“Istighfar merupakan senandung yang selalu didendangkannya”
Jejak langkah Rabi’ah perlu kita tapak tilasi, terlebih lagi di era yang semakin mementingkan materi dan dipenuhi dengan kebohongan-kebohongan ini.Semoga saja kehidupan yang digelimangi cinta sebagaimana dicontohkan Rabi’ah itu bisa kita renungkan, teladani, dan jabarkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Pada malam Rabi’ah dilahirkan ke atas dunia, tidak ada sesuatu barang berharga yang dapat ditemukan di dalam rumah orang tuanya, karena ayahnya adalah seorang yang sangat miskin. Si ayah bahkan tidak mempunyai minyak barang setetes pun untuk pemoles pusar puterinya itu. Mereka tidak mempunyai lampu dan tidak mempunyai kain untuk menyelimuti Rabi’ah.Si ayah telah memperoleh tiga orang puteri dan Rabi’ah adalah puterinya yang keempat. Itulah sebabnya mengapa ia dinamakan Rabi’ah (artinya ke-empat).
“Pergilan kepada tetangga kita si anu dan mintalah sedikit minyak sehingga aku dapat menyalakan lampu”, isterinya berkata kepadanya.Tetapi si suami telah bersumpah bahwa ia tidak akan meminta sesuatu jua pun dari manusia lain. Maka pergilah ia, pura-pura menyentuhkan tangannya ke pintu rumah tetangga tersebut lalu kembali lagi ke rumahnya.
“Mereka tidak mau membukakan pintu”,ia melaporkannya kepada isterinya sesampainya di rumah. Isterinya yang malang menangis sedih. Dalam keadaan yang serba memprihatinkan itu si suami hanya dapat menekurkan kepala ke atas lutut dan terlena. Di dalam tidurnya ia bermimpi melihat Nabi. Nabi membujuknya: “JanganIah engkau bersedih, karena bayi perempuan yang baru dilahirkan itu adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang di antara kaumku.”
Kemudian Nabi meneruskan; “Besok, pergilah engkau menghadap ‘Isa az-Zadan, Gubernur Bashrah. Di atas sehelai kertas, tuliskan kata-kata berikut ini: ’Setiap malam engkau mengirimkan shalawat seratus kali kepadaku, dan setiap malam jum’at empat ratus kali. Kemarin adalah malam jum’at tetapi engkau lupa melakukannya.Sebagai penebus kelalaianmu itu berikanlah kepada orang ini empat ratus dinar yang telah engkau peroleh secara halal’.”
Ketika terjaga dari tidurnya, ayah Rabi’ah mengucurkan air mata. Ia pun bangkit dan menulis seperti yang telah dipesankan Nabi kepadanya dan mengirimkannya kepada gubernur melalui pengurus rumahtangga istana.
“Berikanlah dua ribu dinar kepada orang-orang miskin”, gubernur memberikan perintah setelah membaca surat tersebut, ”sebagai tanda syukur karena Nabi masih ingat kepadaku. Kemudian berikan empat ratus dinar kepada si syaikh dan katakan kepadanya: ’Aku harap engkau datang kepadaku sehingga aku dapat melihat wajahmu. Namun tidaklah pantas bagi seorang seperti kamu untuk datang menghadapku.Lebih baik seandainya akulah yang datang dan menyeka pintu rumahmu dengan janggutku ini. Walaupun demikian, demi Allah, aku bermohon kepadamu, apa pun yang engkau butuhkan katakanlah kepadaku’.”Ayah Rabi’ah menerima uang emas tersebut dan membeli sesuatu yang dirasa perlu.
Rabi’ah al-Adawiyah memiliki nama lengkap Ummu al-Khair bin Isma’il al-Adawiyah al-Qisysyiyah. Lahir di Bashrah Iraq diperkirakan pada tahun 95 H. Rabi’ah termasuk dalam suku Atiq yang silsilahnya kembali pada nabi Nuh.
Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan orang saleh yang penuh zuhud.Seperti anak-anak sebayanya Rabi’ah tumbuh dan dewasa secara wajar. Yang menonjol darinya ialah ia kelihatan cerdik dan lincah daripada kawan-kawannya. Tampak juga dalam dirinya pancaran sinar ketakwaan dan ketaatan yang tiada dimiliki olehteman-temannya.Ia juga memiliki keistimewaan lain yaitu kekuatan daya ingatnya yang telah dibuktikan dengan kemampuannya menghafal Al-Quran saat usianya 10 tahun.
Pendidikan yang didapatkan Rabi’ah adalah pendidikan informal yang diberikan oleh ayahnya secara langsung. Biasanya ia dibawa ke sebuah mushallah yang jauh dari hiruk pikuk keramaian di pinggiran kotaBashrah. Di sinilah ayah Rabi’ah sering melakukan ibadah dan munajat, berdialog dengan Sang Khalik. Di tempat yang tenang dan tenteram tersebut akanmudah mencapai kekhusyukan dalam beribadah dan bisa mengkonsentrasikan pemikiran pada keagungan dan kekuasaan Allah. Kondisi kehidupan keluarga Rabi’ah yang saleh dan zuhud besar pengaruhnya bagi pendidikan putri kecil tersebut.
Masa remaja Rabi’ah dilalui tanpa kedua orang tuanya, karena mereka telah meninggal dunia pada saat ia beranjak dewasa. Hal itu menyebabkan kehidupan Rabi’ah dan kakak-kakaknya semakin parah kondisinya sehingga memaksa mereka untuk meninggalkan gubuknya. Rabi’ah dan semua saudaranya terpencar satu sama lain. Mereka berkelana ke berbagai daerah untuk mencari penghidupan.Dalam pengembaraan ini, Rabi’ah jatuh ke tangan perampok dan dijual sebagai hamba sahaya dengan harga yang murah, yaitu sebesar 6 dirham.
Kehidupan dalam belenggu perbudakan telah mengisi lembar hidup Rabi’ah.Tuannya memperlakukannya dengan sangat bengis dan tanpa perikemanusiaan.Tetapi Rabi’ah menjalaninya dengan sabar dan tabah.Shalat malam tetap dilakukannya dengan rutin, lisannya tidak pernah berhenti berzikir, istighfar merupakan senandung yang selalu didendangkannya.
Dan pada suatu malam, tuannya mendengar rintihannya dan doanya. Hal ini sangat menyentuh hatinya hingga akhirnya ia pun memerdekakannya. Setelah merdeka, kehidupan Rabi’ah tetap lurus dalam jalan dan petunjuk AllahSWT. Dengan kebebasan yang diperolehnya, ia curahkan hidupnya di masjid-masjid dan tempat-tempat pengajian agama. Ia kemudian menjalani kehidupan sufi dengan beribadah dan merenungi hakikat hidup. Tidak ada sesuatupun yang memalingkan hidupnya dari mengingat Allah.
Dalam perjalanan selanjutnya, kehidupan sufi telah menjadi pilihannya. Rabi’ah menepati janjinya pada Allah untuk selalu beribadah kepada-Nya sampai menemui ajalnya.Ia selalu malakukan shalat tahajjud sepanjang malam hingga fajar tiba. Rabi’ah tidak tergoda kehidupan duniawi, hatinya hanya tertuju pada Allah, ia tenggelam dalam kecintannya pada Allah SWT dan beramal demi keridhaan-Nya.
Rabi’ah telah menempuh jalan kehidupannya sendiri dengan memilih hidup zuhud dan hanya beribadah kepada Allah. Selama hidupnya ia tidak pernah menikah, walaupun ia seorang yang cantik dan menarik. Rabi’ah selalu menolak lamaran lelaki yang meminangnya.Pangkat, derajat, dan kekayaan tidak mampu memalingkan cinta pada kekasihnya Allah SWT.
Rabi’ah dikenal sebagai sufi yang mengembangkan paham tentang mahabbah (cinta). Baginya Tuhan adalah zat yang dicintai dan rasa cintanya yang mendalam hanya kepada Tuhan.Karena itu, dia mengabdi dan melakukan amal saleh bukan karena takut masuk neraka atau mengharap masuk surga, tetapi karena cintanya pada Allah.Cintalah yang mendorongnya ingin selalu dekat dengan Allah dan cinta itu pulalah yang membuat dia bersedih dan menangis karena takut terpisah dari yang dicintainya.Pendek kata, Allah baginya merupakan zat yang sangat dicintainya, bukan sesuatu yang harus ditakuti.
Di antara ucapan-ucapannya yang melukiskan tentang konsep zuhud yang dimotivasi cinta adalah:
“Wahai Tuhan! Apapun bagiku dunia yang Engkau karuniakan kepadaku.Berikanlah semuanya kepada musuh-musuh–Mu. Dan apapun yang Engkau akan berikan kepadaku kelak di akhirat, berikan saja pada teman-teman–Mu. Bagiku, Engkau pribadi sudah cukup.”
Tampak jelas bahwa cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah begitu penuh meliputi dirinya, sehingga sering membuatnya tidak sadarkan diri karena hadir bersama Allah, seperti terungkap dalam lirik syairnya:
“Kujadikan Engkau teman dalam berbincang dalam kalbu.
Tubuhkupun biar berbincang dengan temanku.
Dengan temanku tubuhku berbincang selalu.
Dalam kalbu terpancang selalu Kekasih cintaku.”
Sebuah contoh menceritakan tentang cahaya dengan kerinduan hati yang terbakar semata-mata ditempati oleh ketakutan kehilangan Allah, tampak dalam dialog sebagai berikut. Ia ditanya:
“Apakah Anda cinta setan, wahai Rabi’ah, ataukah membencinya?”
Dijawab Rabi’ah, “Cintaku yang begitu besar kepada Allah, sepenuhnya melarangku untuk membenci setan.”
Parapenanya masih memaksanya, dan terus mengajukan pertanyaan:
“Apakah Anda cinta Nabi dan kedamaian atas beliau?”
Dan Rabi’ah menjawab, “Demi Allah, aku sangat mencintainya.Tetapi cintaku kepada Sang Pencipta telah terisi penuh dan mencegahku dari cinta terhadap makhluk.”
Kata-kata ini tidak pernah dimaksudkan sebagai ketidakimanan terhadap Nabi.Jawaban itu dimaksudkan bahwa tidak ada ruang yang tersisa dalam hatinya untuk mencintai sesuatu dengan tulus kecuali Allah. Dalam bukunya The Rainks Of The Saints, al-Manawi berkata:
“Dalam doa-doanya, Rabi’ah menyerahkan dirinya seribu kali siang dan malam dan ketika ditanya, “Apakah yang Anda cari dengan semua ini?”Ia menjawab, ‘Aku tidak mencari pengajaran. Aku mengerjakan semuanya barangkali Allah dan Nabi berkenan, dan menyampaikan kabar kepada Nabi-nabi lainnya, ‘Lihat, ada seorang perempuan dari ummatku dan inilah karyanya’.”
Oleh karena itu, Rabi’ah ingin mencintai Nabi, damai bersamanya, ia berharap semua perempuan merasa dimuliakan dengan apa yang dilakukannya. Ia mencintai Nabi dan berharap berjumpa dengan beliau pada Hari Pembalasan.
Riwayat lain menyebutkan bahwa ia selalu menolak lamaran pria-pria salih, dengan mengatakan: “Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri.Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik–Nya.Aku hidup dalam naungan firman–Nya.Akadnikah mesti diminta darinya, bukan dariku.”
Rabi’ah selalu melakukan shalat malam hingga fajar menjelang, dan ketika ia sakit, ia tidak bisa melakukan shalat malam dan akhirnya menggantinya dengan membaca Al-Quran di siang hari. Sementara tetesan air mata selalu mengiringi doa-doa yang dilantunkannya.Ia menangis bukan karena kemiskinannya atau karena ia tidak dihormati, melainkan ia menangis karena rindu akan “Kekasihnya” Allah SWT.
Ekspresi lain yang dilakukannya yaitu, menggali kuburnya sendiri di rumah. Dan diceritakan, ia biasa berdiri di samping lubang kubur tersebut, pagi dan sore hari sambil berkata “besok engkau pasti berada di sini”, kemudian ia banyak melakukan ibadah. Selama 40 tahun ia memelihara kebiasannya ini hingga wafatnya.Perilaku demikian menunjukkan bahwa Rabi’ah ingin segera bertemu dengan ‘kekasihnya’, dan itu akan dijumpainya pada saat rohnya terlepas dari jasadnya. Di samping itu, perilaku demikian juga menyadarkan dirinya bahwa kehidupan di dunia harus diisi dengan aktivitas sebagai bekal kehidupan di akhirat kelak.
Rabi’ah mencapai usia kurang lebih 90 tahun, bukan semata-mata usia yang panjang, tapi merupakan waktu yang penuh berkah hidup yang menyebar di sekelilingnya, suatu kehidupan yang menyebarkan bau wangi yang semerbak ke daerah sekitarnya, bahkan sampai sekarang hikmah dari ajaran-ajarannya masih dapat dirasakan.
Seorang wanita yang menghijabi dirinya dengan keikhlasan agama, seorang yang selalu membara oleh api cinta dan kerinduan kepada Tuhan. Seorang yang selalu terpikat oleh kecenderungannya untuk selalu dekat dengan Tuhannya dan dilumatkan oleh keagungan menyatu dengan-Nya, seorang wanita yang telah menanggalkan dirinya guna menyatu dengan Yang Agung. … Rabi’ah al-Adawiyah (95-185 H / 713-801 M)…