Oleh : Syahid Murtadha Muthahhari
Kadang-kadang kita melihat pokok-pokok dalam interpretasi Islam kita yang berkenaan dengan ibadah menimbulkan berbagai persoalan di antara kita. Misalnya, memperbincangkan masalah shalat, apakah Nabi atau juga para Imam telah berkata “shalat adalah rukun agama”, atau jika kita memandang agama sebagai sebuah kemah : “shalat adalah tiang yang menjaganya berdiri.” Pernyataan ini juga dikutip dari hadis-hadis yang berhubungan dengan Nabi [yakni], “Syarat diterimanya amal-amal manusia yang lain adalah diterimanya shalat.” Dengan kata lain, amal baik manusia akan batal dan hampa jika shalatnya tidak benar dan dengan demikian tidak dapat diterima.
Hadis lain mengatakan bahwa “shalat itu pendekat diri setiap orang yang bertakwa kepada Allah.” Hadis lain mengatakan bahwa setan selalu gelisah terhadap orang yang beriman dan menjauhkan diri dari orang yang tekun dengan shalatnya. Al-Quran juga dalam banyak ayat menunjukkan tentang sangat pentingnya shalat.
Akan tetapi, kadang-kadang dinyatakan oleh beberapa orang bahwa semua hadis tentang shalat ini pasti palsu dan tidak dapat dipercaya serta tidak pernah diucapkan oleh Nabi dan para penggantinya. Melainkan hadis ini diucapkan oleh beberapa orang yang taat agar mendapatkan lagi para pengikut, terutama pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriah tatkala masalah ibadah terlalu berlebih-lebihan sehingga sedikit banyak mengarah kepada monastisisme dan sufisme.
Kita lihat beberapa orang memusatkan segala usaha mereka atas amal ibadah sampai ke taraf seperti ini. Namun mereka tidak tahu berbagai kewajiban religius lainnya. Misalnya, di antara sahabat Imam ‘Ali ada seorang sahabat yang bernama Rabi’ ibnu Husain, yang dikenal pula dengan nama Khajah Rabi’. Makam beliau ada di Masyhad. Dalam dunia Islam dia dikenal sebagai seorang sufi terkenal urutan kedelapan dan beliau sudah menggali kuburannya sendiri jauh-jauh hari sebelum beliau wafat (Diceritakan bahwa selama dua puluh tahun beliau tidak pernah bicara sepatah kata pun tentang masalah duniawi). Kadang-kadang beliau pergi mengunjungi kuburannya itu untuk mengingat dirinya bahwa kuburannya adalah rumahnya. Hanya satu-satunya pernah didengar yakni di saat mendengar syahidnya Imam Husain, beliau berkata, “Terkutuklah orang-orang yang membunuh keturunan Nabi.” Diceritakan bahwa sesudah itu beliau menyesal karena mengucapkan yang selain dari berdoa kepada Allah.
Beliau adalah pejuang pada masa Imam Ali dan suatu hari beliau mendatangi Imam Ali dan kemudian berkata bahwa mereka meragukan peperangan yang mereka lakukan, tampaknya tidak halal mereka memerangi orang-orang yang dalam shalat menghadapkan wajah mereka ke Mekah dan mengucapkan kalimah syahadah. Pada saat yang sama orang ini tidak ingin mengingkari Imam Ali, maka beliau mohon diberi perintah yang tidak membuatnya merasa ragu.
Imam setuju dan mengirimnya ke perbatasan sehingga bila berperang beliau akan berhadapan dengan orang-orang kafir dan musyrikin. Orang ini adalah sufi pada zamannya, tetapi nilai sufi dan ibadah yang bagaimana? Percuma menjadi pengikut seseorang seperti Imam Ali, dan pada saat yang sama ragu terhadap jalan yang ditunjukkannya dalam perang suci. Memang, kadang-kadang orang menggunakan ungkapan, “Mengapa seseorang harus menjalankan puasa didasarkan atas keraguan dan ketidakyakinan? Sia-sia.” Islam menghendaki wawasan yang dikombinasikan dengan praktik, tetapi Khajah Rabi’ tidak memiliki wawasan. Beliau hidup pada masa Muawiyah dan putranya, Yazid. Beliau tidak bisa berbuat apa-apa atas berbagai masalah sosial masyarakat Islam dan mempunyai kebiasaan hanya berdoa siang dan malam serta tidak berucap kecuali menyebut Nama Allah dan menyesali pernyataannya sendiri tentang kesyahidan Imam Husain.
Agaknya, hal ini tidak sesuai dengan ajaran Islam dan sebagaimana perkataan,“Seseorang tetap saja jahil baik pergi terlalu cepat atau terlalu lambat.” Beberapa orang berkata bahwa pernyataan, “shalat itu rukun agama”, tidak sesuai dengan ajaran Islam karena Islam lebih banyak memberikan perhatiannya kepada masalah-masalah sosial daripada masalah lainnya. Islam berkata, “Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (16 : 90). Dan “Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca agar manusia dapat melaksanakan keadilan.” (57 : 25). “Islam memerintahkan manusia untuk menyuruh orang lain kepada kebaikan dan melarang kejahatan.” (3 : 110).
Islam sebagai agama besar merupakan keyakinan aktivitas dan kerja. Jika masalah-masalah ini penting dalam Islam, maka amal ibadah dan kebaktian tidaklah begitu bermakna. Jadi, menurut orang-orang ini, orang harus mengikuti ajaran-ajaran sosial dan meninggalkan amal ritual dan shalat kepada orang-orang yang malas yang tidak punya tugas lain untuk dilaksanakan. Tetapi pemikiran-pemikiran semacam ini keliru dan sangat berbahaya. Islam haruslah dimengerti sebagaimana mestinya.
Sayang sekali, orang-orang yang memiliki semangat religius ada dua kelompok : kelompok yang satu mengikuti jalan Khajah Rabi’, yang menganggap Islam sebagai suatu keyakinan doa, zikir, ziarah, serta menyerahkan kitab-kitab standar agama tertentu untuk membimbing mereka. Tidak ada yang mereka perbuat atas dunia atau berbagai peraturan sosial serta berbagai prinsip Islam dan pendidikan.
Reaksi atas kelambanan kelompok ini memunculkan kelompok kedua yang berlalu terlalu cepat dan bergerak pada jalan yang keterlaluan. Mereka memberikan seluruh perhatiannya kepada masalah-masalah sosial sehingga cuma masalah ini yang berharga, namun mereka tidak mengenal amal-amal ibadah. Saya telah bertemu dengan orang-orang yang mampu berziarah ke Mekah, sebuah kewajiban yang dianggap sebagai masalah yang penting dalam Islam. Mereka tidak mengetahui doa-doa dan tidak menghiraukan perihal mengikuti pemimpin agama. Mereka menganggap masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah amal ibadah dapat dipecahkan sendiri tanpa memerlukan petunjuk dari orang lain. Jadi setiap orang dapat dianggap sebagai ahli agama atau faqih. Ada beberapa orang yang lalai dalam berpuasa dan tidak tahu tentang kondisi dalam keadaan di tempat menetap atau pada saat bepergian dan tidak percaya terhadap berbagai perubahan bagi penyisihan penunaian amal ibadah pada waktu dan tempat di saat yang tepat.
Kedua kelompok ini menganggap diri mereka sebagai Muslim tetapi tidak secara keseluruhan. Islam tidak setuju dengan pernyataan “Beriman kepada sebagian dan ingkar terhadap sebagian yang lain”. Islam tidak setuju dengan penerimaan ibadah yang berpasangan dengan penolakan moral dan berbagai masalah sosialnya, atau sebaliknya. Anda perhatikan, setiap Al-Quran mengatakan, “laksanakanlah shalatmu”, selalu diikuti dengan “bayarlah zakat”. Kewajiban pertama mengenai hubungan antara makhluk dengan Tuhannya, dan kewajiban kedua menunjukkan hubungan antara makhluk dengan makhluk lainnya. Jadi seorang Muslim memiliki dua tanggung jawab : terhadap Allah dan terhadap umat manusia serta kepada masyarakatnya secara permanen. Masyarakat Islam tidak dapat dibangun tanpa beribadah dan berdoa kepada Allah serta shalat dan berpuasa. Demikian pula, tidak akan ada masyarakat yang saleh tanpa menyuruh kepada kebaikan dan melarang kemungkaran serta tanpa hubungan-hubungan yang baik antar individu, sekalipun seseorang mungkin saleh secara individu. (Bersambung………)