Oleh : Ali Syariati
Revolusi Ilahi yang dilakukan oleh para nabi sepanjang sejarah dapat dikelompokkan berdasarkan nilai-nilai yang dikandung oleh agama tersebut. Padanya mereka berada dalam sebuah lapisan masyarakat menyaksikan kelahiran mereka lahir darinya dan mewadahi hubungan serta pergaulan sosial mereka, ataupun bentuk dan haluan dakwah yang mereka lakukan.
Secara umum, founding fathers perubahan besar dunia dapat diklasifikasikan kepada dua kelompok :
Kelompok Pertama, ialah kelompok yang dipelopori oleh Nabi Ibrahim as. begitu juga para nabi yang datang setelah beliau, sebagaimana yang telah kita kenal mengingat akrabnya sejarah mereka dengan kita. Mereka semua adalah para nabi yang lahir dari lapisan bawah masyarakat mereka. Sesuai sabda Nabi kita SAW, bahwa mayoritas mereka itu adalah pengembala kambing. Pun sejarah mencatat bahwa pekerjaan mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan keseharian mereka, kecuali sebagian kecil dari mereka.
Kelompok Kedua, yaitu kelompok yang diprakarsai oleh mereka yang memiliki kelas sosial yang berbeda jauh dengan kelompok pertama. Mereka adalah jiwa-jiwa revolusioner dan para penggagas aliran pemikiran dan etika, baik dari yang (berkulit) kuning seperti: Cina, Iran, Yunani atau selain mereka yang tidak termasuk dalam agama Ibrahimian. Mereka secara keseluruhan tanpa terkecuali muncul dari lapisan atas masyarakat; putra para raja, darah biru, rohaniawan dan saudagar kaya, dari jalur ibu, ayah, ataupun dari kedua-duanya. Begitu pula kaitannya dengan Konfusius, Lautze, Zoroaster, Maniy, Muzdak, Socrates, Plato dan Aristoteles.
Menelaah lapisan masyarakat dalam sejarah memberikan catatan kepada kita bahwa di dalam masyarakat primitif, para raja, saudagar dan rohaniawan membagi-bagi kekuasaan politik, ekonomi dan kepercayaan di lingkungan mereka, baik dalam situasi damai maupun tegang. Sementara itu, rakyat biasalah yang malah menampung (limbah busuk) kedamaian dan ketegangan mereka. Sekali lagi, lapisan bawah ini sama sekali tidak mendapatkan keuntungan di tengah persatuan ataupun perseteruan mereka.
Ketika Al-Quran menyebutkan kata al- Ummiyyin seperti dalam ayat: “Dialah yang mengutus di antara orang-orang yang ummi seorang rasul…”(QS. Al-Jumu’ah : 2), kata tersebut menunjuk lapisan bawah dan rakyat jelata. Sedangkan rasul yang dimaksud adalah rasul Ibrahimian. Artinya, utusan Allah ini ialah manusia biasa bukan seorang raja. Ia layaknya kebanyakan manusia yang hidup dalam kesusahan, bukan dari kelompok elit masyarakat.
Di tempat lain, Al-Quran menerangkan: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan dengan bahasa kaumnya. Hal itu untuk menerangkan kepada mereka, maka Allah menyesatkan siapa yang Ia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Ia kehendaki. Dan Dialah Allah Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana.”(QS. Ibrahim : 4). Ayat ini tidak dalam rangka menerangkan bahwa Nabi Musa as. berbicara dengan bahasa Ibrani (Hebrew), dan bahwa Nabi Muhammad SAW itu berbicara dengan bahasa Arab sebagai dipahami oleh umumnya umat Islam. Kenyataan inilah yang tidak perlu lagi penjelasan, bahwa nabi yang diutus kepada bangsa Arab tidak akan berbicara dengan bahasa Mandarin atau Latin. ‘Bahasa kaum’ yang dimaksudkan di sini yaitu bahasa lapisan (masyarakat) yang di dalamnya seorang nabi dilahirkan. Yakni bahasa yang dapat mengungkapkan kesulitan dan harapan mereka. Dan, ‘berbicara dengan bahasa mereka’ artinya menolak bahasa kalangan intelektual yang hidup dahulu itu ataupun pada hari ini, dimana mereka berbicara dengan bahasa elit yang tidak lagi dimengerti oleh mayoritas bangsa.
Poin yang bisa kita tarik dari uraian di atas ialah bahwa membahas para nabi Ibrahimian berarti membahas mayoritas manusia, terlihat adanya perbedaan yang mencolok antara kehadiran mereka dengan kehadiran selain mereka. Sementara yang belakangan ini mengerahkan kekuatan dalam menyebarluaskan keyakinan dan maksud mereka, para nabi itu mengandalkan basis rakyat umum dalam menghadapi kekuatan lawan. Tampak bagaimana Nabi Ibrahim as. bangkit dengan tongkat di tangannya. Atau Nabi Musa as. yang memasuki istana kebesaran Firaun dengan tongkatnya, sampai beliau berhasil menenggelamkannya bersama bala tentaranya di sungai Nil, sama berhasilnya pula dalam membenamkan Qarun dan harta kekayaannya ke dalam tanah. Dan yang terakhir ialah Nabi Muhammad SAW sebagai barisan mutakhir yang hidup yatim dan serba sederhana, namun beliau berhasil menyusun berbagai pasukan jihad. Sejarah mencatat, hampir setiap lima puluh hari terjadi peperangan yang jumlahnya mencapai enam puluh lima kali pertempuran dalam waktu tidak lebih dari sepuluh tahun. Itulah mukjizat para nabi. Sebuah mukjizat yang relevan dengan misi mereka masing-masing.
Muhammad Sebagai Harapan Kaum Lemah
Sebuah kenyataan yang mau tidak mau kita akui bahwa ada satu agama sepanjang sejarah yang tidak kekurangan relevansinya dengan perkembangan zaman, kondisi dan lingkungan. Itulah Islam. Al-Quran telah menekankan keunggulan fenomenal ini dan menggambarkannya sebagai pandangan historis yang komprehensif dan mencakup seluruh gerakan perubahan yang akan selalu berbenturan dengan kesyirikan dan orang-orang kuat dunia dalam rangka membela para dhuafa. Al-Quran mengangkat semua benturan itu sebagai sebuah peperangan di sepanjang zaman dan di belahan bumi manapun.
Sebagian ayat menjelaskan pandangan sejarah Al-Quran secara gamblang, bahwa ia menganggap semua peperangan ini merupakan sebuah garis silsilah yang saling terkait utuh. “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan oleh Allah dari Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang murah, mereka tidak makan di dalam perut mereka kecuali api neraka dan di hari kiamat nanti Allah tidak akan mengajak mereka berbicara serta tidak akan mensucikan mereka, namun bagi mereka siksa yang pedih.”(QS. Al-Baqarah : 174).
Ada tiga hal yang kita temukan dari ayat di atas ini yang saling bertalian erat :
- Ayat-ayat Allah
- Para nabi
- Orang-orang yang menyerukan keadilan
Ayat tersebut menimbang mereka yang mengingkari ayat-ayat Allah sama dengan pembunuh para nabi dan para penegak keadilan. Sesuai ayat tersebut, hukum pengingkaran dan pembunuhan itu sama. Inilah konsep sosial, filsafat sejarah kemanusiaan dan makna seluruh revolusi sepanjang sejarah, sebagaimana diterangkan Al-Quran.
Nabi kita Muhammad SAW, adalah nabi terakhir agama ini. Melalui para nabi, agama ini mengajarkan kepada manusia butir-butir kebijakan, wahyu dan keadilan. Al-Quran menjelaskan bahwa mereka mengembang satu misi (risalah), yang obornya berpindah utuh dari satu nabi ke nabi yang lain, dari satu rasul ke rasul lainnya. Sampai saatnya datang guru penutup para nabi yang telah berjuang untuk membebaskan manusia dari perbudakan sambil mengajak mereka menyembah dan menghamba pada Tuhan yang satu. Dia sanggup merealisasikan konsep kemanusiaan yang komprehensif yang muncul dari kesatuan sejarah kemanusiaan di dalam gerakan perubahannya yang besar. Dia telah mempersembahkan persatuan kepada seluruh bangsa dan etnis dengan berbagai warna kulit, darah dan status atau kelas sosial yang berbeda-beda serta aneka cara pandang. Beliau telah berhasil memporakporandakan kesyirikan yang merupakan sumber berbagai perpecahan.
Sesungguhnya kalimat Tauhid dalam Islam merupakan slogan pembebasan. Sebelum nabi kita Muhammad SAW menyampaikan kalimat ini kepada para filsuf, intelektual, orator, terpelajar dan orang-orang kaya, beliau telah menyampaikannya kepada para hamba sahaya, orang-orang mustadhafin (lemah) yang hidup dalam penderitaan, penyiksaan, kelaparan di tengah lapisan bawah masyarakat Mekkah. Sementara itu, para kalangan elit di sana senantiasa mencemooh beliau dengan mengatakan, bahwa para pengikut Muhammad tidak lain adalah orang rendahan. Padahal, cemoohan itulah yang menjadi syahadah (kesaksian) terbesar yang dapat mengharumkan nama Islam dan misi perubahannya.
Muhammad SAW telah hadir dari orang-orang yang lemah untuk orang-orang yang lemah, pada saat tokoh-tokoh Budha di India dan Cina tampil sebagai golongan elit di tengah masyarakat mereka. Pada hari inilah nilai-nilai kemanusiaan berbaur bersama Islam. Nabi kita Muhammad SAW, sang Rasul Islam, telah menjadi harapan besar para hamba sahaya di saat mereka berpikiran bahwa perbudakan adalah takdir abadi, di saat mereka hanya tahu bahwa mereka selamanya akan berada di bawah eksploitasi politik, budaya, ideologi serta militer para penguasa. Muhammad adalah manusia harapan yang dinantikan oleh kaum jelata yang hidup untuk harus dikalahkan, tunduk dan selalu patuh mengabdi pada mereka. Muhammad SAW merupakan sosok perwujudan janji bagi kaum yang lemah, yang terlanjur menganggap bahwa Tuhan, sebagai musuh para penguasa, telah menakdirkan mereka sebagai budak dungu yang harus melayani kepentingan orang yang kuat.
Tidak akan jauh berbeda sekiranya kita memulai singgungan dari keyakinan orang yang kuat. Ketika Manie berbicara tentang peta “Kegelapan dan Cahaya”, ia menempatkan orang-orang miskin dan lemah itu di gerbong “Kegelapan”, sementara kekuatan zalim yang menang didudukkan di kelas “Cahaya”.
Dalam pada itu, apa yang bisa kita simak dari tanggapan para pemikir non Ibrahimian? Aristoteles dan Plato pernah mengatakan bahwa Allah telah menciptakan alam semesta ini ke dalam dua golongan, golongan hamba sahaya dan golongan tuan, yakni orang yang merdeka. Golongan tuan ini mesti adanya guna membangun peradaban yang diwujudkan dalam bentuk seni, musik dan sastra, sedangkan keberadaan golongan budak berfungsi untuk dapat mengabdikan dirinya dalam rangka melayani golongan tuan dengan melakukan tugas-tugas yang hina.
Adapun Muhammad bin Abdullah SAW telah mendeklarasikan bahwa semua manusia itu satu, satu jenis, satu keluarga dan satu makhluk dari Tuhan yang satu. Berdasarkan prinsip kesamaan inilah beliau membangun masyarakat baru yang berlandaskan pada ideologi yang kuat dan konsep pembangunan ekonomi serta sosial yang kokoh. Oleh karena itu, bukanlah hal yang aneh jika masyarakat Madinah telah mengembalikan Bilal – seorang budak – pada posisi dan kedudukannya sebagai manusia yang mulia. Begitu pula Salim, budak Hudzaifah, tidaklah membuat orang Arab dan Yahudi kebingungan tatkala ia menjadi imam shalat mereka di masjid Quba, padahal dia terkenal di kalangan bangsawan Quraisy sebagai budak yang sangat hina. Ketinggian derajat kemanusiaan dan kemuliaan Bilal sungguh telah diakui oleh para elit dan tokoh Arab, sebagaimana Salim yang paling hina di tengah mereka itu telah dikedepankan sebagai imam para pembesar itu dalam pelaksanaan ibadah dan sujud di hadapan Allah Yang Maha Besar.
Ini semua merupakan revolusi besar dalam meletakkan arti kemuliaan dan kepemimpinan di tengah masyarakat. Rasulullah pun menyuruh mereka untuk memendekkan jenggot yang panjang dan pakaian yang panjang, karena demikian itu menandakan kesombongan. Namun sebaliknya, beliau mengajarkan agar setiap orang berjalan di atas muka bumi dalam keadaan penuh ketenangan dan kerendahan hati. “Jika salah seorang di antara kalian sedang mengendarai, maka hendaklah mengajak saudara seagama untuk naik di belakangnya”, begitu titah Nabi.
Lebih dari itu, Rasulullah SAW tidak kurangnya memberikan ketauladanan praktis, sampai menjadikan keledai biasa sebagai tunggangannya, dengan maksud menghilangkan image yang masih mengakar di benak setiap sahabatnya bahwa kemuliaan itu ditentukan dengan kendaraan yang indah dan mewah. Beliau pun senantiasa menanamkan persamaan di antara para sahabatnya. Jika ada di antara mereka yang merasa ketakutan melihat kebesaran dan kewibawaan status kerasulan Muhammad SAW, segera beliau meyakinkannya: “Tenangkan dirimu! Karena sesungguhnya aku tidak lain adalah anak seorang perempuan yang makan daging cincang.”
Inilah garis haluan perjuangan Islam yang dijejaki sang cucu Al-Husain setelah kepergian sang kakek Muhammad SAW. Inilah misi Islam yang dibawa oleh para Nabi, yang mayoritas mereka adalah pengembala. Dan, inilah Islam yang dibawa oleh rasul terakhir yang lahir di tengah padang pasir yang tandus, untuk kemudian berhadapan dengan pusat-pusat kekayaan dan kekuasaan dunia, sebelum akhirnya meluluhlantakkan mereka.