Dusta terhadap seorang nabi, dusta terhadap seluruh nabi
Sebagaimana dipahami bahwa para nabi memiliki tujuan yang sama sehingga dapat disimpulkan, inkar terhadap kenabian seorang nabi sama saja dengan inkar terhadap kenabian seluruh nabi. Seorang mukmin semestinya mengikuti perkataan Quran (2 : 136), “……… Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka ……….’ Maksudnya menerima risalah seorang nabi meniscayakan menerima risalah seluruh nabi. Demikian pun halnya, meninggalkan ajakan dan petunjuk seorang nabi akan meniscayakan meninggalkan seluruh nabi.
Dalam Quran (15 : 80) dijelaskan, “Dan sesungguhnya penduduk-penduduk kota al-Hijr (kaum Tsamud) telah mendustakan rasul.” Padahal dalam kota al-Hijr, hanya terdapat seorang nabi saja dan pada nabi itulah mereka menentang. Perkataan ini mempertegas bahwa perkataan seorang nabi yang ada di kota al-Hijr merupakan perkataan seluruh nabi, baik itu nabi sebelumnya maupun setelahnya. Pada tempat lain Quran (26 : 176) menjelaskan, “Penduduk al-Aikah telah mendustakan para rasul.” Penduduk itu telah menolak ajakan Nabi Syu’aib dan bahkan mereka mencelanya. Dan tindakan mereka berarti telah mendustakan seluruh nabi.
Prinsip Keempat : Menyuguhkan Penjelasan, Kitab, dan Timbangan
Salah satu dari prinsip para nabi ialah memberikan penjelasan-penjelasan berupa dalil-dalil dan bukti-bukti yang nyata seperti mukjizat, selain itu mempresentasikan juga kitab dan timbangan. Dalam Quran (57 : 25) menjelaskan, “Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab samawi dan neraca (pemisah yang hak dan yang batil dan hukum yang adil) supaya manusia bertindak adil. Dan Kami menciptakan besi. Pada besi ini terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka memanfaatkannya) dan (juga) supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) dan para rasul-Nya padahal ia tidak melihat-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
Para nabi dibekali dengan lentera di tangan satunya dan ditangan lainnya dengan senjata. Tujuan utama senjata tersebut bukan untuk menyerang dan membunuh, namun untuk menjaga lentera. Maksudnya jika ada orang yang ingin memadamkan lentera tersebut maka senjata akan menghalanginya. Pada prinsipnya, tangan kiri dengan pedang dan tangan kanan dengan lentera. Lentera guna memberi cahaya kepada manusia dan mencerahkannya. Dalam Quran (14 : 1) dijelaskan, “Supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita (kemusyrikan dan kebodohan) kepada cahaya terang benderang (iman dan pengetahuan)”, dan oleh karenanya, jika ada yang menginginkan lentera ini padam akan terhalangi dengan pedang yang ada di tangan kirinya sebagaimana dalam Quran (5 : 64) “Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya.”
Keniscayaan Mukjizat
Mukjizat adalah sebuah peristiwa yang dilakukan oleh seorang nabi dimana peristiwa itu tak mungkin dapat dilakukan oleh orang lain. Peristiwa berupa mukjizat, dimiliki oleh semua nabi dan menjadi karekteristik semua nabi. Melalui mukjizat tersebut para nabi dapat membuktikan eksistensi kenabiannya sehingga manusia tak lagi mengingkari wahyu. Para nabi dibekali mukjizat karena pada umumnya manusia tidak dapat memahami argumentasi akal. Argumentasi akal yang dipaparkan oleh nabi dalam membuktikan kenabian dan risalah tidak berlaku secara umum. Oleh karenanya para nabi dalam membuktikan kenabian dan risalahnya, selain dibekali hujjah argumentasi akal, dibekali pula dengan mukjizat.
Sebagaimana dipahami, argumentasi rasio bersifat abstrak dan berjarak dengan indrawi. Jika kebanyakan manusia lebih dekat dengan indrawi maka argumentasi akal hanya bermanfaat untuk sebagian orang dan karenanya tidak bermanfaat bagi sebagian lainnya. Berbeda dengan mukjizat karena posisi mukjizat bagai tanda yang nyata sehingga berguna bagi semua manusia dan tak dapat diingkari. Jadi mungkin saja ada orang yang inkar atas argumentasi akal dikarenakan kejahilannya, namun mukjizat tak dapat diinkari kecuali Dalam bentuk pengelakan.
Berkenaan dengan kaum Tsamud, Allah SWT berfirman dalam Quran (17 : 59), “Dan telah kami berikan kepada kaum Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat menjelaskan (segala sesuatu), tetapi mereka menganiayanya.” Namun yang mesti dipahami, mukjizat ini berbeda dengan ilmu-ilmu dikjaya dan ilmu-ilmu gaib lainnya karena dalam mukjizat ada aspek penegasan atas kenabiaan. Di lihat dari sisi ini, dalam memahami mukjizat tetap dibutuhkan kontemplasi akal secara mendalam. Namun di sisi lain, dikarenakan fenomena mukjizat disaksikan secara langsung dengan persepsi indrawi, tentu tak butuh kepada analisa akal sehingga dengannya fenomena mukjizat tersebut diinkari. Pada umumnya fenomena mukjizat dapat dipersepsi dengan persepsi indrawi.
Tuhan menjelaskan risalah para nabi dengan memberikan mukjizat kepada mereka sehingga mereka yang mengingkari risalah setelah mendapatkan hujjah sepenuhnya akan mendapatkan kutukan dari Tuhan. Dalam Quran (8 : 42) dijelaskan, “Sehingga orang yang binasa itu binasa dengan hujjah yang nyata dan agar orang yang hidup (dan mendapat petunjuk) itu hidup dan (mendapat petunjuk) dengan hujjah yang nyata (pula).” Jika sebuah persoalan mesti dijelaskan dengan menunjukkan mukjizat dan masih ada saja orang yang inkar dihadapan nabi, Tuhan akan mengakhiri hidup mereka setelah menunjukkan hujjah sepenuhnya.
Mukjizat para nabi terkadang ditunjukkan tanpa didahului dengan permintaan dari masyarakat, dan terkadang juga didahului dengan permintaan dari mereka. Jika satu kaum menginginkan agar seorang nabi tersebut menunjukkan mukjizatnya, nabi akan menunjukkan kepada mereka dan tentu dengan izin Tuhan.
Ada juga sebagian manusia yang beriman kepada nabi dan kenabian dengan menganalisa asumsi-asumsi perkataan nabi yang sampai padanya, tanpa perlu mukjizat dalam menerima eksistensi kenabian. Namun sebagian besar manusia, pertama-tama disuguhkan mukjizat untuk membuktikan kenabian setelah itu barulah mereka menerima ajakan nabi.
Jika terdapat sebagian dari manusia yang inkar setelah ditunjukkan mukjizat kepada mereka, pada saat itu Tuhan akan memberikan jenjang waktu khusus padanya. Jika pengingkarannya masih berlanjut, azab Tuhan akan menimpa dirinya.
Mesti dipahami bahwa mukjizat para nabi akan terjadi hanya dengan seizin Tuhan. Salah satu ajaran para nabi ialah berkaitan dengan tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah menjelaskan bahwa tak ada yang dapat memberikan pengaruh di alam ini kecuali Tuhan. Oleh karenanya, jika mukjizat itu terjadi secara sepenuhnya dan berasal dari diri nabi serta tanpa keterlibatan Tuhan maka akan bertentangan dengan ajakan dan ajaran nabi mengenai tauhid rububiyah. Oleh karena itu, jika para nabi mengatakan ‘kami adalah nabi’ dan kami mampu menunjukkan mukjizat, hal ini bermakna bahwa kenabian bersandar sepenuhnya kepada Ilahi dan mukjizat tersebut tidak mungkin terjadi tanpa seizin Tuhan.
Jiwa malakuti yang kuat yang dimiliki seorang nabi menjadi wadah aliran emanasi eksistensi. Kekuatan jiwa para nabi dapat dipahami dengan sebuah perumpamaan jiwa manusia yang meliputi dan mendominasi badannya. Sebagaimana dipahami, jiwa kita mampu memerintahkan dan mendominasi badan kita. Begitu pula dengan jiwa para nabi, melalui izin Tuhan mampu mendominasi alam semesta seluas dengan wilayah yang dimiliki seorang nabi. Namun wilayah seorang nabi di bawah naungan wilayah Ilahi. Oleh karenanya tak dapat dipahami bahwa wilayah nabi ini independen dan terpisah dari wilayah Tuhan. Dalam Quran (13 : 38) Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tak seorang rasul pun berhak mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu).” (MN)