sang guru, adakalanya dia akan mengira bahwa dirinya telah mengetahui banyak hal. Hal itu disebabkan karena dia menduga bahwa ilmu hanya sebatas yang telah dia ketahui. Umpamanya, dia menduga bahwa ilmu kedokteran hanya tersimpul dalam beberapa masalah sederhana dan terbatas. Dengan begitu, dia berani mendakwah bahwa dirinya telah mengetahui banyak masalah kedokteran, padahal masih banyak lagi masalah kedokteran yang belum dia ketahui. Contoh lainnya, seorang santri baru ketika mulai mengerti beberapa masalah dari ilmu sharaf dan nahwu, mengenal sighah madhi dan mudhari’, dia mengira bahwa dirinya telah menguasai seluruh ilmu sharaf dan nahwu. Karena (menurut pandangannya), seluruh ayat Al-Quran dan ahadis (ucapan para maksumin) tidak lepas dari bentuk fi’il madhi, mudhari’ atau beberapa bentuk kata kerja lain yang telah dia ketahui dan tidak ada hal lain yang perlu dia pelajari lagi. Maka salah satu sebab seseorang terkena penyakit sombong adalah karena dia tidak menyadari bahwa pada hakikatnya masih banyak hal yang belum dia ketahui dan mengerti, tetapi dia mengira bahwa dengan ilmu yang terbatas telah mengetahui segalanya dan tidak ada hal lain yang belum terjawab baginya.
- Sebab lain dari sifat sombong adalah cinta diri yang membuat seseorang selalu melihat kebaikan-kebaikan diri dan melupakan berbagai aib dan kekurangannya. Ketika seorang pelajar mulai mengetahui beberapa masalah ilmu, dia akan berkata pada dirinya, “Sebelum ini, aku tidak tahu dan mengerti apa-apa,” namun setelah dia mengetahui beberapa hal, dia menganggap sedikit yang dia ketahui sebagai sebuah pengetahuan yang luar biasa banyak, lalu mengira bahwa dirinya telah mengetahui segala-galanya. Oleh sebab itu, dia akan melupakan seluruh ketidaktahuannya, bahkan dia akan menjadi lupa dan lalai akan ketidaktahuannya. Egoisme dan narsisme telah mencegah dirinya untuk mencari apa-apa yang belum dia ketahui. Apabila kita hendak mengambil contoh dari masalah materi, orang yang seperti itu adalah seperti orang yang miskin yang tidak punya apa-apa; dia sama sekali tidak mengenal harta dan kekayaan, dia hanya tahu bahwa dirinya tidak memiliki apa-apa. Nah, apabila suatu hari dia mendapatkan kekayaan atau memperoleh keuntungan dari sebuah muamalah atau mendapatkan warisan dan menjadi orang yang berada, dia cenderung melenceng dan bersikap melampaui batas. Dia mengira bahwa apa yang telah dia dapatkan dari sedikit harta itu sebagai sesuatu yang luar biasa besar dan banyak, dia mengira dirinya telah menjadi kaya raya. Dia tidak menyadari dan lalai bahwa hakikatnya masih banyak hal yang belum dia miliki.
Contoh di atas adalah sebuah misal sederhana yang bisa terjadi dalam masalah materi, sementara dalam hal-hal maknawi, masalahnya bisa menjadi lebih rumit dan pelik. Penyimpangan yang diakibatkan bisa menjadikan kehidupan seseorang menjadi rusak dan hancur. Ketika pengetahuan dan pemilikan yang sedikit dianggap sebagai sesuatu yang banyak dan luar biasa, dan seseorang mengira bahwa dia telah mengetahui dan memiliki banyak hal yang penting dan berharga, sebenarnya dia telah menutup sendiri jalan untuk berkembang dan maju ke tahap-tahap kesempurnaan berikutnya. Hal ini disebabkan dia telah beranggapan mengetahui segala hal dan memiliki segala sesuatu, sehingga tidak ada lagi hal yang perlu dia ketahui dan peroleh. Padahal, masih banyak hal yang belum dia ketahui, sebagaimana masih banyak juga hal yang belum dia miliki.
Mungkin Anda pernah mendengar cerita tentang seorang alim di bidang ilmu nahwu yang berada dalam sebuah kapal dan tidak ada orang yang dapat dia ajak bicara kecuali pedagang atau orang awam biasa. Ketika hendak menunjukkan seberapa luas pengetahuannya dibidang sastra dan bahasa, si alim berkata kepada pedagang, “Seberapa banyak ilmu nahwu yang telah kau ketahui?” Si pedagang menjawab, “Aku tidak tahu apa-apa tentang ilmu nahwu.” Si Alim berkata dalam keheranan, “Oh, engkau tidak tahu apa-apa tentang nahwu, sungguh engkau telah menyia-nyiakan separuh dari hidupmu!” Si pedagang sedikit tersinggung dengan ucapan si alim dan berkata, “Apa boleh buat, aku memang belum pernah belajar ilmu nahwu dan tidak tahu apa-apa tentangnya.” Tidak berselang lama, datanglah angin topan yang dahsyat dan merusak badan kapal hingga terjadi kebocoran dan tenggelam secara perlahan. Nahkoda dan para awak kapal sibuk menyelamatkan penumpang, hingga pada akhirnya tidak ada jalan lain kecuali masing-masing harus menyelamatkan dirinya dengan berenang menuju daratan. Si pedagang kemudian bertanya kepada pakar nahwu, “Apakah kamu bisa berenang?” Si alim menjawab dengan gemetaran, “Aku tidak bisa berenang.” Kemudian si pedagang berkata, “Wah, sungguh engkau telah menyia-nyiakan seluruh umurmu. Tadi engkau telah mengatakan bahwa aku telah menyia-nyiakan separuh dari umurku hanya karena tidak mengetahui ilmu nahwu, nah sekarang sebagai akibat engkau tidak mengetahui ilmu berenang, dengan penuh ketegasan aku katakan padamu bahwa engkau telah menyia-nyiakan seluruh umurmu, karena kamu tidak punya jalan lain kecuali memasrahkan diri dan jiwamu dalam gulungan ombak laut yang membunuh.”
Dalam cerita ini, si alim nahwu mengira bahwa dengan mengetahui beberapa masalah dari ilmu sastra dan bahasa, telah menjadi seorang ‘allamah dan ilmuwan zaman yang dapat selamat dari segala masalah dan bahaya, sementara dia lalai bahwa dia tidak mampu menyelamatkan dirinya dari sekadar air.
Sebab Berkembangnya Benih Kesombongan
Apabila kita hendak berbicara tentang sebab kesombongan secara universal, kita harus mengalihkan perhatian pada wujud manusia yang pada dasarnya merupakan makhluk lemah. Salah satu tanda kelemahan manusia adalah keterbatasan kapasitas yang dimilikinya. Umpamanya, seseorang yang mengetahui ilmu kedokteran, dia akan beranggapan bahwa seluruh ilmu terbatas pada kedokteran dan ilmu-ilmu yang lain tidak ada nilainya dibandingkan dengan kedokteran. Atau seseorang yang ahli di bidang sastra, dia akan mengira bahwa semua ilmu terbatas di dalamnya, dan bila ada orang yang tidak mengenal sastra berarti dia tidak berilmu. Sikap seperti ini tidak hanya terjadi di kalangan ulama dan intelektual, di mana seorang fakih, filsuf, dokter, … akan berpikir seperti ini. Akan tetapi setiap orang cenderung menganggap besar apapun yang dimilikinya dan sama sekali tidak berpikir bahwa masih banyak hal lain yang harus dia pelajari dan peroleh. Karena apa yang telah dia ketahui dan miliki menguasai seluruh hidupnya, maka dia tidak sempat berpikir tentang cabang-cabang ilmu lainnya, bahkan dia berkata dalam dirinya, “Apabila di sana masih ada sesuatu yang penting dan berharga, sudah pasti kita akan mengetahui dan memilikinya. Nah, karena kita tidak mengetahui dan memilikinya, maka dapat dipastikan bahwa hal tersebut tidaklah penting dan berharga. (Di dalam Al-Quran disebutkan): Law kaana khairan maa sabaquuna ilaihi, yakni, “Kalau sekiranya (Al-Quran) itu adalah suatu yang baik, tentulah mereka tidak akan mendahului kami (beriman) kepadanya. Mereka bahkan berani berkata, “Apabila kami tidak memiliki sesuatu, sudah barang tentu hal itu tidak berguna dan tidak juga bermanfaat. Ilmu pengetahuan yang telah kita mengerti dan pahami, itulah yang penting dan berguna, sementara yang lain tidak penting sama sekali. Apabila ada orang yang mengetahui ilmu yang kami ketahui, sungguh ilmu itu cukup baginya, karena semua yang penting ada di dalamnya dan bukan yang lain. Sikap-sikap negatif yang seperti ini pada hakikatnya bermuara pada keterbatasan pengetahuan manusia yang menganggap penting dan berharga sedikit dari apa yang diketahui dan dimilikinya, sementara dia menganggap hal-hal lain yang ada di dunia dan diketahui serta dimiliki oleh orang lain sebagai sesuatu yang tidak penting dan berharga.”
Sungguh ini merupakan penyakit yang berbahaya, ketika seseorang menganggap penting apa yang diketahuinya dan sama sekali tidak memberikan nilai dan menganggap penting pada apa yang diketahui oleh orang lain. Menariknya, apabila kita perhatikan, kebanyakan ilmu yang dikuasai dan dibanggakan itu adalah ilmu-ilmu zhanni (bersifat dugaan), dan bukan ilmu-ilmu burhani (yaqini) yang pasti dan tidak mungkin salah. Ketika kebanyakan dari ilmu-ilmu yang kita ketahui itu bersifat zhanni, lalu mengapa tanpa alasan kita menyombongkan dan membanggakannya?! Dalam ilmu-ilmu zhanni terdapat banyak perbedaan pendapat, dan banyaknya perbedaan itu menunjukkan pada tidak tuntasnya pembahasan dalam ilmu-ilmu tersebut dan masih banyak pendapat lain yang bisa menggesernya. Namun, meskipun begitu adanya, kita tetap saja jatuh dalam kesombongan dan keangkuhan. Sementara di tengah masyarakat masih banyak ideologi dan pemikiran yang berkembang, bagaimana dan mengapa kita menganggap salah semua pemahaman yang tidak sama dengan pemahaman kita dan merasa benar sendiri. Ketika seorang ilmuwan meneliti dan mengkaji sebuah permasalahan atau mendalami cabang ilmu tertentu hingga sampai pada sebuah kesimpulan dan pandangan tertentu, kendati dia telah melakukan penelitian dan kajian yang mendalam dan melelahkan, ternyata dia hanya menghasilkan sebuah hipotesis dan dugaan kuat pribadi. Dan, hampir seperti itulah apa yang terjadi pada semua cabang ilmu pengetahuan.
Oleh sebab itu, kita harus menyadari dari kedalaman wujud diri, bahwa seperti halnya diri kita, orang lain juga melakukan pemikiran, penelitian, dan juga bekerja keras untuk sampai pada sebuah kesimpulan. Bilamana mereka sampai pada kesimpulan yang berbeda dengan kita, kita tidak berhak serta merta menyalahkan kesimpulan tersebut. Dari mana bisa dibuktikan bahwa dugaan dan pandangan kita lebih dekat pada kebenaran dibandingkan dugaan dan pandangan mereka? Apabila kita dalam suatu masalah tertentu merasa sangat yakin akan kebenaran pandangan kita, orang lain juga bisa sangat yakin seperti halnya diri kita akan kebenaran pendapatnya.
Di sinilah penyakit sombong dapat memunculkan dirinya hingga menyebabkan seseorang menjadi sangat yakin akan kebenaran pendapatnya dan menyalahkan serta menganggap keliru pandangan orang lain. Dengan kata lain, ketika seseorang melakukan penelitian dan kajian lalu sampai pada pandangan serta kesimpulan tertentu, dia tidak lagi menganggap dan memberikan nilai pada semua pandapat ilmuwan lainnya dan dengan penuh keangkuhan menganggap benar pendapatnya sendiri. Boleh jadi, pada suatu saat orang ini akan berubah pandangan dan kesimpulan, namun sayangnya dia masih juga bersikap sama atau pandangan keduanya sebagaimana sikapnya pada pandangan yang pertama, yakni menganggap hanya pendapatnya yang benar, sementara semua pendapat yang lain salah. Padahal, apabila kita mau sedikit merenung, maka kita akan menyadari bahwa hampir semua ilmu manusia bersifat zhanni (hypothetical), dimana beberapa petunjuk yang bersifat zhanni pula telah mengarahkan kita pada suatu pandangan tertentu, sementara orang lain berdasarkan beberapa petunjuk zhanni lainnya juga bisa menyimpulkan pandangan yang berbeda.
Oleh karena itu, sebagaimana ada kemungkinan bahwa pandangan dan pendapat kalian benar, ada kemungkinan juga pandangan dan pendapat mereka yang benar. Sama sekali tidak ada jaminan pasti bahwa pendapat dan keyakinan kalian lebih penting dan lebih dekat pada kebenaran, dan hanya egoisme, narsisme, serta keangkuhan yang mengatakan bahwa pendapatkulah yang benar dan semua orang bodoh serta tidak mengerti apa-apa. Namun, bila seseorang tidak terkena penyakit sombong, angkuh, dan egoisme, tentu dengan kerendahan hati dia akan berkata, “Dugaan saya telah sampai pada kesimpulan ini dan mudah-mudahan dapat menjadi dasar yang kuat bagi amalan saya, dan mungkin saja orang lain mempunyai pemahaman yang lebih baik daripada apa yang telah saya pahami.”
Sayang sekali, tidak banyak orang yang dapat mengemukakan pendapatnya dengan penuh kerendahan hati. Sementara, tidak sedikit juga orang yang mengemukakan pendapatnya dengan penuh keangkuhan yang bersikeras bahwa hanya pendapatnyalah yang paling benar apapun yang dikatakan orang lain adalah salah. Terkadang seseorang (yang berkepribadian angkuh), berani membuat pernyataan-pernyataan yang tidak benar dan tepat, sebagaimana yang disinggung oleh Imam Ali Kw, ketika si angkuh mengungkapkan pandangannya dengan nada mencibir pendapat orang lain, “Aku tidak pernah mendengar yang seperti ini, dan apabila ada, tentu sudah digunakan oleh para ulama dan kami mendengar serta mengetahui sumbernya.” (Ia berani berkata seperti itu), padahal dia sendiri tidak mengetahui serta tidak pasti bahwa pendapat yang benar itu seperti apa. Hal itu dia ucapkan semata-mata untuk memahamkan kepada lawan bicara, bahwa mengapa para ulama yang lebih besar darimu tidak pernah mengungkapkan masalah ini?! Apa yang menjadi dasarmu dalam menyimpulkan pendapat ini?! Dengan demikian, pendapatmu tidak berdasar dan tidak mungkin benar!! Alhasil dia berani bersikukuh, menginjak-injak kebenaran, melampaui batas serta tidak menghargai pendapat orang lain, dan muara dari semua sikap buruk itu tidak lain adalag egoisme (kesombongan dan keangkuhan). (Bersambung……)
(Diketik ulang dari Buku “22 Nasihat Abadi Penghalus Budi”)