Perspektif

Kenabian dan Kesempurnaan Manusia (1)

Manusia adalah maujud dinamis dan menyempurna, bukan maujud statis yang tak berkembang dan permanen. Manusia tidak seperti malaikat, iblis, kuda, sapi, kambing, tumbuhan dan batu, dimana maujud-maujud tersebut sudah ditetapkan derajat eksistensi dan esensinya. Berbeda dengan manusia yang merupakan maujud terbuka, yakni menusia dapat menentukan derajat akhirnya sesuai dengan ikhtiarnya, apakah ia menjadi manusia basyar, manusia malaikat, manusia sempurna, ataukah ia menjadi manusia iblis atau manusia hewan pemangsa. Oleh karena itu, persepsi tentang nâtiq sebagai diferensi akhir manusia dalam ilmu logika tidaklah seluruhnya benar, sebab manusia dengan seluruh makrifat dan perbuatannya nantinya akan mengalami perubahan dan pergeseran dari kehewanan nâtiq murni mencapai suatu tahapan  eksistensi dan esensi akhir, dimana ini akan menentukan nasib akhirnya apakah ia tergolong manusia bahagia atau manusia malang dalam kehidupan selanjutnya sesudah mengalami kematian natural.

Kelebihan Manusia atas Binatang 

Makhluk manusia dari segi esensi lebih dekat dengan binatang-binatang (kuda, sapi, kambing, kucing, tikus, dan lain-lainnya), sebab dari segi kuiditas, manusia itu adalah hewan yang natiq (berlogika). Artinya manusia dari dimensi kegenusan (jins) sama dengan binatang-binatang lainnya, yakni bergenus hewan. Permasalahan sekarang apa yang membuat manusia berbeda dengan binatang lainnya  dari segi aktualisasi esensialitas?

Binatang dalam prilaku dan perbuatannya senantiasa berasaskan instink, mereka tidak dibimbing dan diarahkan oleh akal dan pengetahuan. Dalam artian binatang hanya mewarisi apa yang sudah Tuhan tetapkan pada kehidupan spesies mereka yang pertama, tidak terdapat perkembangan menuju pada kesempurnaan, baik secara vertikal maupun secara horizontal. Kita lihat misalnya cara hidup masyarakat semut, kendatipun cara hidup bermasyarakat binatang tersebut adalah paling kompleks di antara binatang-binatang lainnya, tetapi cara hidup bermasyarakat semut tersebut tidak mengalami perubahan dan perkembangan. Atau kita lihat cara membuat rumah lebah, atau cara hidup binatang-binatang di hutan, atau anjing dan kucing yang banyak dipelihara dan dekat dengan manusia, meskipun kedua jenis hewan yang terakhir ini mengalami perkembangan akibat pelatihan yang diberikan manusia, tetapi hal itu hanya sifatnya kecil, dan dibanding apa yang diraih manusia dan apa yang berkembang pada masyarakat manusia maka hal itu tidak berarti sama sekali.

Namun manusia yang juga pada dasarnya tergolong jenis hewan (hewan yang berlogika), sebagian dari perbuatan dan tingkah lakunya berasaskan instink (gharizah) dan tabiat, sebab itu dalam konteks ini manusia tidak jauh berbeda dengan binatang-binatang lainnya, seperti kecenderungan  kawin, makan dan minum, melindungi diri, dan menyayangi anak-anaknya. Adapun kelebihan esensi manusia dari esensi binatang-binatang lainnya adalah akal dan pikiran yang Tuhan berikan padanya. Dengan akal dan pikirannya, manusia dapat mengontrol instink dan tabiatnya, mengarahkan instink dan tabiatnya pada perilaku dan perbuatan khusus demi kebaikan dan kesempurnaannya. Bahkan lebih jauh, dengan akalnya manusia mampu menyingkap rahasia-rahasia semesta, serta  dapat menguak tabir-tabir hakikat eksistensi. Oleh karena itu, jika manusia tidak menggunakan akal dan pikiran yang ada padanya dan hanya mengikuti instink dan kecenderungan tabiatnya, dalam kondisi ini manusia tidak berbeda dari binatang-binatang, bahkan manusia dari segi nilai dan esensi lebih rendah dari mereka. Al-Quran pada surah Al-‘Araf ayat 179 dalam hal ini menyebutkan : “Dan sesungguhnya  Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda dan kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu laksana binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

Sekarang jelas bagi kita adanya perbedaan mendasar antara manusia dengan binatang-binatang lainnya, yakni manusia untuk mencapai kehidupan insaniah yang ideal, tidak boleh hanya membatasi dirinya dengan mengikuti instink dan kecenderungan tabiatnya, tapi lebih dari itu potensi akal yang ada padanya harus digunakan dengan sebaik-baiknya. Manusia harus dengan segala pilihan yang ada dan kebebasan yang ada mengambil pilihan dan ikhtiar yang tepat dalam mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan insaniahnya, sebab itu apabila manusia tidak melakukan hal demikian, maka ia akan hidup sia-sia di dunia seperti binatang-binatang lainnya (terlebih lagi di akhirat akan mendapatkan kesengsaraan abadi), dan manusia seperti ini menurut Al-Quran adalah paling buruknya binatang:  “Sesungguhnya seburuk-buruknya binatang pada sisi Allah adalah orang-orang yang pekak dan tuli (tidak mau mendengar dan memahami kebenaran), mereka adalah orang-orang yang tidak berakal (menggunakan akal).” (QS. Al-Anfal [8] : 22)

 

 Kebutuhan Manusia atas Ideologi

Dengan mengetahui adanya perbedaan mendasar antara kehidupan manusia dan kehidupan binatang-binatang lainnya, dimana manusia mempunyai kehidupan ideal yang bergantung dengan penggunaan akal pikiran secara benar, menjadi jelaslah bahwa manusia membutuhkan suatu sistem aturan hidup yang berdasarkan wajib dan tidak wajib serta  harus dan tidak boleh.

Harus dan tidak boleh ini kadang bersifat partikular dan berkenan dengan masalah khusus dan kadang universal berbentuk hukum-hukum yang meliputi seluruh manusia. Istilah harus dan tidak boleh yang terakhir ini yang menentukan dasar prilaku dan prinsip perbuatan manusia yang disebut dengan ideologi. Sebagai contoh  perkataan: “Tuhan wajib disembah”, perkataan ini bermakna kewajiban menyembah Tuhan adalah tugas semua manusia, bersifat universal dan menyeluruh, maka ini disebut dengan ideologi. Berbeda misalnya jika kita berkata: “Seluruh kemampuan yang ada harus dikerahkan di jalan perjuangan Islam”, untuk konteks yang kedua ini wilayahnya lebih sempit dan obyeknya lebih khusus, sebab itu disebut sebagai strategi bukan ideologi.

Kesimpulan dari penjelasan di atas, manusia untuk mencapai derajat insaniah membutuhkan suatu perangkat hukum dan way of life yang bersesuaian dengan potensi rasio dan logikanya yang dapat mengarahkan mereka pada pencapaian kehidupan ideal kemanusiaan. Oleh sebab itu, jika manusia keluar dari rel akal dan koridor rasio serta hanya mengikuti instink dan tabiat hewani maka “Penciptaan mereka yang merupakan sebaik-baik penciptaan akan jatuh dalam kondisi serendah-rendahnya.” (QS. At-Tin : 5-6)

 

 Kebutuhan Manusia atas Pandangan Dunia

Di atas sudah kita bahas kebutuhan manusia atas ideologi, sekarang dengan memperhatikan hal tersebut dapat disimpulkan manusia niscaya juga membutuhkan pandangan dunia, sebab suatu ideologi khusus harus bersandar pada suatu pandangan dunia khusus, sebagaimana hukum-hukum akal praktis harus bersandar pada hukum-hukum akal teoritis yang kokoh. Misalnya hukum akal praktis: “Tuhan wajib disembah”, hukum tersebut harus berdasarkan pada hukum akal teoritis : “Tuhan ada dan Tuhan adalah pencipta manusia dan maujud-maujud lainnya”. Selama hal tersebut belum dibuktikan dengan akal teoritis, maka peran akal praktis dalam hal ini tidak punya arti. Kesimpulan: Manusia baru dapat memiliki ideologi yang benar ketika dia sebelumnya memiliki pandangan dunia yang benar .

 

Masalah dan Topik Pandangan Dunia

Pertama harus kita ketahui bahwa tidak semua masalah-masalah pandangan dunia memiliki kedudukan yang sama. Kita dapat membahas masalah-masalah tersebut sesuai dengan tingkat nilai dan urgensinya serta masalah yang mana didahulukan dan yang mana diakhirkan. Misalnya masalah surga dan neraka dan dimensi kebagaimanaan keduanya atau masalah malaikat-malaikat beserta pembagian tugas-tugas mereka dan atau hatta setan dan iblis, semua masalah-masalah tersebut mempunyai kedudukan dalam pandangan dunia Islam, tetapi jika dibanding dengan makrifat pada Tuhan, makrifat pada ma’ad (hari akhirat), dan makrifat pada kenabian, ketiga masalah terakhir ini memiliki kedudukan dan nilai yang lebih tinggi dari  masalah-masalah tersebut.

Dalam pembahasan ini kita hanya membahas masalah pandangan dunia yang sangat penting dan paling tinggi nilainya yang  memiliki hubungan langsung dengan ideologi. Masalah dan topik tersebut berhubungan dengan pengetahuan manusia akan hakikat eksistensi, hakikat manusia itu sendiri, dan hakikat cara dan jalan kesempurnaan serta kebahagiaan.

 

Pengetahuan Ihwal Hakikat Eksistensi

Dalam alam eksistensi  terdapat maujud-maujud dan fenomena-fenomena yang sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya. Kita juga manusia adalah bagian dari totalitas alam eksistensi ini. Sementara itu sangat banyak hal yang sebelumnya kita sangka mempunyai wujud dan memberi efek terhadap wujud lainnya, tetapi kemudian kita ketahui jika hal itu hanyalah bohong dan tidak punya realitas eksternal, misalnya konsepsi tentang kebetulan dan keberuntungan. Sebaliknya juga betapa banyak orang tidak meyakini keberadaan akan sesuatu dan menyangka hal itu hanyalah imajinasi kosong dan bohong, tetapi hal itu kemudian terbukti memiliki realitas dan memberi efek terhadap yang lainnya, misalnya ruh dan iblis.

Dari sisi ini manusia yang mempunyai fitrah rasa ingin tahu dan pencarian harus membedakan maujud-maujud hakiki dari maujud-maujud imajinasi, demi untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan hidupnya. Sebab kesempurnaan dan kebahagiaan  yang didambakan dan dicita-citakan manusia  tidak keluar dari lingkaran eksistensi itu sendiri, bahkan hal itu bergantung dan berhubungan   langsung dengan alam eksistensi. Dengan kata lain manusia menginginkan kebahagiaan dan kesempurnaan, dan manusia tidak ragu bahwa hal tersebut dapat diperoleh di antara eksistensi-eksistensi dan fenomena-fenomena hakiki. Permasalahannya adalah manusia harus mengetahui batasan-batasan eksistensi sejauh mana dan sampai dimana? Apakah batasannya hanya meliputi materi dan dunia materi ini saja? Ataukah di luar dunia materi ini terdapat maujud-maujud lain? Dan jika terdapat meujud-maujud lain di luar dunia materi ini, mana di antaranya yang lebih prinsipal dan lebih asas, dan bagaimana hubungan antara alam materi ini dengan alam non materi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dalam diri manusia untuk mengetahui dan mengenal alam di luar dirinya, dan pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab dalam rangka mencapai ilmu dan pengetahuan yang benar dan yakin terhadap alam eksistensi yang memiliki pengaruh pada pencapaian kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki manusia. Karena hanya dengan pengetahuan benar dan yakin sajalah yang mampu membawa manusia pada tujuan yang benar dan hakiki.

Dari uraian di atas dapat diketahui betapa bernilai dan pentingnya pengetahuan terhadap wujud dalam masalah pandangan dunia, dan perlu diketahui bahwa pemecahan masalah wujud ini akan membawa kita kepada pengetahuan akan wujud Tuhan yang benar dan tauhid nantinya.(RS)

(Bersambung…….)

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: