Perspektif

Menjadi Pecinta Imam Husain (1)

Oleh : Mohammad Jawodiy Khomeini

Tulisan ini diinspirasi dari peristiwa yang paling tragis sepanjang sejarah umat manusia, yang terjadi pada 1372 tahun yang silam di sebuah tanah tandus yang bernama Karbala. Kala itu suara kebenaran nyaris tak terdengar. Musuh telah terlalu kuat mengusung kebatilan, hingga semangat jihad hampir mati. Adalah Al-Husain cucu Rasulullah SAW yang mewarisi semangat jihad ayah dan kakeknya. Beliau berdiri tegak di antara  orang yang takut melawan kebatilan. Beliau percaya bahwa diam melihat kezaliman adalah termasuk kezaliman itu sendiri. Lewat ruang sederhana ini kita ingin merefleksikan  rasa kecintaan kita sebagai bagian dari usaha untuk menjalin silaturrahmi ruhaniah dengan Pemimpin Orang-Orang Merdeka dan Penghulu bagi para Syuhada Al-Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib. Karena kecintaan tidak bisa lahir seketika tanpa ada keinginan untuk menghidupkannya, maka harus ada upaya dan langkah-langkah ke arah tersebut untuk membuktikan kecintaan kita. Lantas siapa Imam Husain yang mesti dicintai? Mengapa mesti dengan kecintaan? Dan apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pecinta? Inilah beberapa hal yang akan kita bahas dalam uraian sederhana ini.

Tahukah Siapa Imam Husain?

 

Allah SWT berfirman dalam Al-Quran, “Katakanlah (olehmu Muhammad): Aku tidak meminta upah dari kalian kecuali kecintaan kalian kepada keluargaku.” (QS. Asy-Syura [42] : 23). Rasulullah SAW bersabda, “Cintailah Allah atas limpahan nikmat-Nya kepadamu, cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah dan cintailah Ahlul Baitku karena kecintaanmu kepadaku.”Tentang Ahlul Baitnya, Rasulullah SAW bersabda, “Aku tinggalkan bagi kalian dua pusaka yang kalian tidak sesat selama kalian berpegang teguh kepadanya Al-Quran dan keluargaku.”Adapun mengenai Al-Hasan dan Al-Husain, kedua cucunya yang tercinta, Nabi bersabda, “Ya Allah, aku mencintai keduanya,  cintailah orang yang mencintai keduanya.” Dalam kesempatan lain Nabi SAW bersabda, “Sungguh Hasan dan Husain adalah dua penghulu pemuda surga.”

Nabi kita Muhammad SAW juga bersabda tentang Husain, “Husain bagian dariku dan aku bagian dari Husain”, “Sungguh Husain adalah pelita kebenaran dan bahtera keselamatan.” Bukankah Husain termasuk dalam golongan Ahlul Bait Nabi yang disebutkan berkali-kali dalam Al-Quran, dan bahkan dalam salah satu sabdanya Nabi berkata, “Ana silmun liman salamtum, wa harbun liman harabtum”, bahwa aku akan damai dengan siapapun yang berdamai dengan kalian dan juga akan perang dengan siapapun yang perang dengan kalian. Bukankah Husain adalah orang yang disabdakan Nabi, “Man ahabbani wa ahabba hadhaim wa abahuma wa ummahuma kana ma’i fil jannah”, bahwa siapa yang cinta kepadaku dan cinta kepada kedua orang ini (Hasan dan Husain) serta kedua ayah dan ibunya maka dia akan bersamakau di surga.

Kutipan di atas, mengantar kita untuk mengenali lebih jauh tentang Ahlul Bait Nabi. Merekalah pusaka Nabi Muhammad SAW bagi umatnya. Di antara Ahlul Bait Nabi itu adalah Imam Husain. Ia dilahirkan pada tanggal 3 Sya’ban di kota Madinah. Pada usia yang masih sangat muda beliau menyaksikan bagaimana jasad Rasulullah SAW dibaringkan di Masjid Nabawi. Beliau melihat dunia Islam menguasai separuh bumi. Ia pandangi istana megah yang berdiri atas nama Islam. Beliau kritik sikap pongah yang ditampakkan oleh para penguasa yang memeras keringat rakyatnya. Bahkan ketika para penguasa itu melaknat dan mengkhianati Ahlul Bait Rasulullah yang suci, Imam Husain tetap gigih menegakkan kalimat Allah SWT dan meneruskan perjuangan kakeknya Rasulullah SAW untuk mencintai mustadhafin. Beliau relakan dirinya dianiaya oleh para penguasa yang zalim demi tegaknya kebenaran.

Dan sebelum menjemput syahadahnya di Karbala, Imam Husain menegaskan kembali siapa dirinya dan sekaligus menjelaskan misi perjuangan yang diembannya, Imam Husain berkata :“Ayyuhannas, dengarlah kata-kataku dan janganlah kalian terburu-buru ingin memerangiku, hingga aku bisa memberi kalian nasehat yang mana kalian berhak mendengarnya. Lihatlah siapa diriku dan diri kalian. Sadarlah dan perhatikan baik-baik kedudukan aku di sisi kalian.  Apakah kalian boleh membunuhku dan menginjak-injak keluargaku. Bukankah aku adalah putra dari putri Nabi kalian dan putra washynya yang merupakan orang pertama yang beriman kepada Nabi Muhammad Saww? Bukankah Sayyidina Hamzah penghulu para syuhada adalah pamanku? Bukankah Ja’far at-Thayyar yang memiliki dua sayap di surga adalah pamanku? Bukankah kalian pernah mendengar sabda Nabi tentangku dan saudaraku Hasan bahwa kami adalah penghulu pemuda surga?” “Demi Allah. Aku tidak keluar ke Karbala ini dengan keangkuhan dan mencari permusuhan. Sungguh aku keluar ke sini untuk mencari ishlah demi kepentingan umat datukku Muhammad SAW. Aku ingin menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Aku ingin berjalan di jalannya datukku Muhammad dan ayahku Ali al-Murtadha….”

Imam Husain juga  menjelaskan perjuangannya menentang kezaliman Yazid dan kemungkaran-kemungkaran yang dilakukannya : “Kami adalah keluarga Nabi. Tambang Risalah. Tempat kunjungan para malaikat dan pusat rahmat Ilahi. Karena kamilah maka Allah membuka dan mengakhiri segala sesuatu. Sementara Yazid adalah seorang yang fasik, peminum arak, pembunuh nyawa yang tak berdosa dan terang-terangan melanggar perintah Allah. Orang seumpamaku takkan mungkin akan memberinya ba’iat.” Dalam pandangan Imam Husain, keluarga Nabi yang suci yang merupakan kriteria kebenaran, tidak boleh dicampuradukkan dengan kebatilan yang dibawa oleh Yazid. Islam Muhammadi harus dipisahkan dengan Islam Umawi.

Makna Kecintaan dan Pengaruhnya

Dalam buku “MegaTragedi” karangan Syekh ibn Al-Ra’is Kermani disebutkan bahwa ada  lima macam cinta :

  1. Cinta yang bersumber dari hawa nafsu. Cinta jenis ini bersandar kepada kecenderungan seksual dan kecantikan, dan sangat tidak bernilai.
  2. Cinta yang muncul dari naluri, seperti cinta seekor binatang kepada kerabatnya. Cinta jenis ini lebih baik dari jenis cinta yang pertama, namun masih bersifat materi.
  3. Cinta yang timbul dari hati dan bersemayam dalam hati. Mungkin, maqam cinta dan ikatan-ikatan yang bersifat spiritual termasuk jenis ini.
  4. Cinta yang tumbuh dari Iman. Ini jenis cinta yang sangat berharga.
  5. Cinta yang bersumber dari maqam wilayah dan terkait dengannya. Seperti cinta Rasulullah SAW dan Imam Husain. Rasulullah SAW tahu bahwa Imam Husain akan mengorbankan dirinya untuk menyebarluaskan agamanya.

Apa sesungguhnya defenisi cinta itu? Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Madarij al-Salikinmenyebutkan bahwa “Cinta tidak dapat digambarkan atau didefinisikan lebih jelas kecuali dengan cinta lagi. Defenisi cinta adalah wujud cinta itu sendiri.” Jadi cinta melahirkan cinta. Mengapa cinta begitu penting? Karena cinta adalah tujuan tertinggi dari penciptaan alam. Alam semesta berdiri di atas dasar cinta.

Lalu bagaimana pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh cinta atau kecintaan itu dalam membentuk perilaku kita? Berkenaan dengan hal tersebut, Jalaluddin Rakhmat dalam “Rindu Rasul” mengutip Herbert C. Kelman, seorang psikolog sosial, menyebutkan bahwa ada tiga macam pengaruh dari seseorang kepada orang lain. Pertama, ketundukan. Ini pengaruh yang paling dangkal. Orang patuh kepada seseorang karena kuatir kehilangan sesuatu yang menguntungkan atau mengundang sesuatu yang merugikan. Kedua, internalisasi. Pengaruh ini lebih dalam dari yang sebelumnya. Orang mengikuti seseorang karena ia yakin orang itu benar. Biasanya hal ini didasarkan pada otoritas atau keahlian. Ketiga, identifikasi. Seseorang meneladani orang lain karena mereka membentuk identitas dirinya dengan menisbahkannya atau menyandarkannya kepada orang tersebut. Dalam identifikasi, setiap orang berusaha untuk ingin seperti atau betul-betul menjadi orang lain itu. Anak kecil yang meniru orang tuanya, murid yang mencontoh perilaku gurunya atau fans yang mengambil tingkah laku idolanya adalah contoh-contoh identifikasi. Bagaimana identifikasi terjadi? Karena cinta. Inilah makna ucapan Nabi SAW : Anta ma’a man ahbabta. Kita akan selalu bersama orang yang kita cintai.

Dalam “Al-Mahabbah wa Rahmah” Habibullah Farakhzad menguraikan makna cinta serta pengaruh yang dapat ditimbulkannya, antara lain :

  • Cinta sebagai Dasar Hukum Allah SWT

Dengan memperhatikan ayat-ayat Quran dan hadis, dapat disimpulkan bahwa seluruh hukum yang dikeluarkan berdasarkan atas cinta. Segala sesuatu yang dapat mempererat cinta maka hukum yang keluar adalah wajib atau mustahab. Shalat kita adalah hubungan kita dengan Allah SWT, yang menciptakan kecintaan di antara Allah dengan makhluk-Nya. Puasa mendatangkan kedekatan dan kemesraan di antara hamba dengan Tuhannya. Begitu pula dengan seluruh ibadah yang lain. Adapun segala sesuatu yang memperlemah atau melenyapkan hubungan cinta di antara Allah dengan makhluk-Nya maka berlaku haram atau makruh. Demikian pula kaitannya dengan hubungan di antara makhluk. Segala sesuatu yang dapat melenyapkan hubungan cinta di antara makhluk, seperti memutuskan hubungan silaturrahim, durhaka kepada kedua orang tua adalah dosa dan haram. Sebaliknya hal-hal yang dapat mempererat hubungan cinta di antara makhluk, semuanya diperintahkan atau wajib, seperti menjalin silaturrahmi, berbuat baik, memberikan hadiah, menunjukkan rasa cinta, dan sebagainya.

  • Cinta Merubah Substansi Wujud

Pernahkah sampai kepada kita, kisah tentang anjing Ashabul Kahfi: Suatu hari, anjingAshabul Kahfi yang selalu mengikuti manusia itu pun berubah menjadi manusia. Karena anjing itu mencintai manusia-manusia Ilahi maka esensinya pun berubah menjadi manusia dan ikut masuk ke dalam surga. Unta Imam Ali as-Sajjad akan dibangkitkan bersama Imam Sajjad di surga. Karena sang unta mencintai Imam Sajjad dan Imam mencintainya. Banyak riwayat yang berbicara tentang cinta yang dapat mengubah substansi sesuatu.

Dalam riwayat disebutkan tentang sebuah pohon kering di area Masjid Nabi Muhammad SAW. Seringkali Nabi SAW bersandar pada pohon kering itu ketika sedang berbincang dengan sahabatnya. Seorang ibu atas dasar kasih menawarkan kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, anak saya seorang tukang kayu. Izinkan dia membuatkan mimbar tiga anak tangga bagi Anda.” Ia pun membuatkan mimbar. Rasulullah SAW pun tak lagi bersandar pada pohon kering itu, karena memilih duduk di atas mimbar. Kemudian terdengar rintihan yang menyayat hati dari pohon kering itu, persis seorang ibu yang ditinggal mati anaknya. Penyair berkata,“Pohon kering merintih karena ditinggalkan Rasulullah SAW, seperti orang yang mempunyai akal.” Imam Ja’far Shadiq berkata, “Mendengar itu Rasulullah SAW turun dari mimbar lalu memeluk pohon kering itu, mengusap dan menghiburnya. Andai saja Rasulullah SAW tidak melakukan itu maka hingga hari kiamat pohon itu akan terus merintih, dan rintihannya terdengar oleh manusia.” Penyair berkata, “Cahaya Musthafa menghibur pohon kering yang merintih, kalian tidak lebih rendah dari kayu, karena itu merintihlah….merintihlah.”

  • Cinta Menciptakan Kesamaan

Apa yang menyamakan di antara Rasulullah SAW dan Tsauban, budak beliau? Rasulullah SAW berada pada derajat tertinggi sedang dia seorang budak. Tidak ada kesamaan di antara keduanya. Namun cintalah yang kemudian menciptakan persamaan pada mereka. Tsauban sangat mencintai Rasulullah SAW. Suatu hari Rasulullah SAW melihat wajah Tsauban pucat pasi. Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Ada apa?” Tsauban menjawab, “Saya sedih saat memikirkan bahwa saya akan berpisah dari Anda. Kalau pun saya berada di surga, tentu Anda berada di surga derajat tertinggi sedangkan saya berada di surga derajat bawah. Pikiran ini selalu mengganggu saya.”

Cinta Tsauban kepada Rasulullah membuat Jibril turun membawa ayat terbaik ini: “Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad) maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”(QS. An-Nisa [4] : 69)

Zaid bin Haritsah adalah seorang budak yang dibeli dan diasuh Rasulullah SAW. Beliau sangat menyukainya hingga memberinya nama Zaid Al-Hubb yang termaktub dalam Al-Quran surah Al-Ahzab ayat 37. Tanpa wudhu seseorang tidak boleh menyentuh namanya yang disebut di dalam Al-Quran. Tidak ada hubungan keluarga sama sekali antara Zaid dengan Rasulullah SAW kecuali kecintaan di antara mereka. Cinta inilah yang telah menciptakan kesamaan di antara mereka. Karena itu, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang mencintaiku maka dia akan bersamaku di surga.”

Dalam hadis dikatakan, Rasulullah SAW memegang tangan Hasan dan Husain (salam atas mereka) lalu bersabda: “Siapa yang mencintai dua anak ini, serta bapak dan ibunya maka pada hari kiamat dia akan berada satu derajat denganku di surga.”

  • Cinta adalah Poros Kesatuan

Bila cinta dan kesatuan telah berlaku di antara anak manusia, dan mereka telah dapat merasakan manisnya cinta, maka hati dan tujuan mereka akan menjadi satu. Jika dua hati sudah menyatu maka yang ketiga adalah Allah. Dengan begitu seluruh kebaikan ada di sana. Dan bagi para pemilik hati yang menyatu, keadaan itu berarti surga. Dan surga adalah tempat di mana tidak ada sama sekali kotoran danm perselisihan. Tuhan-tuhan yang lain menyingkir dan yang ada hanya Allah. Ucapan la ilaha illallah berarti tujuan hanya satu. Imam Khomeini berkata, “Jika seratus dua puluh empat nabi semuanya berkumpul dalam satu tempat, niscaya mereka tidak akan berselisih. Karena tujuan mereka satu, meskipun horizon masing-masing berbeda.” Yang satu adalah nabi untuk daerahnya sendiri, yang lain lagi merupakan ulul azmi, dan satunya lagi seperti Nabi kita Muhammad SAW, yang diutus untuk seluruh manusia, bahkan untuk seluruh makhluk. (Bersambung….)

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: