Pandangan Dunia

Pembahasan Tuhan dalam Al-Quran (1)

Oleh : Muhammad Nur

Pembahasan sekarang ini mengenai persoalan ketuhanan dalam perspektif Al-Quran. Hal ini sejalan dengan tujuan kami yaitu menjelaskan pondasi ideologi Islam berdasarkan Al-Quran dan dalil akal. Namun sebelum kami membahasnya lebih jauh, ada dua hal yang akan kami jelaskan sebelumnya :

  1. Dalam sebuah pembahasan dijelaskan tentang konsep universal bahwa konsep universal adalah sebuah konsep yang dapat dipredikatkan pada objek-objek yang tak terbatas. Berbeda dengan konsep partikular yang hanya bisa dipredikatkan pada satu objek saja. Sebagian dari konsep partikular tersebut bisa diperoleh melalui persepsi indrawi kita dan sebagiannya lagi didapatkan dengan ilmu hudhuri.

Kami sengaja mengulang hal tersebut di atas karena kami akan memperjelas sebuah pertanyaan penting yang berkaitan dengan pembahasan kita kali ini. Pertanyaan itu adalah apakah pengetahuan kita terhadap Tuhan sejenis pengetahuan partikular atau universal? Atau termasuk kedua pengetahuan tersebut? Jika anda perhatikan argumentasi pembuktian Tuhan yang biasa dijelaskan, di mana argumentasi yang digunakan adalah argumentasi akli (rasio). Argumentasi akal menggunakan konsep-konsep dan bentuk-bentuk di alam mental kita yang digunakan dalam mengungkap pengetahuan yang belum diketahui. Jelas, kesimpulan yang akan didapatkan melalui argumentasi akal sejenis konsep universal dan gambaran alam mental (zihni), seperti konsep wajibul wujud, konsep pengatur alam semesta, dan lain-lain.

Sebagaimana anda ketahui, konsep-konsep tersebut seperti di atas – sebagaimana  konsep-konsep universal lainnya – memiliki  karekteristik yang sama yaitu berlaku secara umum dan dapat dipredikatkan pada objek-objek yang tidak terbatas. Oleh karena itu setelah kita membuktikan keberadaan wajibul wujud, selanjutnya kita membutuhkan dalil lain dalam membuktikan Tauhid (keesaan Tuhan). Kita tidak pernah ragu bahwa pengetahuan kita terhadap Tuhan melalui perantara konsep-konsep yang ada di alam mental kita. Namun apakah ada jalan lain yang dapat menghubungkan kita kepada Tuhan secara langsung tanpa melalui perangkat alam mental kita dan kemudian melalui hubungan tersebut kita dapat mengetahui sifat-sifat-Nya? Dalam kata lain apakah mungkin kita mengetahui Tuhan melalui pengetahuan partikular? Kami telah menjelaskan sebelumnya bahwa pengetahuan partikular bisa didapatkan melalui ilmu hudhuri dan juga melalui indrawi. Tak diragukan lagi, kita tidak mungkin mempersepsi Tuhan melalui persepsi indrawi. Dia Yang Maha Tingga dan Maha Suci tidak akan digapai dengan persepsi indrawi, persepsi indrawi kita hanya bisa menjangkau materi saja, itupun tidak keseluruhannya. Oleh karena itu pengetahuan yang bersifat langsung tersebut hanya bisa diraih dengan ilmu hudhuri.

Al-Quran Al-Karim memberikan petunjuk kepada kita bahwa manusia mungkin memiliki pengetahuan hudhuri seperti itu. Al-Quran tidak hanya menggunakan argumentasi akal – baik secara implisit maupun eksplisit – dalam membuktikan berbagai hal, akan tetapi Al-Quran juga memperkenalkan kepada kita pengetahuan hudhuri dan syuhud qalbi terhadap Tuhan. Setiap manusia memiliki pengetahuan tentang Tuhan seluas wadah dan kesempurnaan eksistensi dirinya. Manusia akan berjalan menuju kesempurnaan dan akan menyempurna seiring dengan pengetahuan hudhurinya kepada-Nya. Ilmu hudhuri terhadap keberadaan-keberadaan yang ada merupakan ilmu yang paling baik dan paling jelas, walaupun pengetahuan-pengetahuan terhadap keberadaan yang ada melalui konsep-konsep di alam mental kita tetap memiliki peranan yang penting juga.

Mendeskripsikan sebuah pemandangan yang indah, tidak akan pernah sebanding kenikmatannya jika kita hadir dan menyaksikan secara langsung pemandangan tersebut. Islam sama sekali tidak menginginkan menyembah Tuhan yang gaib. Amirul Mukminin Ali Kw berkata : “Aku sama sekali tidak menyembah Rabb yang tidak aku saksikan .” Imam Husain berkata : “Wahai Tuhanku, apakah ada yang lebih jelas dari diri-Mu sehingga keberadaan diri-Mu membutuhkan penjelas?” Merekalah yang buta hati sehingga tak melihat keberadaan diri-Mu. Imam Baqir : “Apa yang ada dalam persepsi anda tentang Tuhan – walaupun persepsi anda begitu detail – bukanlah Tuhan, tapi hal tersebut hanya ciptaan anda saja.”

  1. Hal yang kedua yang ingin kami sampaikan dalam kesempatan ini berkaitan dengan pertanyaan berikut ; Apakah keberadaan Tuhan bisa dibuktikan hanya dengan menggunakan Al-Quran sebagai kitab Ilahi yang diturunkan oleh Allah SWT? Apakah metode pembuktian dengan Al-Quran ini logis? Ataukah kita harus membuktikan keberadaan Tuhan terlebih dahulu, barulah kemudian kita dapat membuktikan posisi Al-Quran sehingga kita dapat menkaji teks-teks yang ada di dalamnya?

Jika pembahasannya ingin mengungkap persoalan yang tidak diketahui maka tentunya argumentasilah yang dibutuhkan. Tak diragukan juga, dalam setiap pembahasan tentu di dalamnya ada burhan atau argumentasi. Jika tidak maka pembahasan tersebut diterima dengan taklid semata dan Al-Quran menolak taklid buta, meskipun tidak setiap taklid itu salah. Bahkan sebagian dari persoalan taklid itu sendiri justru ditetapkan oleh akal. Misalnya ada banyak firman Tuhan yang di luar dari jangkauan dan persepsi manusia dan kita menerimanya melalui para nabi-Nya yang memang ditugaskan untuk menyampaikan pesan Ilahi kepada masyarakat. Juga, bertaklid pada hal-hal yang tidak kita ketahui merupakan hal yang wajar dan juga diterima oleh akal. (misalnya kita bertaklid pada resep obat yang diberikan oleh seorang dokter). Oleh karena itu, persoalan taklid tidak mungkin dinafikan secara mutlak. Bahkan persoalan taklid merupakan ruh agama dalam berhadapan dengan Tuhan.

Namun persoalan-persoalan yang ada tentunya memiliki prinsip-prinsip tertentu. Prinsip tersebut seharusnya dianalisa terlebih dahulu sebelum memasuki pembahasan lainnya, sehingga berdasarkan prinsip tersebut kita dapat taklid pada subjek-subjek lainnya. Metode dalam membuktikan persoalan-persoalan seperti ini hanya melalui argumentasi rasionalitas. Umumnya persoalan seperti ini disebut dengan ushuluddin. Kita tidak diperbolehkan bertaklid dalam persoalan ushuluddin. Akal manusia sendiri yang meniscayakan demikian halnya bahwa persoalan taklid itu bisa diterima setelah persoalan ushuluddin dibuktikan dengan pendekatan akal. Sebab jika tidak demikian maka akan terjadi daur (circle).

Berdasarkan hal tersebut, ketika Al-Quran ingin membahas persoalan tersebut, Al-Quran menggunakan argumentasi akal dan burhan akal. Jika kita ingin merujuk kepada Al-Quran dalam membuktikan keberadaan Allah SWT atau persoalan tauhid, pada hakikatnya kita mencoba menelusuri argumentasi Al-Quran berkenaan dengan persoalan ini. Kita tidak ingin hanya sekedar mengetahui persoalan tersebut melalui Al-Quran setelah kita menerima kewahyuan Al-Quran.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Al-Quran juga meyakini metode syuhud dan hudhuri terhadap Allah SWT dimana metode tersebut merupakan pengetahuan partikular. Seluruh usaha Al-Quran, kitab-kitab langit, dan para Nabi berupaya agar pengetahuan hudhuri tersebut semakin menjelma dalam diri manusia. Namun harus dipahami bahwa pengetahuan hudhuri tersebut tidak dapat diargumentasikan dan tidak dapat dipindahkan pada yang lainnya. Kita menerima pengetahuan seperti ini sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Quran. Al-Quran banyak menunjukkan dalil dalam membuktikan pengetahuan hudhuri tersebut. Dalam sepanjang sejarah pun kita bisa melihat jejak-jejak akan syuhud qalbi (penyingkapan melalui qalbu) tersebut. Namun meskipun bukti-bukti sejarah itu tidak ada akan tetapi kita tetap menerima pengetahuan tersebut karena Al-Quran menjelaskannya.

Persoalan Wujud Tuhan dalam Al-Quran

Sejak dahulu hingga saat ini, para Ulama penafsir kita berbeda pandangan tentang apakah dalam Al-Quran terdapat ayat yang secara langsung membuktikan keberadaan Tuhan atau tidak? Sebagian dari penafsir kita menafikan setiap ayat di mana ayat tersebut secara langsung membuktikan keberadaan Tuhan. Penafsir lainnya mengangkat beberapa ayat yang membuktikan keberadaan Tuhan secara langsung. Jika kita ingin menjelaskan satu persatu kedua pandangan tersebut dan selanjutnya menyimpulkannya, tentunya membutuhkan waktu yang cukup lama dan hal ini di luar dari tujuan tulisan ini. Namun ada hal menarik yang dapat diambil dari pandangan tersebut dan dapat dijadikan sebagai petunjuk. Hal tersebut yaitu : kita harus membedakan antara asumsi yang menyatakan bahwa terdapat ayat yang secara langsung membuktikan keberadaan Tuhan dengan asumsi yang menyatakan bahwa kita hanya mungkin mengistinbat dalil dari sebagian ayat yang ada (tidak secara langsung). Asumsi pertama sulit dibuktikan dan kami tidak menemukan ada ayat yang membuktikan secara langsung keberadaan Tuhan. Namun terdapat ayat yang dapat kita gunakan (perantara) dalam membuktikan keberadaan Tuhan :

﴿أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْ‏ءٍ أَمْ هُمُ الْخالِقُونَ﴾﴿أَمْ خَلَقُوا السَّماواتِ وَ الْأَرْضَ بَلْ لا يُوقِنُونَ﴾

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? (QS. At-Thur : 35)

Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). (QS. At-Thur :36)

Dalam surah Thur ; 35 – 36 di atas merupakan jawaban dari berbagai persoalan tentang keberadaan Tuhan yang diajukan oleh kaum musyrikin pada saat itu kepada Rasulullah SAW. Kedua ayat di atas merupakan ayat yang secara lahiriyah menjawab pertanyaan dari kaum musyrikin berkenaan dengan keberadaan Tuhan. Jika anda perhatikan ayat di atas, secara lahiriah pada ayat tersebut tidak terdapat bentuk argumentasi, bahkan pada ayat tersebut dijelaskan dalam bentuk ‘istifham inkari’ (sebuah proposisi dalam bentuk tanya dengan maksud pengingkaran). Ayat tersebut – secara pemahaman – ingin mengatakan , apakah Anda tercipta tanpa adanya pencipta?

Tentunya Anda tidak akan pernah menerima hal tersebut. Akan tetapi apakah Anda pencipta diri Anda sendiri ? Saya yakin Anda pun tidak akan pernah menerima hal ini dikarenakan Anda mengetahui dengan mudah alasannya. Karena itu Anda meyakini bahwa ada pencipta yang menciptakan Anda.

Berdasarkan hal tersebut, ayat di atas secara tidak langsung bisa diterjemahkan dalam bentuk argumentasi sebagai berikut : Anda mengetahui bahwa pada awalnya Anda tidak memiliki keberadaan (wujud), oleh karena itu Anda adalah mumkin wujud. Anda tidak mungkin mengingkari bahwa Anda ini adalah makhluk. Nah sekarang, apakah Anda adalah sebuah entitas tanpa adanya Pencipta? Anda tidak mungkin menjawabnya dengan “ ia “ dan Anda pun pasti mengingkarinya sebagaimana Anda mengingkari bahwa Anda yang menciptakan diri Anda sendiri. Oleh karena itu kita harus meyakini adanya Sang Pencipta yang dirinya tidak  diciptakan. Oleh karena pertanyaan ini pun mungkin saja ditanyakan pada diri-Nya dengan pertanyaan yang sama hingga sampai pada kesimpulan akhir bahwa harus ada Pencipta yang tak dicipta.

Ini adalah sebuah contoh dari ayat yang diyakini oleh sebagian penafsir sebagai ayat yang membuktikan keberadaan Tuhan. Namun ayat di atas proposisinya dalam bentuk ‘istifham inkari’ dalam menjawab pertanyaan orang-orang musyrik yang mengingkari kenabian Rasulullah SAW. Akan tetapi ayat ini dapat mengantarkan kita dalam bentuk argumentasi rasional.

Jika Anda bertanya mengapa Al-Quran tidak secara langsung membuktikan keberadaan Tuhan dan mengapa kita tidak menemukan bentuk argumentasi dalam pembuktian wujud Tuhan di dalam Al-Quran? Hal ini dikarenakan keberadaan Tuhan sebagai Pencipta langit dan bumi menurut pandangan Al-Quran sangatlah jelas dan hal ini diterima oleh seluruh pihak. Oleh karena itu Al-Quran menganggap hal-hal seperti ini sebagai perkara yang badihi. Jika ada pertanyaan berkenaan dengan hal ini, pertanyaan tersebut tidak akan membuat keragu-raguan dan persoalan yang baru. Dalam surah Ibrahim ayat 10, Al-Quran menjelaskan ; Apakah ada keragu-raguan tentang Allah, pencipta langit dan bumi?.

Istifham dalam ayat tersebut dijelaskan dalam bentuk ‘pengingkaran’. Jika kita memperhatikan penggunaan ‘istifham inkari’ dalam proposisi, maka mafhum dari ayat di atas ; Anda juga mengetahui bahwa dalam persoalan ini tidak ada sama sekali keraguan. Akan tetapi di saat Al-Quran tidak menjelaskan pembuktian wujud Tuhan secara langsung hal ini tidak berarti bahwa Al-Quran sama sekali tidak memperhatikan pertanyaan atau persoalan yang timbul dalam benak mereka. Bahkan sebagaimana yang kami isyaratkan sebelumnya bahwa kita dapat membuat sebuah argumentasi melalui beberapa ayat dalam menjawab persoalan yang ada.

Namun apapun itu, baik secara langsung dalam membuktikan keberadaan Tuhan maupun tidak secara langsung, argumentasi tersebut akan menjadi sempurna jika ditambahkan padanya proposisi eksternal kaitannya dengan ayat tersebut dalam membuktikan persoalan yang dimaksud. Apa yang dihasilkan dari argumentasi ini bahwa sebagaimana argumentasi-argumentasi lainnya yang dihasilkan hanyalah sebuah konsep universal dan tidak akan mungkin mengantarkan kita sampai pada Zat Tuhan. Namun memang seperti inilah ciri dari argumentasi akal yaitu keuniversalan. Namun telah kami jelaskan sebelumnya bahwa Al-Quran juga menunjukkan kepada kita pengetahuan hudhuri terhadap Allah SWT, inilah yang dimaksud dengan pengetahuan fitri terhadap Tuhan. Sekarang kami akan membahas pengetahuan ini.

Tuhan dalam  Inti Manusia

Penakbiran Fitrah kaitannya dengan Tuhan memiliki beberapa makna. Diantaranya ;

1) Fitrah Ilahi ; maksudnya bahwa kebertuhanan merupakan sebuah kecenderungan fitrawi dalam diri manusia. Bukti dari asumsi ini bisa kita saksikan pencarian terus menerus manusia kepada Tuhan dalam sepanjang sejarah manusia. Selain dari keanekaragaman budaya, geografis, suku dan bangsa, akan tetapi kepercayaan kepada Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini senantiasa ada dalam diri manusia. Para psikolog meyakini bahwa dalam diri manusia terdapat  4 aspek internal :

  1. Etika
  2. Estetika
  3. Pengetahuan
  4. Spiritual (menyembah)

Sebagian Ilmuan seperti Paskal, William James, Bergson dan Enstein sangat menekankan pada aspek keempat dan bahkan mereka meyakini bahwa hal tersebut tidak mungkin dipisahkan dengan diri manusia.

2) Fitrah Ilahi bermakna bahwa tauhid itu bersifat fitri

3) Fitrah Ilahi bermakna bahwa Tauhid adalah sebuah kecenderungan fitrawi dan bersifat internal. Manusia melakukan ritual penyembahan berdasarkan fitrah tersebut dan dirinya tunduk dalam berhadapan dengan diri-Nya. Penakbiran fitrah pada istilah pertama dan , ketiga bersumber dari kecendrungan internal, sedangkan pada istilah kedua sejenis pengetahuan.

(Bersambung……)

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: