Oleh : Akmal Kamil
Meski tema “logika [guna] memahami Al-Quran” pada batas-batas tertentu memiliki kesamaan dengan istilah (redaksi) yang biasa kita gunakan dalam ilmu-ilmu rasional, namun kemungkinan sebagian orang tidak banyak memahaminya. Menggunakan ilmu-ilmu rasional dan proposisi-proposisi argumentatif (Qadhaya Burhaniyah) memiliki kaitan dengan logika tertentu. Dengan kata lain ia berkaitan dengan asas-asas dan kaidah-kaidah yang merupakan pijakan guna terbentuknya sebuah argumentasi.
Setiap bidang ilmu membutuhkan kaidah-kaidah yang menjadi pijakan untuk mencapai sebuah kesimpulan, berdasarkan hal ini sebagian ulama mengatakan bahwa ilmu “Ushul Fiqih” merupakan Logika (mantiq) bagi “ilmu Fiqih”. Jika ilmu Ushul Fiqih dapat disebut sebagai logika ilmu Fiqih, maka menyebut prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah tertetu sebagai “logika [guna] memahami Al-Quran” bukanlah suatu yang asing dan mengherankan, terlebih lagi dalam memahami Al-Quran sudah barang tentu memerlukan asas-asas serta kaidah-kaidah tertentu. Jika keharusan adanya logika guna memahami Al-Quran dapat diterima, secara global kita dapat membagi pembahasan ini menjadi dua bagian.
Pertama; adalah kaidah-kaidah serta postulat (ushul maudhu’ah) bagi yang menerima validitas penafsiran dan pemahaman Al-Quran. Dan yang kedua; adalah kaidah-kaidah tertetu yang mengharuskan bersandar pada ayat-ayat Al-Quran saat menfsirkan ayat-ayatnya. Merupakan suatu kejelasan bahwa setiap bidang ilmu memerlukan metodologi tersendiri sehingga dengan metode tersebut tujuan dari bidang ilmu tertentu dapat tercapai. Dari sini sangatlah wajar jika penafsiran Al-Quran pun memerlukan metode tersendiri. Walaupun demikian sangat disayangkan, sedikit sekali kajian yang dilakukan dalam masalah ini, walau bagaimanapun kajian masalah ini akan selalu dibutuhkan. Mengapa seseorang yang ingin menafsirkan Al-Quran harus mengetahui kaidah dan asas yang menjadi pijakannya? Dan bagaimana metode menggunakan kaidah-kaidah tersebut? Oleh karenanya, kebutuhan ini terus ada, terlebih lagi dengan munculnya kajian-kajian baru seperti hermeneutik dan lainnya, maka kajian terhadap masalah ini terasa lebih urgen dan diperlukan.
Dari sini jelaslah pentingnya kajian atas tema ini, disamping kebutuhan dalam memahami Al-Quran, pemikiran-pemikiran teologi baratpun -berkaitan kajian ini- telah masuk ke dalam kajian dan lingkaran keilmuan Islam, yang manambah signifikansi kajian ini.
Kajian yang akan saya sampaikan, terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama mengenai prinsip-prinsip yang kita yakini atas Al-Quran saat menafsirkannya. Pembahasan kedua, kaidah-kaidah tertentu yang harus kita perhartikan saat menafsirkan Al-Quran. Dan yang ketiga ialah, kita akan menganalisa beberapa keraguan (syubhah) yang berkaitan dengan masalah ini.
Bagian Pertama
Salah satu prinsip dasar mengenai Al-Quran yang patut kita perhatikan saat menafsirkannya, adalah keyakinan bahwa kitab suci tersebut merupakan Kalam Ilahi. Sudah barang tentu keyakinan ini kita jadikan sebagai prinsip dasar (ashl maudhuah) dan bukan sebagai prinsip lainnya yang akan dikaji dibawah ini. Tidak menutup kemungkinan bahwa ada orang-orang yang menyakini keberadaan Tuhan, namun mereka mengingkari ucapan atau fiman yang dinisbatkan kepada-Nya. Secara otomatis mereka pun akan meragukan Al-Quran sebagai firman Allah SWT. Masalah yang saat ini marak menjadi bahan kajian para pemikir ini, sebenarnya bukanlah masalah baru, akan tetapi ia telah dilontarkan semenjak rentang waktu 20 tahun yang lalu. Isu-isu yang dilontarkan salah satunya adalah; Apakah Al-Quran adalah firman Allah ataukah sabda Nabi SAW? Untuk membuktikan dan menguatkan pandangan mereka, mereka tidak segan-segan membawa ayat-ayat Al-Quran. Keyakinan ini -yaitu Al-Quran merupakan firman Allah dan bukan sabda Nabi SAW- kita jadikan sebagai pijakan dasar dalam kajian ini. Kita tidak akan membahas panjang lebar masalah ini karena ia berada di luar kajian kita saat ini.
Prinsip kedua: Tidak diragukan lagi bahwa Allah SWT memiliki tujuan tertentu saat menurunkan Al-Quran dimana dengan memahami ayat-ayatnya, tujuan tersebut dapat terealisasi, pada dasarnya tema ini memiliki tautan dengan teologi atau fisafat ketuhanan. Kajian ini memiliki bentuk argumen yang beragam namun di sini saya akan banyak berpijak kepada prinsip yang menjadi keyakinan bersama yaitu kebijakan (hikmah) Ilahi.
Salah satu kebijakan Ilahi adalah menyempurnakan akal manusia agar ia dapat memahami jalan hidup dan kebahagianya, dan tujuan ini direalisasikan dengan mengutus para Nabi as dan menurunkan kitab-kitab suci. Seadainya hal ini tidak dilakukan, dalam artian Dia tidak mengutus para Nabi dan menurunkan kitab suci, maka tindakan ini bertentangan dengan tujuan Ilahi serta hikmat-Nya. Jadi prinsip kedua yang harus kita yakini bersama ialah: Bahwa ayat-ayat Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT dengan tujuan membimbing umat manusia sehingga jalan-jalan menuju kebahagian hakiki yang tidak mampu ditangkap oleh akalnya, dapat diketahuinya melalui jalan wahyu atau Al-Quran. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan ada perkara-perkara tertentu yang dapat dipahami dan dicerap oleh akal, kemudian Al-Quran pun menjelaskannya sebagai sebuah penekanan. Sebagai contoh dalam satu ayat Al-Quran Allah SWT berfirman “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan”[1], seandainya tidak ada ayat yang menyatakan hal ini, akal pun –secara independen- dapat memahami bahwa keadilan dan kebajikan adalah sesuatu yang baik yang menjadi kewajiban setiap orang. Kita dapat katakan bahwa semacam ini selain memiliki argumentasi akal ia pun memiliki dalil Al-Quran.
Pada dasarnya, faktor inti kebutuhan kita atas Al-Quran serta wahyu adalah ketidakmampuan akal kita dalam mengidentifikasi secara akurat mana jalan kebahagian dan mana jalan kesengsaraan, oleh karenanya kita membutuhkan wahyu dan Al-Quran yang akan membantu akal kita untuk menemukan jalan kebahagian yang hakiki.
Prinsip ketiga: Allah adalah Tuhan yang Mahabijaksana, di mana untuk memberi petunjuk kapada manusia Dia menurunkan kita suci Al-Quran dengan bahasa akal sehat (common-sense) dan berbicara sesuai dengan kaidah-kaidah komunikasi yang rasional. Masalah ini sekarang merupakan masalah yang cukup signifikan. Sepanjang 1400 Th sejarah perjalanan agama Islam, para mufassir, pemikir dan filosof agama tidak pernah membahas secara khusus mengenai bahasa agama. Apakah bahasa agama memiliki makna yang hakiki ataukah ia hanya merupakan simbol atau dongeng yang tidak ada realitanya? Di dalam tubuh umat Islam masalah ini tidak pernah diketengahkan, namun ia dicuatkan oleh pemikir-pemikir barat tepatnya setelah Renaissance. Di saat itu mereka mulai menanyakan kitab Injil (New Testament) dan Taurat (Old Testament), apakah kandungan-kandungan kitab-kitab suci ini adalah penyingkapan akan sebuah hakikat (realitas) ataukah tidak? Berkaitan dengan masalah ini mereka berkeyakinan bahwa setiap bahasa memiliki pengertian yang berbeda-beda, ada bahasa yang menunjukkan kepada suatu yang nyata (hakikat) dan mengabarkan suatu yang realita kepada lawan bicaranya dan ada pula bahasa-bahasa lainya yang tidak memiliki makna yang realistis, seperti bahasa cerita (kisah), dongeng dan sya’ir khususnya syair-syair mistik (irfan atau tasawuf) yang banyak menyebutkan istilah-istilah yang fiktif seperti megumpamakan sesuatu dengan minuman anggur, lantunan genderang dan lain sebagainya, para pelantun syair-syair tersebut pun mengatakan bahwa yang dimaksud dengan anggur di sini bukanlah anggur yang biasa dikenal masyarakat namun kata-kata tersebut merupakan istlah dan kiasan untuk menjelaskan sebuah pengertian tertentu.
Secara global pada tingkat pemahaman, kita memiliki bahasa yang beragam. Mereka yang ingin membela agama Nasrani dan Yahudi dari serangan para pemikir dan ilmuan yang mengkritisi kitab suci mereka dan mengatakan bahwa ajaran-ajaran yang terkandung dalam Injil dan Taurat bertentangan baik dengan rasio maupun ilmu pengetahuan (sains). Oleh karenanya kitab tersebut tidaklah valid dan tidak dapat dikategorikan sebagai kitab langit (samawi).
Untuk menepis dan menjawab kritikan ini, mereka menciptakan sebuah teori yang berisikan bahwa bahasa kitab suci bukanlah bahasa yang biasa digunakan dalam komunikasi yang akal dapat menyingkap realitanya, bahasa kitab suci adalah bahasa yang khusus yang menyampaikan pesan-pesan tertentu seperti kitab-kitab cerita. Berdasarkan teori ini, perkara-perkara yang tampak tidak rasional, seperti meminum araknya para nabi, bergulatnya Tuhan dengan seorang nabi dan kekalahan-Nya di tangan Nabi Ya’kub as dan seterusnya, bukanlah bertujuan menjelaskan makna rillnya, namun ungkapan-ungkapan semacam ini merupakan rumus yang untuk memahaminya membutuhkan penafsiran tersendiri.
Sekarang! Apa pandangan kita umat Islam terhadapa Al-Quran? Apakah kita memandang bahwa Al-Quran juga merupakan kitab cerita dan bahasa yang dikandungnya adalah merupakan simbol dan formula? Atau kita menyakini bahwa bahasa yang terkandung di dalamnya adalah sebagai penyingkap sebuah realita, sebagaimana komunikasi yang kita gunakan untuk menyampaikan maksud-maksud hati kita? Kita sebagai umat Islam menyakini bahwa bahasa Al-Quran merupakan penyingkap realitas (hakikat), dan hal ini yang menjadi prinsip ketiga dari kajian kita ini. Namun patut diingat yang dimaksud dengan prinsip di atas, bukanlah kita menganggap bahwa didalam ayat-ayat Al-Quran tidak terdapat Kinayah dan Majaz (kiasan atau metafora), apakah dalam komunikasi keseharian yang kita gunakan tidak terdapat kata-kata istilah atau kiasan? Jawabannya tidaklah demikian, kita sadari bersama bahwa saat ingin menyampaikan sesuatu, kita sering kali mengunakan istilah-istilah atau kiasan-kiasan. Dalam komunikasi antar manusia juga banyak menggunakan istilah sastra terentu, karena hal ini selain dapat memudahkan seseorang saat berbicara, ia pun dapat mempermudah seseorang untuk meyampaikan maksud dan tujuannya. Jelas bahasa semacam ini tidak dapat kita kategorikan sebagai dongeng yang tidak memiliki makna yang riil. Saat kita menggunakan kata-kata kiasan atau istilah tertentu dalam komunikasi kita, dari konteks pembicaraan kita, lawan bicara dapat memahami bahwa apa yang kita ucapkan adalah sebagai kiasan yang mengandung arti tertentu. Dengan demikian, walaupun kita kita menyakini bahwa bahasa yang dikandung Al-Quran adalah bahasa yang memiliki makna yang hakiki, kita pun tidak mengingkari adanya kiasan, majaz atau istilah-istilah tertentu yang digunakan dalam ayat-ayat Al-Quran.
Prinsip keempat:[2] Ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan guna menyampaikan pesan-pesan Ilahi juga menggunakan metode yang biasa digunakan oleh manusia dalam komunikasi antar mereka, dengan kata lain Allah SWT tidak menggunakan metode penyampaian yang berlainan dengan metode yang digunakan manusia. Meskipun pada ayat-ayat tertentu terdapat gaya bahasa yang sangat mengagumkan di mana kebanyakan orang tidak mudah memahaminya. Namun hal ini bukan berarti metode penyampaian Al-Quran sama sekali tidak dapat dipahami, sehingga untuk memahaminya harus kita kembalikan kepada para Manusia Suci dan kita harus tanyakan kepada mereka, bagaimanakah metode untuk memahami Al-Quran, asas-asas serta kaidah-kaidahnya? Sudah tentu hal ini berbeda dengan metode rasional yang yang disebutkan di atas. Namun sebagaimana tingkat pemahaman manusia -yang berakal sehat- akan sebuah masalah memiliki tingkatan dan bergradasi, oleh karenanya semakin mendalam pemahaman seorang penafsir atas kaidah, bahasa serta ilmu Al-Quran, maka dapat dipastikan bahwa ia akan mampu menggali makna yang lebih luas dan mendalam dari ayat-ayat Al-Quran. Dan hal ini tidak mengindikasikan bahwa metode komunikasi Al-Quran berlainan dengan metode komunikasi orang-orang yang berakal.
Prinsip kelima: Dari apa yang dijelaskan di atas dapat menghasilkan prinsip yang kelima, yaitu dengan menggunakan berbagai metode ini, Allah SWT menghendaki agar manusia dapat mengambil manfaat dari apa yang disampaikan-Nya (difirmankan), paling tidak orang-orang yang mengetahui kaidah-kaidah komunikasi dan menggunakan metode akal sehat dapat menangkap maksud-maksud tertentu dari firman-firman Allah SWT. Prinsip ini (kelima) diingkari kelompok Ahlu al-Hadis dari Ahlusunnah dan juga kelompok Akhbari dari Syiah, di mana kelompok ini menyakini bahwa penafsiran Al-Quran harus bersandarkan kepada riwayat-riwayat yang ada.
Di masa lalu terdapat kelompok Syiah yang beranggapan bahwa pemahaman Al-Quran serta penafsirannya hanya khusus bagi para Imam Maksum, dan tidak seorang pun yang berhak menafsirkannya, sekiranya ada seseorang yang menafsirkan Al-Quran, maka penafsirannya tidak dianggap absah (hujjah). Untuk membuktikan kebenaran pandangan ini, mereka bersandar kapada salah satu riwayat yang terkenal yang menyebutkan “Sesungguhnya yang hanya memahami Al-Quran ialah yang diturunkan kepadanya Al-Quran”. Sudah barang tentu memahami sebuah riwayat dari sisi lahirnya saja dan tanpa membandingkan kepada teks lainnya kemudian menelannya secara mentah-mentah, bukanlah metode yang benar. Ditambah lagi para mufassir (ahli tafsir) serta ulama besar kita semenjak zaman Imam-imam suci hingga saat ini, seperti Syaikh Thusi, Syaikh Thabarsi, ‘Allamah Thabathaba’i dan mufassir besar lainnya, mereka bukan hanya membolehkan untuk menafsirkan Al-Quran bahkan mereka menganggapnya hal itu sebagai ibadah dan terkadang merupakan suatu kewajiban.
Dengan demikian, berbeda dengan apa yang mereka anggap (kelompok Ahlu al-Hadits dan Akhbari), -bahwa kita dengan sendirinya tidak berhak memahami sesuatu dari Al-Quran dan apa yang kita pahami tidak bisa kita nisbatkan kepada Allah, akan tetapi penafsiran yang ada haruslah bersandarkan kepada riwayat-riwayat para Imam Maksum – maksud dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran pada batas tertentu dapat ditangkap oleh setiap orang yang benar-benar menjaga kaidah-kaidah rasional komunikasi, walaupun ini bukan berarti bahwa ia dapat memahami seluruh hakikat yang terkandung di dalamnya.
Sebenarnya masalah ini membutuhkan segenap argumen dan kajian yang lebih mendalam, namun dikarenakan masalah hanya menjadi prinsip dasar kajian kita saat ini, maka kajian mendalam mengenai prinsip kelima ini memerlukan ruang dan waktu lainnya, namun yang perlu diketahui di sini bahwa bukti dan dalil yang paling kokoh yang mendukung prinsip kelima ini adalah riwayat yang memerintahkan untuk membandingkan hadis-hadis yang ada kepada Al-Quran guna mengindentifikasi apakah hadis tersebut benar atau palsu., yaitu jika sesuai dengan Al-Quran maka ia dapat dikategorikan sebagai hadis yang benar (shahih, valid) jika tidak maka ia tergolong hadis yang palsu. (Bersambung).