Jemaah haji dari Indonesia sekembalinya dari Mekah biasanya singgah di Ceylon (Srilanka) untuk menunggu musim barat selama 1-3 bulan. Dalam kesempatan ini lah jemaah haji Tabarukan dan belajar kepada Syekh Yusuf. Selain itu juga disisipkan pesan-pesan Politik, agar tetap mengadakan perlawanan terhadap Belanda dan juga pesan-pesan agama supaya tetap bepegang teguh pada jalan Allah. Dititip pesan pada raja dan rakyat Banten dan Makassar lewat surat-suratnya:
Pertama, : harus berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah,
Kedua, : Harus berpegang pada Syariat dan Hakikat, Fiqih dan Tasauf, tarikat Muhammadiyah dan Suluk Ahmadiyah’
Ketiga, : harus selalu berpikir dan mengharapkan diri pada Allah dengan sikap Khauf dan Raja’,
Keempat, : harus selalu jujur, berkata dan berbuat benar dan baik, berbudi pekerti yang luhur dan Tawakal pada Allah,
Kelima, : menghormati ulama dan cerdik pandai serta mengasihi fakir-miskin,
Keenam, : jauhi sifat-sifat takabur, bangga diri dan angkuh,
Ketujuh, : usahakan selalu bertobat dan selalu berzikir pada Allah
Dan surat-surat kepada raja Banten dan Makassar kabarnya tercium oleh pemerintah Belanda di Batavia. Pemberontakan rakyat di Banten dan raja Gowa ke-19 menyebabkan Pemerintah Belanda mencari latar belakangnya, akhirnya ditarik kesimpulan bahwa pemberontakan ini erat kaitannya dengan Syekh Yusuf. Berupa risalah-risalah dan pesan-pesan yang menggunakan nama samaran.
Di Makassar “Kittakna Tuan LoEta (kitab tuan LoE ku) atau Pasanna Tuanta (pesan tuanku)” di Banten disebut Ngelmu Aji Karang atau Tuan She. Akhirnya diputuskan Syekh Yusuf dan 49 rombongannya untuk dipindahkan dari Ceylon ke Kaap (Afrika Selatan). Dan dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 1693 setelah 9 tahun beliau di Ceylon di usia 68 tahun, dengan menaiki kapal “Voetboeg”. Dan sampai di pantai Afrika pada tanggal 2 April 1694, selama 8 bulan 23 hari perjalanan.
Tapi api perjuangannya tidak pernah padam oleh ruang dan waktu beliau tetap mengobarkan semangat warga Afrika Selatan untuk merdeka dan membentuk komunitas muslim disana yang memang menjadi daerah buangan politik tempat itu sekarang dikenal dengan Macassar Faure