Oleh : Syaikh Jawadi Amuli
HAJI, seperti juga halnya ibadah-ibadah lain, memiliki etika, sunnah dan kewajiban yang sebagian di antaranya merupakan bimbingan (petunjuk). Sebagian bersifat sunnah dan sebagian lain bersifat wajib. Seluruh etika, sunnah, dan kewajiban haji bertujuan untuk meraih sifat Tsubutiyah (sifat yang tetap pada Zat Allah) dan menjauhkan diri (manusia) dari sifat Salbiyah (sifat yang mesti dihilangkan dari Zat Allah).
Manusia, dipandang dari sisi bahwa ia merupakan penampakan keberadaan Zat suci Allah dan khalifah-Nya, memiliki sifat-sifat tsubutiyah (baik) dan salbiyah (buruk). Sifat-sifat kejiwaan (mengandungi) sifat tsubuti (baik) dan sifat salbi (buruk) manusia. Sementara, sifat kesempurnaan adalah sifat baik manusia. Manusia berkewajiban menggapai sifat kesempurnaan dan menjauhkan diri dari sifat kekurangan.
Benar, sifat tsubuti dan salbi nampak dalam bentuk sifat baik dan buruk. Maksudnya, pertama-tama manusia harus membersihkan diri dari sifat-sifat buruk, kemudian menghias diri dengan kemuliaan akhlak serta menjadi penampakan (sifat) keindahan dan kemuliaan Tuhan. Dan, haji adalah salah satu amal perbuatan paling mulia yang menjamin hal-hal tersebut bagi manusia.
Apabila seseorang tidak mengetahui rahasia haji, namun tetap pergi menunaikan haji, ia tidak akan dapat melaksanakannya secara sempurna. Haji tersebut tidaklah termasuk jamuan Allah baginya. Bisa saja, hukum haji tersebut sah, namun tidak akan diterima. Sebab, ruh orang yang menunaikan haji tidak akan mencapai tingkat yang tinggi tanpa memahami rahasia-rahasia haji.
Agar kita mampu memahami rahasia-rahasia haji dengan lebih baik, maka kita harus mempelajari sunnah dan sejarah orang-orang yang menunaikan ibadah tersebut dengan benar. Para pelaku haji sejati ini adalah para ma’shumin (orang–orang suci, Rasululullah SAW dan Ahlul Baitnya). Mereka memahami benar etika haji, memperhatikan perbuatan mustahab (sunnah) haji, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban haji. Disamping hukum-hukum lahiriah ini, mereka juga memperhatikan sandaran takwini (penciptaan) hukum-hukum tersebut.
Setiap orang yang pergi ke Mekah, belum tentu mengetahui rahasia-rahasia tersebut. Orang yang mengetahui rahasia-rahasia haji adalah orang yang memahami sumber hukumnya
Imam Al-Sajjad berkata,“Ketika anda membersihkan diri di Miqat, maka maksudnya adalah bahwa anda menyucikan diri dari kemunafikan dan riya, bukan hanya membersihkan dan menyucikan badan, sebab, (itu) merupakan tanda dan simbol kesucian hati. Di saat anda melakukan ihram, maka maknanya adalah bahwa apapun yang Allah haramkan bagi anda, maka anda harus mengharamkannya kepada diri anda sendiri dan anda (juga harus) berjanji untuk tidak pernah melanggar batasan haram (tersebut).”
Dalam keadaan ihram, beberapa perbuatan diharamkan sementara, atas manusia dan setelah ihram ia menjadi halal kembali. Misal, mencabuti (atau mencukur) rambut, bercermin, membunuh binatang, berburu, dan sebagianya. Namun beberapa perbuatan bersifat haram secara mutlak. Ketika Imam al-Sajjad berkata, “Saat melakukan ihram, apapun yang Allah haramkan atas anda, maka anda harus mengharamkannya untuk diri (anda) sendiri,” maka yang dimaksud dalam ucapan ini bukanlah pengkhususan bagi hal-hal haram di saat melakukan ihram, namun semua perbuatan maksiat. Melakukan ihram di Miqat maknanya adalah, “Wahai Tuhanku! Aku berjanji untuk mengharamkan bagi diriku sendiri semua perbuatan haram dan aku meninggalkan itu untuk selamanya.”
Perbuatan lain adalah akad ihram, ini terdiri dari tiga bagian. Pertama, mengenakan dua pakaian ihram (dua kain yang tak berjahit). Kedua bertujuan (berniat) haji atau umrah. Ketiga, mengucapkan kata-kata Labbaik (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu)
Benar, akad ihram terjadi melalui tiga perbuatan ini, ketika seseorang mengucapkan labbaik, berarti ia telah mulai melakukan ihram dan melaksanakan akadnya. Imam al-Sajjad berkata, “Apakah anda tahu apa yang dimaksud dengan akad ihram? Rahasianya adalah ketika orang yang berhaji berkata, Tuhanku, aku telah putuskan hubunganku dengan selain diri-Mu dan hanya kepada-Mu aku bergantung.”
Akad dan janji ini disertai dengan sebuah jalan keluar, yaitu putus hubungan dengan selain Allah, pertama-tama adalah putus hubungan dengan selain Allah dan selanjutnya adalah bergantung kepada-Nya, Imam al-Sajjad berkata, “Pabila seseorang, di Miqat, ketika melakukan ihram, tidak terlintas dalam hatinya kata-kata, “Tuhanku! Aku telah putuskan hubungan dengan apapun selain (dengan) diri-Mu. Dan hanya kepada-Mu hatiku bertaut, maka ia pada hakikatnya tidak ke Miqat dan tidak melaksanakan ihram!”
Shalat ihram adalah shalat yang dilaksanakan di Miqat. Shalat dalam kondisi ihram adalah mustahab (sunnah) hukumnya. Meskipun sebagian ulama berfatwa ihtiyat wujubi (wajib dilaksanakan untuk berhati-hati), namun mereka juga berfatwa bahwa shalat ihram hukumnya mustahab. Makna shalat ini, ketika melakukan ihram, adalah, “Tuhanku! Melalui tiang agama-Mu, aku mendekatkan diri kepada-Mu.”
Penyucian Lisan
Arti ucapan labbaik dalam keadaan ihram adalah, “Tuhanku! Apa yang benar akan aku ucapkan dan apa yang salah tidak akan pernah aku ucapkan.” Maksudnya , ketika seseorang mengucapkan, “Labbaik,” maka rahasia ucapan ini adalah penyucian lisan dari semua bentuk maksiat lisaniah, ya, lidah adalah sesuatu yang kecil, namun kejahatan yang ditimbulkannya adalah besar. Banyak dosa yang muncul melalui perantaraan lisan. Kejahatan lisan ini dapat berbentuk gunjingan, fitnah, kebohongan, kepalsuan, dan penghinaan.
Imam al-Sajjad berkata, “Rahasia dibalik ucapan labbaik adalah, “Wahai Tuhanku, aku berjanji…apapun yang merupakan bentuk ketaatan kepada-Mu, maka aku akan mengucapkannya dengan lisanku, dan apapun yang merupakan maksiat kepada-Mu, maka lisanku tidak akan mengucapkannya.”
Ya, kesaksian palsu adalah dosa dan maksiat; orang yang melakukan haji tidak akan pernah memberikan kesaksian palsu, ia tidak akan menggunjing, berbohong, ataupun memfitnah. Ia juga tidak akan menghina orang lain. Lisan orang yang berkunjung ke rumah Allah adalah lisan yang suci. Rahasia dibalik ucapan labbaik adalah bimbingan bagi lisan ke arah ketaatan pada Allah dan menjauhkannya dari maksiat. Dan ini tidak hanya terbatas di saat pelaksanaan ibadah haji dan umrah saja, namun untuk selamanya.
Imam al-Sajjad selanjutnya bertanya kepada syibli, “Apakah anda telah memasuki batas Masjidil Haram dan Mekah? Apakah anda telah berziarah ke Kabah?”
Syibli menjawab, “Ya”
Masjidil–Haram dan Mekah memiliki perbatasan tertentu, Batas Masjidil Haram adalah jelas dan batas Kabah pun jelas. Perbatasan Masjidil Haram, dalam beberapa bagiannya, lebih kecil ketimbang perbatasan Mekah. Selain Muslim, tidak diperbolehkan masuk kesana, kecuali orang yang menjadi penduduk Mekah dan setiap hari mondar-mandir ke sana, atau orang yang sebelumnya melakukan ihram dan masa satu bulan belum berlalu. Memang ada beberapa pengecualian, sebab, jika tidak demikian, maka siapapun tidak berhak memasuki perbatasan dan batas Masjidil Haram.
Rahasia memasuki Masjidil Haram adalah, “Ya Allah, Tuhanku … Aku tidak akan menggunjing, mengucapkan kata-kata kotor , dan mencari-cari kekurangan orang lain, di antara kalangan pengikut Islam, perbuatan ini aku haramkan atas diriku sendiri.”
Dalam hadis tersebut, Imam al-Sajjad berkata, “Ketika anda memasuki Mekah, apakah anda mengetahui rahasia dibalik memasuki tanah suci ini? Rahasianya adalah, “Tuhanku, aku telah datang menuju pada-Mu, bukan untuk tujuan berdagang, mencari popularitas, mengganti nama, melancong, tamasya, dan sebagainya.”
Ketika seseorang melewati batas-batas tersebut, berarti ia telah memasuki Masjidil Haram, ia telah berziarah ke kabah dan melakukan thawaf, serta berhubungan dengan empat rukun (sudut), yaitu rukun Hajar Aswad, Syami, Mustajar, dan Yamani. Semua ini merupakan bagian dari sunah dan etika thawaf. Setelah itu, ia mendatangi sisi maqam Ibrahim dan melakukan shalat thawaf dua rakaat.