Prinsip-Prinsip Universal diantara Para Nabi (1)
- Manusia Pilihan Ilahi
Para nabi merupakan manusia-manusia pilihan Ilahi. Mereka adalah manusia terbaik diantara manusia karena mereka telah sampai pada maqam risalah dan nubuwwah. Manusia yang di dalam hatinya tersucikan dari segala bentuk kemusyrikan dan durhaka, mampu untuk meraih maqam yang tinggi yaitu maqam risalah dan nubuwwah sehingga mereka terpilih dengan maqam tersebut. Allah SWT mengetahui siapa diantara manusia yang memiliki hati seperti ini dan Allah SWT juga mengetahui pada siapa risalah llahi tersebut akan diletakkan. Dalam surah Al-An’am : 124 Allah SWT berfirman, “. . . Allah lebih mengetahui dimana Dia menempatkan tugas kerasulan.”
Sebagian dari ayat Quran telah mengisyaratkan akan keunggulan tertentu yang dimiliki diantara manusia dan malaikat. Allah SWT memilih diantara manusia dan malaikat yang memiliki keunggulan tersebut untuk dijadikan sebagai penyampai risalah. Dalam surah Al-Hajj : 75 Allah SWT berfirman, “Allah memilih utusan-utusan-Nya dari malaikat dan dari manusia . . .” Para nabi adalah manusia pilihan Ilahi dan terpilih diantara manusia. Hanya manusia terpilih yang dapat menjadi nabi dan rasul sehingga dapat menerima dengan baik pesan dari Ilahi yang mutlak benar dan tak memiliki kesalahan, kebatilan, dan kejahilan, selanjutnya menjaganya dengan amanah dan kemudian menyampaikan pesan tersebut kepada manusia.
Dalam surah Ali Imran : 33-34 Allah SWT menyebut nama-nama manusia pilihan tersebut secara kerkesinambungan yang memiliki rangkaian silsilah yang tersambung: “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat”“(sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (keturunan) dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”Dalam surah lainnya Allah SWT menjelaskan pilihan-Nya terhadap nabi tertentu seperti dalam surah Al-A’raf : 144, “Allah berfirman, “Hai Musa, sesungguhnya Aku telah memilihmu atas seluruh manusia yang lain (di masamu) dengan perantara membawa risalah-Ku dan karena Aku berbicara langsung denganmu.”
Sebagaimana dipahami berdasarkan pada ayat sebelumnya, para nabi adalah manusia-manusia pilihan ilahi. Tahapan selanjutnya Allah SWT memberikan hidayah khusus kepada para nabi yaitu memberikan kepada mereka kekuasaan, kitab, dan kenabian. Hidayah khusus ini menjadi bekal untuk menyampaikan hidayah dari Allah SWT kepada masyarakat. Allah SWT dalam surah Al-An’am : 88 berfirman,“Itulah petunjuk Allah. Dengan petunjuk ini Dia memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya yang Dia dikehendaki.”Oleh karenanya hidayah khusus ini hanya diberikan kepada manusia tertentu saja yang memiliki maslahat. Namun hidayah yang berlaku pada seluruh manusia mereka peroleh melalui jalan hidayah umum seperti belajar pada seseorang, membaca buku, mendengarkan ceramah, dan bentuk lainnya.
Hidayah khusus ini adalah bagi mereka yang telah melewati hidayah umum. Maksudnya Allah SWT akan memberikan rahmat-Nya berupa hidayah khusus bagi mereka yang peduli kepada hidayah tasyri’i dan yang mengamalkan sebagian dari hidayah tasyri’i tersebut dengan kesungguhan ikhtiyarnya. Para nabi adalah manusia yang paling mulia sehingga memperoleh hidayah khusus berupa kitab, kekuasaan, dan kenabian. Dalam surah Al-An’am : 89 Allah SWT berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang telah kami berikan kitab, kekuasaan, dan kenabian kepada mereka.”Kitab adalah kumpulan aturan-aturan Ilahi dan hikmah makrifat yang kokoh serta kenabian yang merupakan maqam kesadaran dan berita dari sisi Ilahi sebagaimana risalah merupakan tahapan menyampaikan pesan kepada makhluk. Dasar dari seluruh maqam-maqam ini adalah wilayah dimana dasar dari wilayah ini berakar pada kesucian ruh Rasulullah SAW.
- Misi Kenabian (Bi’tsat) diantara Seluruh Umat Manusia
Allah SWT adalah Tuhan seluruh alam semesta. Dia-lah pencipta seluruh alam semesta dan juga memelihara dan mengatur segala ciptaan-Nya. Manusia pun berada dibawah naungan rububiyah-Nya. Dan sebagaimana pemeliharaan takwini manusia dibawah naungan hukum-hukum takwini, tarbiyah manusia pun tidak akan berhasil kecuali dengan hukum-hukum tasyri’i Ilahi. Tak ada yang dapat memberikan kebahagiaan abadi kecuali dengan hukum-hukum Ilahi. Karena aturan yang dapat menawarkan kebahagiaan yang abadi adalah aturan yang sejalan dengan hukum-hukum takwini. Keharmonisan diantara kedua hukum ini tentu berasal dari seseorang yang mengetahui segala aspek yang ada. Pembawa aturan-aturan Ilahi ini adalah para nabi dan oleh karenanya tak ada satu pun masa yang kosong dari nabi sebagai pemberi petunjuk.
Intisari dari nubuwwah dan risalah setiap nabi terdapat pada agama dan kitab yang menyertainya. Meskipun pribadi nabi telah meninggalkan dunia ini namun pribadi mereka sebagai nabi tetap terjaga pada masa selanjutnya. Hal ini menjadi kaidah universal bahwa tak ada satupun umat manusia di muka bumi ini yang tak memiliki nabi. Tak kan mungkin dalam satu tempat pemikiran yang di dalamnya terdapat iradah dan ikhtiyar namun Tuhan tidak menghadirkan dalam tempat tersebut seorang nabi sebagai penyambung hidayah dari Ilahi. Dalam surah fathir : 24 Allah SWT berfirman, “Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” Karena itu pula seorang nabi mesti dari kalangan manusia itu sendiri, bukan dari golongan malaikat. Malaikat tak kan mungkin menjadi seorang nabi bagi manusia meskipun malaikat tersebut memiliki risalah Ilahi. Dalam surah Assyuara’ :193-194 Allah SWT berfirman, “Ar-Ruh al-Amin (Jibril) telah menurunkannya”, “ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.”
Seorang nabi adalah mereka yang memiliki hati yaitu hati yang telah menjadi wadah bagi wahyu Ilahi. Namun sebagian orang meski punya hati namun hatinya belum bisa menjadi wadah atau menampung wahyu yang turun dari Ilahi. Meski mereka punya telinga dan mata namun belum bisa menyaksikan keindahan malaikat atau mendengar perkataan malaikat. Oleh karena itu seorang nabi mesti dari golongan manusia bukan dari golongan malaikat. Karena manusia senantiasa ingin berdialog, berdiskusi, dan menyampaikan keluh-kesahnya serta berkeinginan agar kehidupannya seperti kehidupan yang dijalani oleh nabi. Kondisi seperti ini tidak mungkin terjadi kecuali seorang nabi berasal dari golongan manusia.
Berdasarkan hal ini Quran menggambarkan seorang nabi yang sebagian prilaku kehidupannya sebagaimana kehidupan manusia lainnya seperti makan dan sebagaimana manusia lainnya suatu saat akan meninggalkan dunia ini. Dalam surah Al-Anbiya : 8 Allah SWT berfirman, “Dan Kami tidak jadikan mereka tubuh-tubuh yang tidak memakan makanan, dan tidak (pula) mereka itu orang-orang yang kekal.” Oleh karena itu para nabi tidak seperti malaikat yang bisa menjalani kehidupannya tanpa makan dan juga tidak seperti malaikat yang tidak menghadapi kematian. Seorang nabi justru seperti manusia lainnya mereka makan dan menjalani kehidupan dan kematian.
Rahasia Pengkhususan Risalah pada Seorang Pria
Seorang nabi mesti seorang pria dan tak satupun seorang nabi dari kalangan wanita. Wanita tidak akan sampai pada maqam nubuwwah namun sampai pada maqam wilayah dimana maqam wilayah ini menjadi sandaran bagai maqam nubuwwah dan risalah. Nubuwwah dan risalah kaitannya dengan aspek pelaksanaan dan tentu mengharuskan bersentuhan langsung dengan masyarakat, seperti perkara perang, perdamaian, menjelaskan hukum syariat, menjawab berbagai persoalan, menjadi imam jamaah, dan perkara-perkara lainnya dan tentu perkara-perkara tersebut lebih sesuai dengan seorang pria. Namun meskipun seorang nabi dari kalangan pria namun hal ini tidak menjatuhkan kemuliaan seorang wanita karena seorang wanita mungkin saja sampai pada maqam wilayah yang kemudian membuat dirinya lebih unggul dari sebagian nabi, seperti sosok Sayyidah Maryam dan anak Rasulullah SAW Sayyidah Fatimah.
Nubuwwah dan risalah berkaitan dengan aspek pelaksanaan dan pelaksanaanya mesti dari kalangan pria. Namun wilayah yang merupakan maqam spiritual dan maknawiyah dan juga merupakan batin dari nubuwwah dan risalah, berlaku sama baik bagi pria maupun wanita. Siapa pun yang sampai pada maqam wilayah akan lebih dekat kepada Allah SWT. Pada maqam wilayah ini terkadang disertai dengan pemberian nubuwwah dan risalah yang merupakan maqam pelaksanaan. Oleh karenanya tak satu pun perempuan akan sampai pada maqam nubuwwah dan risalah akan tetapi mungkin saja sampai pada maqam wilayah.
Kesimpulannya bahwa setiap nabi dan rasul pasti memiliki wilayah akan tetapi setiap wali tidak selamanya memiliki nubuwwah dan risalah. Dasar pijakan nubuwwah dan risalah adalah wilayah, dan maqam takwiniyah manusia akan kembali kepada maqam wilayah dan pada aspek ini tidak ada yang lebih unggul antara pria dan wanita. Oleh karenanya setiap nabi pasti memiliki wilayah dimana hal ini barkaitan dengan maqam maknawiyah kenabian. Kemudian setiap nabi mesti seorang pria dimana hal ini berkaitan dengan maqam pelaksanaan kenabian.