Salah satu makna diturunkannya syariat pada umat manusia adalah dalam rangka mencapai serta menuju hakikat kesempurnaan. Allah Yang Mahasuci asma-Nya menetapkan bagi manusia yang fakir, jalan untuk sampai kepada-Nya melalui utusan lahiriahnya, yaitu nabi, dan hujjah batin berupa akal. Ketika Tuhan memerintahkan untuk menunaikan peribadatan yang sebenarnya, maka mustahil Dia tidak menentukan perintah dan larangan yang dengannya bisa diketahui jalan yang mengantarkan kepada-Nya.
Peribadatan atau ubudiyyah adalah kata yang menunjukkan hubungan antara hamba dengan Tuhan. Ia adalah jalan yang dilalui manusia untuk bertemu dengan Sang Khaliq. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surah Al-Insyiqaq ayat 6, “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” Oleh karena itu, apabila manusia dengan pilihannya sendiri, berpindah ke maqam hamba dan berjalan dengan kehendaknya sendiri menuju Tuhan semata, maka ia telah menunaikan hakikat peribadatan. Hal ini hanya dapat diperoleh jika memperhatikan dua hal utama sebagai berikut : Pertama, perbuatan atau amalan yang dilakukan hanya merupakan sesuatu yang bersumber dari Tuhan semata. Kedua, perbuatan itu dilaksanakan sebagai bentuk ketundukan dan kepatuhan.
Namun peribadatan yang dikerjakan sepatutnya tidak hanya diperoleh dengan berpegang pada perintah Ilahi dalam taraf lahiriah, melainkan hendaklah meliputi juga seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan begitu, badan, akal dan hati, seluruhnya hendaknya diperjalankan pada jalan ini dengan menyerahkan pengaturannya pada kekuasaan al-Haq seraya tunduk kepada Pemilik rahmat dalam segala perbuatannya. Oleh sebab itu, sebagai makhluk ciptaan-Nya, kita mesti pasrah total atas seluruh perintah dari-Nya dan melaksanakannya dengan penuh keikhlasan. Wallahu a’lam bisshawab.
Wassalam