Oleh : Syahid Murtadha Muthahhari
Kita lihat Imam Ali sebagai orang yang sangat mulia, saleh, sehingga ibadahnya sangat dikenal, ibadah yang penuh cinta dan air mata. Setelah beliau wafat, seseorang yang bernama Zirar, seorang sahabat Imam Ali, bertemu dengan Muawiyah. Muawiyah memintanya untuk menggambarkan perihal Imam Ali. Zirar menceritakan sesuatu yang telah ia saksikan sendiri. Ia berkata, “Suatu malam aku melihat beliau sedang beribadah di tempat khususnya. Beliau sedang menggeliat dengan rasa takut kepada Allah bagai orang yang digigit ular dan menangis dengan kesedihan yang mendalam dan kemudian berkata, “Oh api neraka,” . Mendengar ini Muawiyah pun menangis.
Sebelum Imam Ali wafat, Muawiyah bertemu dengan Adass bin Hatam dan bermaksud memancing-mancing untuk menentang Imam Ali, maka ia bertanya kepada Adass mengenai nasib ketiga puteranya yang telah terbunuh ketika berperang demi Imam Ali. Muawiyah berharap mendengar Adass mengutuk Ali Kw. Lalu ia berkata, “Apakah patut baginya merampas ketiga orang puteramu dan menyelamatkan putera-puteranya sendiri dari kematian di medan perang?”
Adass menjawab, “Akulah yang tidak jujur kepada beliau. Seharusnya aku tidak hidup sementara beliau terkubur di bumi.” Ketika Muawiyah melihat bahwa niatnya gagal, maka beliau meminta Adass untuk menggambarkan tentang Imam Ali yang pernah ia saksikan sendiri. Ketika Adass mengakhiri ceritanya, ia perhatikan air mata mengalir ke janggut Muawiyah dan kemudian ia hapus dengan lengan bajunya seraya berkata, “Adass, waktu terlalu hampa untuk menghasilkan seorang manusia seperti Ali.” Anda perhatikan bagaimana kebenaran menampakkan dirinya.
Tetapi apakah Imam Ali sekadar orang saleh di atas mimbar? Tidak. Kita juga melihat beliau sebagai orang yang paling sosial, orang yang sadar akan keadaan orang miskin dan papa serta sadar terhadap orang-orang yang membawa berbagai keluhan kepada beliau. Sekalipun beliau sebagai seorang khalifah, beliau tetap berada di tengah-tengah umat, bergelut dengan berbagai urusan mereka. Ketika beliau bertemu dengan para pedagang, beliau berteriak, ”Pertama-tama kalian harus pergi dan mempelajari berbagai persoalan perdagangan yang Islami.” Dengan kata lain sebelum berdagang mereka harus mengetahui terlebih dahulu berbagai kewajiban Ilahi tentang apa yang halal dan yang haram dalam setiap persoalan. Juga diceritakan bahwa beliau telah menyatakan kepada seorang pengemis miskin yang sedang meminta-minta sesuatu kepada beliau. Imam Ali memperhatikannya dan melihat bahwa ia masih sanggup untuk bekerja, tetapi memilih mengemis sebagai bagian perdagangan. Beliau memberi nasihat kepadanya dan berkata, “Ikutilah kehormatan dan martabatmu.” Pernyataan ini pun beliau tujukan kepada setiap orang. Karena bekerja membawa martabat dan kehormatan.
Jadi, Imam Ali adalah seorang Muslim yang benar, ikhlas dalam beribadah, hakim yang adil di pengadilan, prajurit yang berani, komandan di medan perang, orator yang fasih, guru yang hebat, dan suri teladan yang indah dan sempurna dalam setiap prestasi.
Islam tidak pernah menyetujui penerimaan yang setengah-setengah terhadap berbagai kewajibannya atau percaya sebagian dan tidak percaya sebagian. Ini jalan yang keliru yang dipakai oleh beberapa sufi yang memandang Islam hanya terdiri dari shalat atau orang-orang yang tidak tahu sama sekali berbagai amal kebaktian.
Al-Quran mengatakan, “Muhammad itu utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (48 : 29).
Dalam ayat tersebut, masa depan umat Islam digambarkan. Pada bagian pertama mengenai masalah pengikutan kepada keimanan dan kepada Nabi diungkapkan dan pada bagian terakhir ditegaskan masalah pendirian terhadap orang-orang kafir. Jadi, tampaknya orang-orang yang taat yang menjadikan masjid sebagai rumah mereka dan tidak berkata apapun ketika digiring oleh serdadu, maka ia bukanlah seorang Muslim. Kualitas yang paling penting seorang Muslim menurut Al-Quran adalah dengan menunjukkan ketegasan dan kekuatan dalam menghadapi musuh.
Al-Quran berkata, “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (3 : 139). Islam tidak mengizinkan kelemahan dalam agama. Will Durant berkata dalam History of Civilization-nya bahwa tidak ada agama kecuali Islam yang menyeru kepada para pengikutnya untuk menjadi kuat dan tabah.
Pundak yang membungkuk seperti orang yang tak berdaya, berpakaian tidak baik dan kotor, berjalan dengan malas dan acuh tak acuh terhadap sekitarnya serta berkeluh kesah dan merintih-rintih , semua itu bertentangan dengan Islam. Al-Quran mengatakan, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya.” (93 : 11). Allah telah memberi Anda berkah seperti kesehatan dan kekuatan. Mengapa Anda menunjukkan diri begitu tak berdaya? Ini merupakan rasa tak berterima kasih. Imam Ali bukan orang semacam ini. Beliau bertahan dengan cakap dan kuat menghadapi musuh.
Bagaimana dengan orang yang berbaik hati dengan orang lain? Kadang-kadang kita bertemu dengan orang-orang yang taat yang tidak baik dan mempunyai kebiasaan bermuram durja serta tidak bersikap ramah. Mereka tidak pernah tertawa dan jarang tersenyum, seolah-olah seluruh manusia berutang budi kepada mereka dan mereka menganggap dirinya sesuai dengan Islam. Inikah yang disebut dengan sikap tegas terhadap musuh dan berbaik hati kepada sesama Muslim? Jawabnya, tidak. Al-Quran berkata, “Kamu akan melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya.” (48 : 29). Pernyataan mengenai orang-orang semacam ini memiliki dua kualitas, ketabahan dan kebaikan, dan dalam shalat serta sujud mereka begitu khusyuk sehingga Anda dapat melihat tanda-tanda kesucian serta kesalehan pada diri mereka.
Diceritakan dari Nabi SAW bahwa murid-murid Isa Al-Masih as bertanya kepadanya, dengan siapakah mereka harus bersahabat, kemudian Isa as menjawab, “Duduklah bersama seseorang yang tatapannya mengingatkanmu kepada Allah, yang ucapannya menambah pengetahuanmu dan akhlaknya mengajakmu untuk berbuat baik.”
Suatu bangsa yang memiliki semua sifat tadi, pasti sungguh-sungguh suatu bangsa. Sekarang, katakan pada saya, kenapa umat Islam harus merosot, jinak, dan sengsara? Dari kualitas yang disebutkan tadi, apakah yang harus kita lakukan sebelum memilikinya? Sekalipun kita mengakui bahwa Islam merupakan keyakinan sosial, kenapa kita harus memandang rendah ibadah dan shalat serta kedekatan kepada Allah? Saya yakin bahwa Anda menganggap rendah shalat, itu suatu dosa dan demikian juga bila tidak mengenalnya.
Pada saat Imam Ja’far Ash-Shadiq wafat, Abu Bashir mendatangi beliau untuk menyatakan duka citanya kepada Ummul Hamidah [istri Imam]. Kemudian Ummul Hamidah menangis dan begitu juga Abu Bashir. Ummul Hamidah kemudian menceritakan sesuatu yang telah terjadi pada saat-saat terakhir sang Imam. Ummul Hamidah berkata bahwa Imam tak sadarkan diri, kemudian membuka matanya dan meminta semua sahabatnya untuk hadir. Setelah mereka semua berkumpul, Imam menyampaikan pernyataan berikut dan setelah itu beliau pun wafat. Imam berkata, “Orang-orang yang menganggap rendah shalat tidak akan menerima syafaat dari kami.” Anda lihat bahwa beliau tidak berbicara tentang orang-orang yang tidak tahu sama sekali tentang ritual shalat, karena konsekuensinya sudah jelas. Apakah arti dari menganggap rendah shalat? Artinya, menunda-nunda waktu, kesempatan, dengan menangguhkannya dan kemudian setelah terlambat ia melaksanakannya dengan tergesa-gesa dan asal selesai, tanpa mencurahkan pikiran dan ketenangan jiwa yang diperlukan sebelum memulai shalat.
Pengalaman telah menunjukkan bahwa di dalam rumah di mana shalat itu dianggap remeh, maka tidak ada keinginan yang ditunjukkan oleh para anggota keluarga itu untuk berdoa. Seseorang harus memilih sebuah tempat di dalam rumahnya untuk melaksanakan amal kebaktian, ataupun bila mungkin, sebuah ruangan terpisah untuknya dan dengan berwudhu tanpa terburu-buru serta mengembangkan sajadah yang bersih dan mengiringinya dengan doa-doa kepada Allah. Imam Ali memulainya dengan : “Dengan nama Allah dan dengan pertolongan Allah. Ya Allah, tempatkanlah aku di antara orang-orang yang bertaubat. Tempatkanlah aku di antara orang-orang yang membersihkan diri mereka.”
Membersihkan tubuh merupakan pendahuluan untuk menyucikan jiwa, hal ini menyegarkan wajah dan demikian juga niat adalah untuk menyucikan jiwa, memberikan suatu aspek yang suci kepada seseorang. Imam Ali dalam berwudhu berdoa kepada Allah agar menerangi wajahnya pada Hari Kebangkitan di mana banyak wajah yang hitam disertai rasa malu dan dosa. Kemudian beliau mengucapkan doa ini pada saat membasuh tangan kanannya : “Ya Allah, letakkanlah catatan tentang perbuatan-perbuatanku di tangan kananku”, dan saat membasuh tangan kirinya, beliau berdoa : “Ya Allah, jangan berikan padaku catatan tentang perbuatan-perbuatanku pada tangan kiriku atau dari belakang pundakku. Aku berlindung kepada-Mu dari api neraka.”
Kemudian saat mengusap kepala dengan air beliau berkata, “Satukanlah aku ke dalam rahmat dan berkah-Mu.” Kemudian saat mengusap kaki dengan air, beliau berdoa : “Ya Allah, tunjukkanlah usahaku kepada jalan keridhaan-Mu.”
Wudhu seperti tadi yang diiringi dengan begitu banyak doa dengan nilai dan manfaat yang berbeda-beda di antara kita. Kita tidak boleh menganggap remeh dan mengabaikan semua ritus ini serta membatasi diri kita hanya kepada bagian-bagian yang wajib saja.
Marilah kita perhatikan bagaimana marja’ taqlid memfatwakan tentang masalah ini. Kita harus mengulang tasbih berikut tiga kali atau sekali saja [pada rakaat ketiga dan keempat] : “Subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallah wallahu akbar”. Suatu fatwa mengatakan, “[Tasbih al-arba’ah] sekali cukup, namun pengulangan yang kedua dan ketiga disunnahkan.” Atas dasar fatwa ini, haruskah kita membatasi diri untuk berzikir hanya sekali saja?
Demikian pula, berpuasa dianggap remeh. Saya katakan hal ini sebagai gurauan. Namun jika saya Tuhan, saya tidak akan menerima puasa-puasa seperti ini. Saya tahu beberapa orang yang begadang pada malam bulan Ramadhan, tidak untuk beribadah dan berdoa, tapi untuk minum-minum teh, merokok dan makan buah-buahan. Pada pagi harinya, mereka shalat dan langsung tidur. Beberapa dari mereka tidur seharian dan bangun menjelang maghrib, lalu shalat [zhuhur dan ashar] mereka kerjakan dengan tergesa-gesa sebelum terlambat dan bersiap-siap untuk puasa. Puasa macam apa ini? Ini adalah menganggap remeh puasa dan benar-benar merupakan suatu penghinaan terhadap puasa.
Sewaktu kita berhaji ke Mekah tetapi melaksanakan ritus-ritusnya dengan remeh sebagaimana dalam shalat dan puasa kita. Demikian pula azan kita anggap rendah. Dikatakan bahwa azan harus dilantunkan dengan merdu untuk menarik dan mengajak umat untuk melaksanakan shalat, sebagaimana Al-Quran juga harus dibaca dengan jelas, fasih, dan merdu. Ada orang-orang yang diberi suara yang bagus, namun jika Anda meminta untuk melantunkan azan, ia tidak mau dengan alasan gengsi dikenal sebagai seorang muazin. Padahal sesungguhnya menjadi muazin adalah suatu kehormatan. Imam Ali Kw sendiri melakukannya bahkan ketika beliau menjadi khalifah. Oleh karenanya, tidaklah mulia dalam mengabaikannya.
Kesimpulannya, tidak ada amal ibadah yang harus dianggap remeh. Kebaikan Islam berada dalam kelengkapannya, bukan dalam terserap oleh ibadah yang tidak tahu mengenai setiap kewajiban lainnya, dan tidak begitu jauh terlibat dalam masalah-masalah sosial untuk melupakan amal ibadah. Walaupun shalat itu untuk diri sendiri dan untuk mendekatkan diri kepada Allah, jika kita menganggap rendah ibadah, maka kita juga mengabaikan kewajiban yang lain. Ibadah itu pelaksana dan penjamin ajaran-ajaran Islam yang lain.
Semoga Allah menjadikan kita sebagai ahli-ahli ibadah yang benar, mengajari kita dengan kelengkapan Islam, menjadikan kita Muslimin yang ikhlas, memberkahi kita niat-niat suci, mengampuni dosa-dosa kita serta memberkahi keselamatan bagi orang-orang yang telah wafat.