Pembaca budiman,
“Hendaklah kalian berakhlak mulia, karena sesungguhnya Tuhanku mengutusku untuk itu.” Begitulah sebuah ungkapan Rasulullah SAW. Atau dalam ucapan senada yang lebih populer, “Sesungguhnya aku diutus ke muka bumi ini dalam rangka menyempurnakan akhlak manusia.” Menyempurnakan akhlak berarti menyempurnakan ‘diri’(nafs) atau jiwa manusia. Dan itu artinya, menyangkut dimensi terdalam pada setiap manusia. Akhlak atau khuluq, bukanlah aspek yang sifatnya lahiriah atau eksternal. Akan tetapi ia merupakan aspek internal dan batiniah seseorang. Oleh karena itu, bila pada bentuk lahiriah, manusia secara terpaksa (ijbari) menerima apa adanya bentuk tubuh dan fisiknya. Maka, pada bentuk batiniahnya, ia masih bisa mengalami perubahan. Sebab, pada aspek ini bersifat ikhtiyari atau pilihan.
Karena itu, bagaimana bentuk dari batiniah seseorang, akan sangat tergantung dengan usaha orang tersebut. Itu sebabnya, ilmu akhlak bukan hanya ilmu yang berkenaan dengan bagaimana manusia harus hidup, melainkan juga ilmu yang berkenaan dengan bagaimana manusia harus terbentuk. Manusia di dunia ini bukanlah wujud yang sudah pasti. Melainkan dia sendiri yang akan membentuk dirinya untuk masa depannya. Apakah akan menjadi manusia yang kedudukannya lebih tinggi atau akan berubah menjadi binatang dalam bermacam-macam bentuknya. Rasulullah SAW bersabda, “Pada hari kiamat manusia akan dibangkitkan dalam berbagai rupa yang lebih jelek dari rupa kera dan babi.” Atau ungkapan senada itu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata, “Wajah mereka seperti wajah manusia, namun hati mereka adalah hati binatang. Mereka laksana bangkai-bangkai yang ada di tengah-tengah orang yang hidup.” Oleh sebab itu, masalah-masalah akhlak tidak dapat dianggap remeh dan tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting. Justru ia merupakan suatu hal yang amat penting dan menentukan yang akan membentuk kehidupan batin manusia.
Berkaitan dengan pentingnya hal ini, Allah SWT berfirman dalam Surah Asy-Syams ayat 9-10, “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” Ayat ini menegaskan bahwa manusia mampu menumbuhkan dan menyempurnakan jiwanya melalui pencarian akhlak yang baik. Al-Quran Al-Karim, ketika mengajak manusia pada akhlak yang baik, tentulah membekali dengan berbagai perangkat atau fasilitas yang memungkinkannya mencari dan mencapai akhlak tersebut. Untuk usaha tersebut, Allah SWT membekali manusia dengan dua hujjah. Pertama, hujjah batiniah, berupa akal yang tersembunyi atau fitrah yang ada bersama manusia sejak awal penciptaannya. Kedua, hujjah lahiriah, berupa pengutusan para Rasul, Nabi, Imam serta juga para wali-wali Allah. “Rasul-Rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus. Allah Mahaperkasa Mahabijaksana.” (QS. An-Nisa : 165)
Semoga dengan syariat Ilahi yang dibawa oleh Nabi terakhir, Muhammad SAW dapat mengantarkan kita pada kesempurnaan dan kebahagiaan serta mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Allah SWT Rabbul Alamin. Selamat membaca.
Wassalam