Simaklah pembicaraan antara Akhnaf bin Qais dengan Muawiyah – seterunya Sayyidina Ali – perihal sikap dan perilaku empatik dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Akhnaf bin Qais bertutur kepada kita : “Saya menemui Muawiyah, dan disuguhkan kepadaku manisan dan makanan-makanan lezat yang belum pernah aku lihat selama ini. Kemudian Muawiyah berkata pula kepada pembantunya, ‘Ambilkan makanan anu.’ Mereka kemudian menyuguhkan sejenis makanan yang aku tidak tahu apa namanya.
Karena itu, aku bertanya, ‘Apa ini?’ “Muawiyah menjawab, ‘Ini adalah paha itik dan otak yang dibumbui fistaq dicampur anggur.’ Melihat itu, aku pun menangis. Muawiyah bertanya kepadaku, ‘Apa yang membuatmu menangis ?’ ‘Apa itu?’ tanya Muawiyah. ‘Suatu malam, ‘kata Akhnaf, ‘aku berada di rumah Ali bin Abi Thalib ketika mereka sedang makan. Kemudian Ali bin Abi Thalib berkata kepadaku, ‘Ayo makanlah bersama Al-Hasan dan Al-Husain.’ Lalu beliau berdiri beranjak untuk shalat.
Dan ketika selesai shalat, beliau minta diambilkan wadahnya yang tertutup rapat. Dari dalamnya beliau mengambil sepotong tepung kering, lalu menutupnya kembali. “Aku bertanya, ‘Ya Amirul Mukminin, mengapa Anda demikian ‘bakhil’ dengan cara menyimpan makanan seperti ini?’“Aku menyimpannya rapat-rapat bukan karena bakhil, tapi takut kalau-kalau Al-Hasan dan Al-Husain mencampurinya dengan minyak atau lauk pauk mereka, ‘ jawab beliau. ‘Apakah minyak itu haram?’ tanyaku pula. ‘Tidak, tapi adalah kewajiban bagi para pemimpin umat untuk hidup dengan makan makanan dan mengenakan pakaian seperti rakyatnya yang paling melarat.
Dengan itu orang-orang miskin melihat dirinya tidak berbeda dari mereka [pemimpin], sehingga mereka ikhlas menerima apa yang diberikan Allah. Sedangkan orang-orang yang kaya bisa melihatnya pula, dan mereka akan menjadi lebih bersyukur dan tawadhu’ terhadap kekayaan yang mereka miliki.’