Oleh : Syaikh MT. Misbah Yazdi
Kemauan yang kuat merupakan kecakapan, sedangkan kelambanan adalah penyebab kehilangan. Tidak setiap pencari dapat menemukan apa yang dicari, dan tidak setiap penunggang dapat kembali ke tempat asalnya. Membuang-buang bekal adalah penyebab kehancuran. Setiap perkara pasti ada akhirnya. Adakalanya yang sedikit itu lebih cepat berkembang daripada yang banyak. Tidak ada kebaikan pada pendamping yang tidak berguna. Janganlah engkau lalui malam dengan tanggung jawab (baca: tugas) yang belum terselesaikan. Barangsiapa bersabar, dia akan menjadi mulia, dan barangsiapa yang mencari pengetahuan. Ilmunya akan bertambah. Berjumpa dengan orang-orang baik akan menghidupkan hati. Naikilah kendaraan zaman selama ia bersikap jinak terhadapmu.
Terkadang seseorang dengan menganggap bahwa dikemudian hari masih banyak waktu dan masih ada kesempatan yang lebih baik untuk melakukan suatu pekerjaan, mengabaikan kesempatan yang ada di tangan dan menundanya. Sebagai akibatnya, boleh jadi dia akan kehilangan anugerah serta nikmat yang telah Allah SWT peruntukkan atasnya. Setan selalu membisikkan bahwa masih banyak waktu, di masa datang fasilitasnya akan semakin memadai, di masa datang pekerjaan dapat dilakukan lebih baik lagi dan seterusnya.
Nah, agar manusia tidak terjatuh dalam jerat-jerat setan tersebut, Imam Ali mengingatkan bahwa sikap berhati-hati tidak selalu berarti bahwa kita harus menunda pekerjaan. Boleh jadi, kehati-hatian justru menuntut kita untuk segera mengerjakan pekerjaan tersebut, karena di masa datang tidak ada jaminan kita dapat melakukannya. Minal hazmi al-‘azmu, yakni orang yang berpandangan jauh ke depan dituntut untuk dapat cepat mengambil keputusan dan bekerja. Sikap berhati-hati tidak selalu berarti menunda atau mengundur suatu pekerjaan, bahkan bisa berarti segera melaksanakannya. Sikap menunda tidak selalu menguntungkan dan mendatangkan manfaat. Kita hanya boleh menunda suatu pekerjaan apabila kita benar-benar yakin bahwa dengan menundanya, pekerjaan tersebut dapat dilakukan dengan lebih baik dan lebih sempurna.
Tidak Setiap Pencari Dapat Menemukan Apa yang Dicarinya
Kita telah memaknai sebagian kalimat dalam wasiat Imam Ali, kendati makna yang lebih luas masih bisa diberikan atasnya.
Pada bagian berikutnya, beliau berkata, “Laisa kullu thaalibin yushiibu wa laa kullu raakibin yauubu.” Terjemahan sederhana dari ungkapan Imam Ali di atas adalah tidak setiap pencari dapat menemukan apa yang dicari dan tidak setiap penunggang dapat kembali ke tempat asalnya, karena boleh jadi mereka yang pergi, tidak akan pernah kembali. Akan tetapi ungkapan tersebut menyimpan makna yang tersembunyi, dan untuk memahami makna yang tersembunyi itu, terlebih dahulu perlu diketahui beberapa poin berikut. Pertama, dalam rangka apa ungkapan tersebut diucapkan. Jelas sekali, orang yang pergi, adakalanya kembali dan adakalanya tidak kembali. Sebagaimana halnya orang yang mengejar sebuah tujuan, adakalanya dia dapat meraihnya dan adakalanya dia tidak dapat meraihnya. Dengan begitu, apa tujuan dan maksud dibalik ungkapan itu? Apa yang hendak disampaian oleh Imam Ali kepada lawan bicaranya dan hikmah apa yang hendak beliau ajarkan?
Sebagian penafsir dan pensyarah (Nahj al-Balaghah) memberikan ulasan seperti ini. sebagian orang yang belum berpengalaman dan baru memulai sebuah pekerjaan beranggapan bahwa pekerjaan apa pun yang dirintis dan dilakukan pasti akan akan membuahkan hasil sesuai yang diinginkan. Ketika akhirnya dihadapkan pada kegagalan, mereka cenderung patah semangat dan berputus asa. Kondisi itu biasanya akan membuat seseorang tidak lagi berani melangkah dan memulai pekerjaan baru. Dia akan berkata pada dirinya, “Kemarin saya telah berusaha dan bekerja namun tidak berhasil, berarti apa pun yang saya lakukan pasti akan menemui kegagalan seperti yang lalu. Nasib saya terlanjur tidak baik dan apa pun yang saya lakukan pasti tidak akan membuahkan hasil.”
Nah, dalam rangka menghindarkan seseorang dari keputusasaan akibat kegagalan, beliau menegaskan, “Tidak setiap orang yang berusaha mencari atau mewujudkan sesuatu itu pasti memperoleh keberhasilan”, sehingga apabila dia tidak berhasil bisa dikatakan gagal dan tidak mampu. Sifat dan tabiat pekerjaan di dunia memang seperti itu adanya, yakni terkadang orang yang berusaha itu mendapatkan hasil dan adakalanya tidak berhasil. Berhasil atau tidak berhasil itu lumrah adanya. Manusia tidak boleh hanya terpaku memandang hasil kerja, sehingga bila mengalami kegagalan akan berputus asa. Manusia harus terus berusaha dan optimis, dengan kesadaran bahwa kegagalan itu mungkin saja terjadi. Terlalu menjanjikan keberhasilan pada diri akan mengakibatkan keputusasaan bila akhirnya mengalami kegagalan. Seperti halnya apabila seseorang memilih sebuah jalan dan dia merasa sangat yakin bahwa jalan yang dipilihnya itu lurus, bagus, dan mulus, bila akhirnya ternyata terdapat naik-turun, belokan, atau lubang, maka besar kemungkinan dia akan terjatuh dan mematahkan kakinya. Itu disebabkan karena dia tidak mempersiapkan diri untuk jalan yang tidak mulus. Berbeda halnya apabila dia memberikan kemungkinan bahwa mungkin di hadapan ada belokan tajam, lubang, atau jalan yang naik-turun, tentu dia akan dapat mengatasi serta mengendalikan dirinya. Dengan kata lain, dia telah mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan, bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun.
Seperti itulah gambaran kehidupan manusia. Apabila seseorang berpikir bahwa dia pasti berhasil, bila akhirnya menemui kegagalan dia akan berputus asa dan hilang semangat. Kebanyakan orang yang terjerat dalam nihilism dan pemikiran menyimpang adalah akibat dari optimisme berlebihan yang hanya mengharapkan keberhasilan tanpa mempersiapkan diri untuk sebuah kegagalan. Karena mereka terlalu melenakan diri dalam beragam fantasi keberhasilan yang gagal dicapai, mereka jatuh ke dalam kegalauan jiwa, keputusasaan dan depresi. Akan tetapi, ketika sejak awal seseorang menyadari bahwa ada kemungkinan kegagalan dan bahwa tidah setiap usaha itu pasti akan membuahkan hasil yang diinginkan, maka dia tidak akan pernah putus asa dan patah semangat bila mengalami sebuah kegagalan. Karena dia telah mengerti bahwa terkumpulnya beberapa faktor tidak serta merta dan selalu mendatangkan hasil. Apabila mentalitas seperti itu kita miliki, kita pun tidak akan mudah kehilangan semangat dan jatuh dalam keputusasaan. (Dalam benaknya selalu teringat apa saja yang diucapkan Imam Ali ), “Tidak setiap pencari dapat menemukan apa yang dicari, dan tidak setiap penunggang dapat kembali ke tempat asalnya.”
Bagaimana Cara Memanfaatkan Kesempatan?
Apa yang telah dibahas di atas adalah salah satu kemungkinan makna yang dapat diambil dari kalimat Imam Ali. Namun dengan memerhatikan beberapa ulasan sebelumnya, masih terbuka kemungkinan adanya makna lain dari ungkapan beliau. Ketika belau berkata, “Adakalanya mengundur sebuah pekerjaan dapat menjadi penghalang bagi seseorang untuk meraih tujuannya.” Maksudnya, bersegeralah untuk melakukan pekerjaan pada kesempatan pertama, karena kesempatan kedua belum tentu tersedia. Mengapa? Karena tidak setiap pencari itu dapat menemukan apa yang dicarinya, atau tidak setiap orang yang mengejar sebuah cita-cita, pasti dapat mewujudkannya. Maksud dari kalimat beliau yang berbunyi, “Manfaatkanlah kesempatan yang ada”, adalah agar kita dapat menghargai serta memanfaatkan kesempatan di awal waktu dan tidak terhambat oleh bisikan setan atau terkena penyakit malas, karena bila diundur, tidak ada jaminan bagi kita untuk dapat melaksanakannya pada kesempatan-kesempatan berikutnya, sebagai misal, seorang pekerja yang berkata kepada dirinya, “Tidak masalah bila aku tidak bekerja hari ini, aku akan menggunakan uang tabungan dari hasil kerja kemarin dan besok aku kembali bekerja lagi.” Atau ketika seorang pelajar berkata, “Tidak apa-apa bila aku tidak belajar hari ini, karena waktu belajar akan kuganti pada hari berikutnya.” Baik pekerja maupun pelajar di atas tidak menyadari bahwa besok belum tentu ada kesempatan bagi mereka untuk bekerja ataupun belajar, karena mungkin saja terjadi urusan-urusan lain yang membuat mereka tidak bisa bekerja ataupun belajar. Imam Ali hendak menasihati bahwa apabila seseorang menunda pekerjaan dan bermalasan lalu berdalih, “Tidak mengapa tidak kukerjakan hari ini, karena besok masih ada waktu, dan bila esok tidak, maka masih ada hari berikutnya.” Maka hal ini tidak benar dan sangat keliru. Karena besok atau lusa belum tentu ada kesempatan hari ini. kesempatan tidak sepenuhnya berada di bawah kendali manusia. Oleh karenanya, manusia harus sangat menghargai kesempatan dan pandai-pandai dalam memanfaatkannya. Pergunakanlah kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya dan jangan pernah menunda suatu pekerjaan yang bisa dilakukan hari ini untuk dikerjakan pada hari berikutnya!.
Dalam rangka menyemangati kita untuk giat beraktivitas sekaligus memerangi sifat malas serta kelambanan, Imam Ali mengajarkan, “Apabila setan berbisik kepadamu untuk menunda sebuah pekerjaan pada hari esok, maka katakan kepadanya, Jika tidak kukerjakan hari ini, boleh jadi esok hari aku tidak mempunyai kesempatan yang kini tersedia, belum pasti tetap tersedia pada esok hari. Apabila kukerjakan hari ini, setidaknya aku sudah mengerjakan sebagian tugas dan tanggung jawabku. Namun bila kutunda esok dan akhirnya ada halangan, tugasku akan semakin bertumpuk.” Dari nasihat beliau kita bisa mengambil pelajaran, manusia harus bersikap realistis, memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya dan menghindarkan diri dari sifat malas dan lamban. Namun pada saat yang sama manusia juga harus menerima hasil apapun dari pekerjaan-pekerjaan duniawi, agar bila suatu hari dihadapkan pada sebuah kegagalan, dia tidak jatuh dalam kekecewaan serta keputusasaan.
(Bersambung …….)