Pandangan Dunia

Pembahasan Tuhan dalam Al-Quran (2)

Oleh : Muhammad Nur

Pengetahuan Fitrawi Terhadap Tuhan

Ada beragam istilah mengenai pengetahuan fitrawi. Kira-kira ada sekitar sepuluh istilah berkenaan dengan pengetahuan fitrawi. Seperti logika fitrawi, fitrah dalam istilah Descartes, fitrah dalam istilah Kant, dst.

Ketika kita ingin menggunakan istilah fitrah berkenaan dengan Tuhan. Kita bisa menggunakan dua istilah berikut ini ;

  1. Maksud dari pengetahuan fitrawi terhadap Tuhan yaitu bahwa pengetahuan tersebut bersifat badihi dan tidak membutuhkan usaha keras dari akal manusia dalam mentashdiq keberadaan Tuhan. Dengan sangat mudah dapat dipahami bahwa keberadaan alam ini terbatas serta bergantung, sehingga butuh pada sebuah keberadaan yang tak bergantung pada apapun yang akan menciptakan dirinya. Akan tetapi pengetahuan ini adalah sebuah pengetahuan hushuli namun argumentasinya sangat jelas dan tidak terlalu membutuhkan eksplorasi akal. Pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan fitrawi.
  2. Maksud dari pengetahuan fitrawi terhadap Tuhan adalah bahwa manusia memiliki ilmu hudhuri terhadap Pencipta yang menciptakan dirinya. Setiap manusia diciptakan dengan fitrah ini (yaitu dengan ilmu hudhuri). Ilmu hudhuri ini adalah amanah Ilahi yang telah diletakkan dalam diri manusia. Inilah yang dimaksud dengan hadis ‘setiap anak dilahirkan dengan fitrah’. Dalam hadis yang lain ditambahkan dengan atas fitrah tauhid. Maksudnya bahwa setiap anak dilahirkan dengan fitrah tauhid.

Jika kita kembali pada pembahasan sebelumnya, mungkin saja ada pertanyaan seperti ini dalam benak anda. Jika kita memiliki ilmu hudhuri, lalu mengapa ilmu tersebut tidak kita ketahui? Jawabannya akan terlihat jelas jika dikaitkan dengan tingkatan ilmu hudhuri. Dalam ilmu hudhuri terkadang diketahui dengan sadar, setengah sadar, atau pun tanpa disadari secara sepenuhnya. Sebagai contoh, coba perhatikan suatu kondisi dimana pada kondisi tersebut yang mendominasi anda adalah perasaan lapar yang begitu besar sehingga merenggut seluruh perhatian anda. Selanjutnya dengan perasaan lapar tersebut, anda memutuskan berjalan mengunjungi sebuah tempat makan dan pada saat itu anda ditemani oleh seorang teman anda. Di tengah perjalanan suatu kejadian yang tidak diinginkan menimpa teman anda. Pada saat itu anda membantu teman anda kemudian membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Pada kondisi seperti ini tentunya anda telah melupakan perasaan lapar yang sebelumnya telah mendominasi anda. Setelah berselang beberapa waktu dan kondisi kembali normal seperti semula, perasaan lapar tersebut kembali datang. Ada banyak contoh seperti di atas yang menjelaskan bahwa ilmu hudhuri bisa saja dilupakan dengan adanya berbagai faktor yang menghalanginya. Setiap orang pernah mengalami fenomena-fenomena seperti ini.

Berkenaan dengan ilmu hudhuri terhadap Tuhan pun demikian halnya. Terdapat faktor-faktor tertentu yang bisa membuat manusia melupakan Tuhan dan menghalangi perkembangan pengetahuan hudhuri tersebut. Sebagian besar dari manusia yang telah terperangkap dengan dunia materi dan kesenangan-kesenangan duniawi, telah membuat dirinya melupakan ilmu hudhuri terhadap Tuhan. Namun pada kondisi dimana dirinya memutuskan hubungan dengan dunia materi dan jiwanya memiliki kesempatan untuk berpikir sejenak, maka pada saat tersebut dirinya kembali mengingat ilmu hudhuri. Dengan kata lain, manusia pada hakikatnya memiliki hubungan yang sangat erat dengan Tuhannya dimana pada saat dirinya kembali kepada kedalaman jiwanya maka dia akan mendapatkan hubungan tersebut. Pada pembahasan yang akan datang kami akan menjelaskan beberapa ayat yang berkaitan dengan hal ini.

Pengetahuan ini adalah hudhuri atau syuhud qalbu yang tidak didapatkan melalui pikiran dan argumentasi. Oleh karena itu maka pengetahuan seperti ini pun tidak dapat dipindahkan melalui konsepsi pemahaman-pemahaman. Pengetahuan hudhuri ini tidak diperoleh melalui usaha tertentu akan tetapi Tuhan-lah yang meletakkan dalam diri manusia ketika dirinya diciptakan. Pengetahuan ini telah bersama dengan jiwanya meskipun dalam menumbuhkannya dibutuhkan usaha dari manusia itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pengetahuan fitrawi.

Apakah ada ayat Al-Quran yang dapat menunjukkan bahwa pengetahuan hudhuri ini dapat ditemukan dalam diri manusia? Jika  pengetahuan seperti ini ada, bagaimanakah pengetahuan tersebut? Dan dimanakah pengetahuan ini merealitas dalam diri manusia? Pada sebagian ayat menjelaskan bahwa manusia memiliki fitrah Ilahi dimana fitrah tersebut sejenis pengetahuan hudhuri terhadap Tuhan. Sekarang kami akan menjelaskan beberapa ayat kaitannya dengan pembahasan ini.

Penjelasan Ayat Fitrah dan Mitsaq

Perhatikanlah ayat 30 surah Ar-Rum ;

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنيفاً فِطْرَةَ اللهِ الَّتي‏ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْها لا تَبْديلَ لِخَلْقِ اللهِ ذلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَ لكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), sebagai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Dalam menunjukkan hubungan antara ayat di atas dengan pengetahuan fitrah, lazim kiranya untuk memaknai kata ‘din’ terlebih dahulu. Dalam memahami makna kata-kata yang digunakan dalam Al-Quran di mana makna kata tersebut tidak jelas, jalan yang paling baik adalah dengan merujuk penggunaan kata tersebut yang digunakan dalam Al-Quran itu sendiri. Karena mungkin saja makna dari sebuah kata yang ada di dalam kamus bahasa bukan makna yang dimaksud dalam Al-Quran.

Dalam surah Al-Baqarah : 132, Al-Quran menjelaskan ;

إِنَّ اللهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلاَ تَمُوْتُنَّ إَلاَّ وَ أَنْتُم مُّسْلِمُوْنَ

“Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam (pasrah kepada Allah).”

Dalam ayat di atas, makna kata ‘din’ dan ‘Islam’ digunakan dalam satu makna.

Dalam surah Al-Maidah : 3, Al-Quran menjelaskan ;

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتي‏ وَ رَضيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ ديناً

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu.”

Dalam ayat di atas Islam dijelaskan sebagai agama yang diridhai oleh Allah SWT.

Dalam surah Ali-Imran : 19, Al-Quran menjelaskan ;

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الْإِسْلامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.”

Dalam ayat di atas secara tegas dijelaskan bahwa agama hanya Islam semata.

Dalam surah Yunus : 105, Al-Quran menjelaskan ;

وَ أَنْ أَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنيفاً وَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكينَ

“Dan (aku telah diperintah), ‘Hadapkanlah mukamu kepada agama yang bersih dari segala kemusyrikan dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik.”

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa makna ‘din’ yaitu menjauhi kemusyrikan..

Dalam surah Ali-Imran : 85, Al-Quran menjelaskan ;

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلامِ ديناً فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ

“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya.”

Dalam ayat di atas menjelaskan bahwa ‘din’ yang diterima oleh Allah SWT hanyalah Islam.

Dalam surah Yusuf : 40, Al-Quran menjelaskan ;

أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ ذلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَ لكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa ‘din’ yaitu tauhid dalam ibadah.

Sekarang, setelah memperhatikan beberapa ayat di atas yang sengaja kami kutip sebagai contoh, kita dapat  melihat beberapa penggunaan dari makna ‘din’. Secara general kesimpulan yang bisa kita tarik adalah bahwa Islam bermakna taslim (berserah diri) kepada Allah SWT tanpa syarat apapun. Hanya Dia yang harus disembah dan harus menjauhi atau menghindari dari menyembah selain diri-Nya.

Oleh karena itu fitrah adalah penciptaan Tuhan (sesuai dengan surah Ar-Rum : 30) dimana manusia diciptakan sesuai dengan fitrah tersebut. Fitrah adalah kecenderungan akan menyembah Tuhan dan berserah diri kepada Tuhan dan kecenderungan ini berakar dalam fitrah manusia. Oleh karena itu setiap manusia secara alamiah senantiasa berkeinginan mendekatkan dirinya kepada Tuhan dan menyembah-Nya. Kemudian kecenderungan dalam berbuat salah berasal dari ketidaktahuan (jahil) atau salah dalam menemukan wujud yang diinginkannya. Hal ini yang menyebabkan manusia senantiasa mencari selain diri-Nya di mana ketika ia sampai pada hal tersebut dirinya pun tidak merasa puas dan akhirnya meninggalkan apa yang diraihnya.

Betul, manusia bagaikan burung yang senantiasa terbang kepada kesempurnaan mutlak yang sangat luas dan tak terhingga. Keterbatasan alam materi ini tidak akan bisa menampung keluasan jiwa yang tak terbatas.

Berdasarkan hal di atas, meskipun dalam surah Ar-Rum : 30 tidak membahas persoalan ‘tauhid’ secara langsung akan tetapi dalam ayat tersebut penyembahan terhadap Tuhan dianggap sebagai fitrah. Akan tetapi penyembahan fitrawi terhadap Tuhan merupakan kelaziman akan pengetahuan fitrawi terhadap Tuhan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pengetahuan fitrawi terhadap Tuhan telah diletakkan dalam diri manusia.

Metode pengetahuan fitrawi terhadap Allah SWT terdapat dalam surat Al-A’raf: 172. Ayat ini biasanya disebut dengan ayat mitsaq atau dzar.

وَ إِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَني‏ آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَ أَشْهَدَهُمْ عَلى‏

أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قالُوا بَلى‏ شَهِدْنا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هذا غافِلينَ

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) lengah terhadap (kesaksian Tauhid) ini.”

Beragam penafsiran berkenaan dengan ayat tersebut, kira-kira ada 12 penafsiran yang menjelaskan ayat di atas. Ayat di atas bisa ditafsirkan secara sederhana sebagai berikut: Dalam ayat tersebut, secara jelas menyatakan bahwa terdapat sebuah alam dimana dalam alam tersebut terjadi dialog antara manusia (bani adam) dengan Tuhan. Dialog tersebut terjadi sedemikian rupa dan tidak ada kemungkinan terjadinya kesalahan, karena dialog tersebut terjadi dalam konteks ilmu hudhuri dan dalam bentuk syuhud bathiniyyah; dan seandainya dialog tersebut terjadi dalam konteks ilmu hushuli, maka paling minimal terdapat satu orang yang ragu dalam menjawab pertanyaan tersebut atau bahkan memberikan jawaban negatif (tidak) terhadap pertanyaan tersebut.

Selain dari analisa di atas, jika diasumsikan bahwa dialog tersebut terjadi dalam konteks ilmu hushuli, tentunya hal ini tidak relevan sama sekali karena dalam ayat tersebut mengatakan: “pertanyaan ini diutarakan pada kalian sehingga kami mendapatkan jawaban pengakuan positif (iya) dari kalian sehingga hujjah menjadi sempurna pada kalian dan tidak ada lagi keambiguan dalam persoalan ini.” Jika dialog ini diutarakan dalam konteks ilmu hushuli, maka ada saja jalan untuk menghindari persoalan ini atau menggunakan justifikasi lainnya; karena sebagian orang dapat berargumentasi “kami menyangka bahwa jawaban kami pada saat itu benar, dan ternyata salah, karena itu kami mohon maaf.” Akan tetapi jika dialog tersebut terjadi dalam konteks ilmu hudhuri, maka tidak ada jalan dalam berargumentasi; karena dalam penyaksian (ilmu hudhuri), secara intuitif manusia menyaksikan rububiyyah Haq Ta’ala serta menyaksikan kehambaan dirinya. Maka dari itu, tidak akan ada pengingkaran sama sekali.

Bukti lainnya adalah perkataan Tuhan tentang أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ “bukankah Aku adalah Tuhanmu?” Ayat tersebut tidak mengatakanالیس لکم ربٌ  “apakah anda tidak punya Tuhan?” Tentu, jika pertanyaannya dijelaskan dalam bentuk kedua maka dialog tersebut tidak dalam penyaksian hudhuri, berbeda dengan bentuk pertama. Penakbiran pertama dengan jelas menunjukkan bahwa Tanya jawab ini dalam konteks ilmu hudhuri, maksudnya bahwa pengetahuan tersebut adalah pengetahuan partikular dan personal, bukan pengetahuan universal. Banyak hadis yang menjelaskan ayat di atas dan menegaskan persoalan penyaksian (musyahadah) dan ilmu hudhuri, salah satunya adalah hadis dari Imam Baqir : “Tuhan telah memperkenalkan diri-Nya kepada mereka, dan jika pengetahuan hudhuri ini tidak ada maka mereka tidak akan pernah mengenal Rabb (Pencipta) mereka.

Dalam riwayat lainnya hadis dari Imam Shadiq : Ada salah seorang yang bertanya pada Imam ; Apakah dialog tersebut bersifat hudhuri? Imam menjawab: betul, karena jika tidak demikian maka tidak seorang pun yang akan mengetahui siapa penciptanya dan siapa pemberi rezeki baginya. Sebagaimana yang anda saksikan, dalam riwayat ini didasarkan pada Pencipta dan Pemberi Rezeki. Bahwasanya siapakah Dia dan bagaimana keberadaan diri-Nya, bukan hanya mengetahui secara universal akan keberadaan Pencipta dan keberadaan Pemberi Rezeki. Maksudnya, bahwa Imam tidak mengatakan “jika tidak demikian maka tidak seorangpun yang akan mengetahui bahwa bagi dirinya ada Pencipta dan ada Pemberi Rezeki.” Maksudnya, bahwa pengetahuan manusia pada saat itu dapat mengetahui siapa Penciptanya. Tahapan ini lebih tinggi dari pengetahuan terhadap keberadaan Pencipta dan Pemberi Rezeki. Karena dalam tahapan ini, Pencipta diketahui secara jelas (personal) dan hal ini merupakan argumentasi yang jelas akan kehudhurian pengetahuan ini. Sementara, ilmu hushuli hanya bisa membuktikan secara universal keberadaan Pencipta dan Pemberi Rezeki.

Pertanyaan: berdasarkan dengan apa yang telah diuraikan di atas bahwa manusia memiliki pengetahuan secara hudhuri kepada Tuhan, lalu untuk apa segala argumentasi rasional yang begitu rigit dibangun dalam membuktikan keberadaan Tuhan dan pengetahuan yang dihasilkan dari argumentasi itupun hanya pengetahuan universal?

Jawab: jawaban pertanyaan di atas bisa diuraikan berdasarkan dengan riwayat berikut ini yang membahas tentang jawaban Imam Shadiq  terhadap pertanyaan tentang alam mitsaq atau alam dzar: beliau berkata: “Pengetahuan hudhuri tetap saja ada dan menyatu dengan dirinya akan tetapi pengetahuan yang didapatkan pada alam tersebut, mereka melupakannya. Namun mereka akan mengingatnya kembali dengan segera. Jika pengetahuan ini bukan pengetahuan hudhuri, maka tidak seorangpun yang akan memahami siapa Penciptanya dan siapa Pemberi Rezekinya.”

Berdasarkan riwayat di atas, pengetahuan syuhud yang bersifat hudhuri tersebut tetap saja ada dan inheren dalam dirinya; akan tetapi dikarenakan manusia di alam dunia ini senantiasa berurusan dengan perkara-perkara duniawi dan tidak memperdulikan perkara-perkara yang bersifat spiritual atau maknawiyah, maka mereka melupakan pengetahuan hudhuri tersebut. Dalam kesempatan ini kami ingin mengingatkan kembali pengetahuan sebelumnya agar pembahasan ini lebih jelas.

Pada pembahasan sebelumnya telah kami menjelaskan bahwa ilmu hudhuri memiliki derajat atau beberapa tingkatan. Tingkatan tersebut dilihat dari sisi kualitasnya (kuat dan lemah). Contohnya ilmu hudhuri terhadap jiwa jika diperhatikan – tanpa diragukan – seluruh potensi jiwa dipersepsi dengan ilmu hudhuri. Namun terkadang kita lalai terhadap pengetahuan ini. Maksudnya terkadang kita salah dalam mempersepsi antara badan ini dengan jiwa. Bahkan terkadang kita bertanya ; “Jiwa itu apa?” Tingkatan ilmu hudhuri ini sangat lemah. Tingkatan lainnya dari ilmu tersebut adalah perasaan takut yang terkadang datang menghinggapi diri kita. Di saat ada faktor tertentu yang kemudian mengakibatkan perasaan takut tersebut datang. Di saat ‘sedang takut’ tersebut – secara jelas – diri kita memperhatikannya dan kita mengetahui bahwa diri kita sedang takut. Dan juga kita tidak lalai akan perasaan takut itu. Tingkatan ilmu hudhuri ini lebih kuat dibandingkan dengan sebelumnya. Karena itu tingkatan ilmu hudhuri ini memiliki tingkatan yang beragam dan tidak terbatas hanya pada dua tingkatan di atas. Sebagai tambahan dari penjelasan ini bahwa ilmu hudhuri ini bisa berubah dari tingkatan yang paling lemah menuju tingkatan yang paling kuat. Begitupun sebaliknya bisa berubah dari tingkatan yang paling kuat menuju tingkatan yang paling lemah. Benar, ilmu hudhuri kepada Tuhan pada tingkatan yang paling bawah akan tertutupi dengan perkara-perkara material dan perkara hewaniah. Akan tetapi di saat jiwa ini tidak memperhatikan perkara-perkara material tersebut dan jiwa ini hanya memperhatikan dirinya maka pada saat itu pengetahuan hudhuri tersebut akan nampak dan berkembang. Al-Quran Al-Karim dalam beberapa ayat menjelaskan hakikat ini seperti dalam surah Al-Ankabut : 65 ;

فَإِذا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللهَ مُخْلِصينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذا هُمْ يُشْرِكُونَ

“Maka apabila mereka naik kapal, mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; tetapi tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).”

Atau dalam surah Yunus : 22-23 ;

هُوَ الَّذي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ حَتَّى إِذا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَ جَرَيْنَ بِهِمْ بِريحٍ طَيِّبَةٍ وَ فَرِحُوا بِها جاءَتْها ريحٌ عاصِفٌ وَ جاءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكانٍ وَ ظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحيطَ بِهِمْ دَعَوُا اللهَ مُخْلِصينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنْجَيْتَنا مِنْ هذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرينَ

Dia-lah Tuhan yang menjadikan Kamu dapat berjalan di daratan dan (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, tiba-tiba datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpa mereka, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan tulus hati (sembari berkata), “Sesungguhnya jika engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.”

فَلَمَّا أَنْجاهُمْ إِذا هُمْ يَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ يا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّما بَغْيُكُمْ عَلى‏ أَنْفُسِكُمْ مَتاعَ الْحَياةِ الدُّنْيا ثُمَّ إِلَيْنا مَرْجِعُكُمْ فَنُنَبِّئُكُمْ بِما كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (kamu hanya mendapat) kenikmatan hidup duniawi semata, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (bersambung……)

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: