Perspektif

Refleksi Seorang Muslim Yang Peduli Atas Penindasan

Buletinmitsal.com – Jika aku ceritakan kepada kalian secara pribadi kisah ini, ini karena aku ingin berbagi pengalaman pribadiku dengan kalian. Menjadi perhatianku karena ini berkaitan dengan kelas, komunitas, negara dan sejarah. Aku akrab dengan pemikiran orang-orang berpendidikan, para pendahuluku, dari masa lalu, dimana mereka menghilang dalam arus sejarah, ketika kemiskinan menyerang, aku, secara pribadi, aku terhubung oleh bangsawan tetapi bukan bangsawan yang terbentuk oleh perak dan emas! Aku tertarik dengan warisan manusia dan peradaban, ketertarikanku selalu pada merenungkan maha karya manusia-manusia yang mendiami bumi ini sebelum kita.

Di Yunani, aku melihat kuil Delphi yang membuatku kagum karena keindahan artistik dan keterampilannya. Di Roma, aku mengunjungi museum seni dan arsitektural kuil dan istana megahnya. Di Timur Jauh, di Cina dan Vietnam, di sana ada pegunungan yang dibentuk oleh tangan-tangan dan otak manusia untuk para dewa dan wakil dewa di muka bumi. Ini adalah warisan manusia yang berharga bagiku! Saat musim panas, selama kunjunganku ke Afrika, aku putuskan untuk melihat tiga piramid di mesir. Karena area yang luas, monumen peradaban yang hebat ini menguasai seluruh pikiranku. Aku bergegas untuk melihat salah satu dari tujuh keajaiban dunia pada masa lalu, Piramid!

Dengan sepenuh hati, aku mulai mendengarkan penjelasan dari pemandu wisata tentang struktur piramid. Kita telah belajar bahwa para budak harus membawa delapan ratus juta bongkah batu dari Aswan ke Kairo untuk membangun enam piramid besar dan tiga piramid kecil. Delapan ratus juta bongkah batu dibawa ke Kairo dari suatu tempat yang terletak sejauh Sembilan ratus delapan puluh mil untuk membangun sebuah bangunan dimana tubuh-tubuh para Firaun yang dimumikan akan disemayamkan. Di dalamnya, makam-makam dibuat dari lima bongkah marmer. Empat bongkah untuk dindingnya dan satu bongkah untuk langit-langitnya. Untuk membayangkan betapa beratnya bongkahan marmer yang digunakan untuk langit-langitnya, yang cukup mampu menggambarkan hal tersebut pada bongkah batu itu, jutaan bongkah batu ditumpuk satu sama lain hingga mencapai puncak piramid. Sejak lima ribu tahun lalu, langit-langit ini menahan beban sebesar itu.

Aku tertarik oleh pekerjaan yang menakjubkan ini. Dengan rentang tiga hingga empat ratus tahun, aku lihat beberapa bongkah batu yang terserak. “apa itu?” Aku bertanya kepada pemandu. Ia menjawab, “Bukan apa-apa. Hanya beberapa bongkah batu”. Tiga ribu budak dengan bongkah-bongkah batu yang berat dari ratusan mil jauhnya, setiap hari, ratusan dari mereka remuk tertimpa bongkah-bongkah itu. Tempat dimana saya bertanya itu adalah dimana mereka dikuburkan. Begitu tidak pentingnya mereka yang merupakan bagian dari sistem perbudakan, ratusan mayat mereka dikuburkan secara bersamaan dalam satu liang. Mereka yang masih bertahan hidup harus membawa beban berat itu. Aku katakan kepada sang pemandu bahwa aku hendak melihat para budak yang diremukkan hingga menjadi debu. Ia berseru, “tidak ada yang bisa dilihat!” Dia menunjuk ke kuburan para budak yang dikuburkan dekat piramid atas perintah para Firaun, ini dilakukan agar ruh mereka akan kembali bekerja sebagai budak sebagaimana tubuh-tubuh mereka pun bekerja sebagai budak.

Aku minta sang pemandu meninggalkan aku sendiri. Aku kemudian pergi ke makam-makam itu dan duduk, merasakan sangat dekat dengan yang dikubur di liang-liang itu. Aku merasa sebagai ras yang sama dengan mereka. Benar bahwa setiap kita berasal dari area geografi yang berbeda tetapi perbedaan ini bukanlah dasar alasan untuk membagi-bagi umat manusia. Dari fenomena ini muncullah konsep “asing” dan “kerabat”. Aku tidak terlibat dengan sistem klasifikasi dan pembagian ras. Oleh karena itu, aku tidak merasakan apapun kecuali perasaan hangat dan simpati kepada jiwa-jiwa tertindas ini. Aku menengok kembali ke arah piramid-piramid itu dan merasakan meski sedemikian megahnya, namun itu semua sangat asing dan jauh dariku! Dengan kata lain, aku merasa sangat membenci kepada monumen-monumen peradaban megah itu yang melalui sejarah telah dibangun di atas tulang-tulang para pendahuluku! Para pendahuluku yang juga membangun dinding besar Cina. Mereka yang tidak dapat membawa beban akan diremukkan oleh beratnya batu dan dimasukkan ke dinding-dinding dengan batu-batu. Inilah bagaimana monumen-monumen besar peradaban dibangun dengan biaya dari daging dan darah para pendahuluku!

Aku memandang peradaban sebagai sebuah kutukan. Aku merasakan kebencian yang membakar terhadap ribuan tahun penindasan atas para pendahuluku. Aku menyadari bahwa perasaan mereka yang dikubur bersamaan dalam liang-liang sekaligus, sama denganku. Akupun kembali dari kunjunganku ke sana dan menulis sebuah surat untuk salah satu dari mereka, yang menggambarkan apa yang telah terjadi setelah lima ribu tahun dari mereka. Dia tidak hidup dalam ribuan tahun itu, tetapi perbudakan diadakan dalam suatu bentuk atau bentuk yang lain.

Aku duduk, dan aku tuliskan untuknya: “Sahabatku, engkau telah tinggalkan dunia ini, tetapi kami sekarang sedang membawa beban-beban untuk peradaban megah, kemenangan-kemenangan, dan pekerjaan heroik. Mereka datang kerumah-rumah kami dan pertanian kami dan memaksa kami, bagai binatang perahan, untuk membangun makam-makam mereka. Jika kami tidak dapat membawa batu-batu itu, atau menyelesaikan pekerjaan kami, kami juga akan dimasukkan ke dalam dinding-dinding dengan batu! Yang lainnya berbangga dan mengambil keuntungan dari pekerjaan yang kami lakukan. Tidak pernah menyebutkan kontribusi yang kami buat.

Kami dipaksa untuk memerangi orang yang kami bahkan tidak tahu siapa mereka dan merekapun tidak tahu siapa kami. Kami dipaksa untuk membunuh orang-orang yang kami tidak membencinya. Sebagian bahkan dari satu kelas kami sendiri, satu ras dan takdir. Selama sekian lama, orangtua-orangtua kami yang tua dan tak berdaya mencari jalan untuk menghubungi kami, tapi mata-mata mereka yang menelusuri mencari kami, tidak pernah menemukan jawaban. Menurut para pemikir, pertempuran ini seperti pertempuran antara dua yang saling tidak mengetahui satu sama lain, yang bertempur untuk mereka yang saling mengetahui satu sama lain dengan baik! Mereka paksa kami untuk bertempur, membantai dan dibantai. Ayah-ayah kami dan ibu-ibu kami dan juga pertanian mereka yang hancur, menderita kerugian. Jika kemenangan dicapai, maka orang lainlah yang menikmati hasilnya, dan bukan kami.

Sahabatku, setelah kematianmu, sebuah perubahan besar terjadi. Para Firaun dan kekuatan-kekuatan besar sejarah merubah pandangan mereka. Ini membuat kami bahagia. Sebelumnya, mereka meyakini bahwa jiwa mereka abadi, oleh karena itu tubuh mereka diawetkan, sehingga jiwa mereka akan tetap berhubungan dengan  tubuh mereka. Itu sebabnya mereka membuat kita membangun bangunan-bangunan kejam itu. Namun, sekarang mereka menjadi lebih bijak. Mereka tidak berpikir lagi tentang kematian. Kabar bagus untuk kami! Mereka telah menyerah dengan kepercayaan lama mereka. Kami terhindar dari mengangkut delapan ratus bongkah batu dari sejauh ratusan mil untuk membangun makam!

Sahabatku, sayangnya kabar baik ini terbukti berumur pendek! Setelah kematianmu, mereka menginjakkan lagi kaki mereka ke negeri-negeri kami untuk menangkap kami sebagai para pekerja. Sekali lagi, kami harus membawa beban, namun bukan untuk makam mereka, mereka sudah tidak peduli lagi dengan itu semua. Sekarang, untuk membangun istana-istana mereka, istana agung mereka, di samping generasi kami dikuburkan! Kami hidup dengan keputusasaan, tetapi sekali lagi kilatan cahaya harapan untuk bertahan hidup, nampak. Para nabi besar datang. Ada Zoroaster, Budha, dan Confucius yang agung san filsuf. Gerbang menuju keselamatan dibuka. “Tuhan-Tuhan” mengirimkan para utusan mereka untuk menyelamatkan kami dari aib perbudakan, ibadah telah menggantikan kekejaman. Namun sayang, kami tidak beruntung. Para nabi, yang meninggalkan rumah kenabian mereka dan mengabaikan kami, berjalan menuju ke istana-istana. Kami memiliki keimanan yag kuat dengan Conficius sang filusuf, karena ia telah menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan manusia dan komunitasnya. Namun, dia juga menjadi teman para pangeran. Budha, yang seorang pangeran, juga meninggalkan kita. Ia telah berbalik dalam dirinya sendiri untuk mencapai tingkat “Nirvana”, tetapi kami tidak pernah tahu dimana tingkatan ini. Budha telah mengembangkan banyak aturan-aturan pertapaan yang hebat. Adapun Zoroaster, ia memulai misinya dari Azerbaijan, Iran.

Dengan mengabaikan penderitaan kami dan goresan-goresan luka dari cemeti pada tubuh-tubuh kami oleh sang penguasa, dia melanjutkan ke Balkh dan ke Istana Kashtasib, raja saat itu. Sahabatku, kalian dikorbankan untuk makam-makam, sedang kami dikorbankan untuk istana-istana! Tiba-tiba, di samping para Firaun dan yang lainnya yang telah mempekerjakan kami sebagai para budak, Nampaklah di sana mereka yang mengaku diri mereka sebagai para pengganti para nabi dan para guru-guru spiritual yang ahli.

Dari Iran hingga Palestina, dari Mesir hingga Cina dan seluruh bagian dari bumi dimana peradaban pernah ada, kami harus membawa beban-beban batu-batu untuk membangun kuil-kuil, istana-istana dan makam-makam. Sekali lagi atas nama kedermawanan, para wakil “Tuhan” dan para pengganti para nabi menjarah kita. Lagi, atas nama perang suci, kami didorong ke medan perang. Kami harus mengorbankan anak-anak tak berdosa kami untuk “Tuhan”, kuil dan sesembahan!

Sahabatku, selama ribuan tahun, takdir kami menjadi lebih buruk dari takdir kalian. Tiga-perlima dari kekayaan di Iran mengalir ke para Moubedan (sebutan untuk pendeta Iran), atas nama tuhan. Kami menjadi para pelayan mereka dan budak-budak mereka. Empat-perlima kekayaan di perancis berasal dari kami melalui para ulama Tuhan. Sang ulama Firaun dan para pengajar agama selalu sukses…

Sahabatku, aku hidup ribuan tahun setelahmu. Menyaksikan seluruh penderitaan kawan-kawanku, aku mulai merasakan bahwa “Para Tuhan” membenci para budak. Agama nampaknya memperkuat sistem perbudakan. Bahkan orang yang lebih pandai dari kita, seperti Aristoteles, berteori bahwa, secara alami, beberapa orang dilahirkan sebagai budak dan yang lain sebagai pengatur. Aku mulai percaya aku dilahirkan dan ditakdirkan sebagai budak. Ditengah semua keputus-asaan ini, aku telah belajar bahwa seorang manusia yang turun dari pegunungan berkata, “Aku diutus oleh Tuhan.” Aku gemetar dan berpikir ini mungkin penipuan baru atau metode baru kekejaman. Dia berkata “Aku diutus oleh Tuhan yang telah menjanjikan untuk mengasihi para budak dan orang-orang lemah di muka bumi ini.” Aku terkejut! Aku tetap belum dapat mempercayai itu. Apakah ini benar?! Tuhan berbicara dengan para budak, memberikan mereka kabar-kabar baik untuk keselamatan dan kebahagiaan dan pewaris bumi.

Aku ragu, aku berpikir bahwa dia juga salah satu dari para nabi dari Cina, India dan lainnya. Namanya Muhammad. Aku dikabarkan bahwa dia seorang yatim, seorang gembala dari belakang pegunungan itu. Aku terkejut. Mengapa Tuhan memilih nabinya dari para gembala? Aku juga diberitahu bahwa leluhurnya juga adalah para nabi, seluruhnya dipilih dari para gembala. Dia yang terakhir dalam urutannya. Dengan sukacita dan keheranan aku menjadi tidak mampu berkata apa-apa dan gemetar. Apakah benar Tuhan memilih nabi-Nya dari kelas kita?

Aku mulai mengikutinya karena aku lihat kawan-kawanku mengelilinginya. Beberapa di antara mereka menjadi para pemimpin dari pengikutnya: Bilal, seorang budak dan putra seorang budak yang orang tuanya berasal dari Abyssinia, Salman, seorang tunawisma dari Persia yang menjadi budak, Abu Dzar yang dihantam kemiskinan dan orang tidak jelas dari gurun, dan terakhir Salim, budak istri Khudaifa dan seorang alien kulit hitam yang tidak dianggap penting.

Aku percaya pada nabi Muhammad karena istananya tidak lebih dari beberapa kamar yang terbuat dari lempung. Dia berada di antara para pekerja yang membawa beban-beban dan membangun kamar-kamar. Istananya terbuat dari kayu dan daun pohon kurma. Inilah segala yang ia punya. Inilah istananya.Aku terbang dari Persia dan aturan para moubedan yang mendorong kami sebagai budak ke dalam perang untuk melindungi kekuasaan mereka dan dari musuh mereka. Aku keluar dan datang ke negeri sang nabi untuk hidup dengan para budak, tunawisma, orang-orang tak berdaya, dan bersamanya. Tetapi kemudian ia wafat, “kelopak matanya tertutup oleh beratnya kematian, menutup cahaya matahari kami”. Sekali lagi, situasi mulai kembali memburuk.

Sahabatku, sekali lagi dengan namanya, tempat-tempat ibadah megah menjulang ke langit. Pedang-pedang yang diukir dengan ayat-ayat Al Quran pada perang suci diarahkan ke kami. Para wakilnya menjejakkan kaki ke rumah-rumah kami dan mengambil para pemuda kita sebagai budak untuk para kepala kabilah dari kabilah mereka, menjual ibu-ibu kami pada pasar-pasar yang jauh, membunuhi para lelaki kami atas nama perjuangan di jalan Tuhan, dan menjarah hak milik kami atas nama amal derma.

Dalam keputusasaan, Aku tidak dapat berbuat apapun! Sebuah kekuatan datang menjadi – dengan penampilan pengesaan Tuhan – benar-benar menyembunyikan berhala-berhala di dalam tempat-tempat ibadah untuk tuhan! Api abadi (api yang menjadi api suci sebelum islam di Persia) kini berkobar. Atas nama kekhalifahannya Tuhan dan pengganti para nabi, wajah-wajah Firaun dan para orang-orang suci palsu bergandengan tangan. Mereka mulai menyerang kami atas nama hukum. Sekali lagi, rantai-rantai perbudakan diikatkan di leher-leher kami untuk membangun bangunan masjid agung di Damaskus. Perlombaan untuk membangun masjid indah, istana-istana megah, rumah-rumah indah para khalifah di Damaskus dan munculnya seribu satu malam di Baghdad yang semuanya dikerjakan dengan harga dari darah kita dan hidup kita; tetapi, sekarang dikejar atas nama Tuhan! Kami pikir sudah tidak ada jalan keluar. Perbudakan dan pengorbanan adalah takdir-takdir kami yang tak dapat dirubah!

Siapa itu manusia yang bernama Muhammad? Apakah misinya adalah penipuan? Atau, apakah dia dan kami sedang dikorbankan dalam sebuah sistem yang dimana kita semua sedang membusuk dalam penjara-penjara; menyaksikan penjarahan dan penghancuran harta dan keluarga kita, dan sedang dibantai? Aku tidak tahu kemana kita harus pergi! Kemana seharusnya aku pergi. Haruskah aku pergi ke para Moubedan? Bagaimana aku dapat kembali ke kuil-kuil itu yang dibangun untuk memperbudakku? Ataukah aku harus bergabung dengan mereka yang mengaku sebagai contoh kebebasan bangsa kami tetapi  pada dasarnya mereka berusaha untuk mendapatkan hak-hak mereka pada masa lalu? Masjid-masjid tidak ada bedanya dengan kuil-kuil itu!

Aku telah melihat pedang-pedang yang diukir dengan ayat-ayat Al Quran pada perang suci, aku telah melihat tempat-tempat ibadah. Aku telah melihat mereka yang shalat. Aku telah melihat wajah-wajah orang suci yang berbicara atas nama kepemimpinan spiritual, para khalifah, dan para pelestari sunnah nabi. Namun demikian, secara berjamaah mereka membawa kami ke PERBUDAKAN! Mereka, jauh sebelum era-ku, membawa sesorang kepada pedang di dalam masjid. Dialah Ali, menantu sang manusia utusan Tuhan. Dia dibunuh ditempat dimana Tuhan disembah. Dia sebelumku, dan keluarganya jauh sebelum keluargaku, mereka sebagaimana budak-budak yang menderita sepanjang sejarah, semuanya dimusnahkan. Atas nama “amal derma”, rumahnya dijarah sebelum rumah-rumah kita. Al-Quran jauh sebelumnya telah digunakan sebagai alat untuk merampok dan mengeksploitasi kami, diangkat, untuk mengalahkan Ali!

Betapa anehnya! Lima ribu tahun setelahnya, aku temukan seseorang yang berbicara tentang Tuhan, bukan untuk para penguasa namun untuk para budak. Dia beribadah, namun bukan untuk mencapai “Nirvana” tidak pula untuk menipu orang tidak pula untuk bersatu dengan Tuhan (seperti orang-orang Persia). Dia beribadah untuk kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia. Aku menemukan manusia untuk seluruh umat di dunia. Dialah manusia keadilan, seseorang yang kuat dan disiplin untuk membuat saudara tua laki-lakinya sebagai subyek pertama. Dialah manusia yang istri, anak perempuan dari nabi Muhammad, bekerja dan menderita kekurangan dan kelaparan, seumur hidupnya, sebagaimana kita. Aku temukan manusia yang anak-anaknya adalah pewaris bendera merah yang sepanjang sejarah adalah milik kelas kita.

Sahabatku, aku telah mencari perlindungan di rumah ini yang dibangun dari lempung karena rasa takutku akan kuil-kuil, istana angkuh yang kalian ketahui, dan untuk dikorbankan oleh kekuatan-kekuatan tangguh. Para sahabat nabi sibuk. Rumah itu kini sendirian. Istrinya menjelang kematian sementara dia di kebun bani hajjar, bekerja dan menceritakan kepada Tuhan seluruh kesengsaraan kita. Karena takut akan kuil-kuil yang mencekam, istana dan kas yang terkumpul melalui para pekerja dan darah kami, aku mengambil perlindungan di dalam rumah ini untuk berkabung atas pengorbanan yang telah dibuat.

Sahabatku, mereka yang masih setia dengan Ali berada di kelas kita yang menderita. Dia tidak menggunakan khutbah-khutbah indahnya (seperti dalam Nahj Al-Balaghah) untuk memaklumi kekurangan kami tidak pula memaklumi kegandrungan yang mencari kekuasaan. Itu semua diambil untuk mendidik dan menyelamatkan kami. Dia tidak menghunuskan pedang untuk membela dirinya, keluarga, rasnya tidak pula untuk mempertahankan penguasa-penguasa besar. Dilakukannya untuk menyelamatkan kami pada seluruh level. Dia berpikir lebih baik Socrates, bukan untuk menunjukkan kebajikan fana pada kelas-kelas mulia dimana tidak ada tempat bagi para budak., tetapi demi nilai-nilai yang kami miliki. Dia bukanlah pewaris para Firaun atau kelas yang sama dengan mereka. Dialah lambang pemikiran dan pertimbangan, bukan pada perpustakaan yang tertutup, sekolah dan pusat akademis sebagaimana mereka yang memperoleh pengetahuan, sebagai pangkal dalam dirinya sendiri, hidup dalam dunia teori dan tetap acuh tak acuh dengan kelas kaum lapar dan menderita. Pemikirannya terbang jauh meninggi. Secara bersamaan, pemikirannya yang abstrak dan hatinya diubahnya menjadi rasa simpati atas kesedihan yang nampak pada raut wajah anak-anak yatim. Sekarang, karena ia menyadari keagungan Tuhan, selama ia beribadah dia tidak memperhatikan atas kepedihan atas luka sayatan belati pada tubuhnya. Namun, karena sebuah penindasan atas seorang wanita yahudi, ia menangis keras dan berkata “jika seseorang mati karena aib ini dia tidak seharusnya disalahkan!” ia memiliki kemampuan yang hebat untuk mengekspresikan dirinya, namun tidak pernah seperti yang dilakukan Shah Nameh (seorang penyair yang mengagungkan raja-raja) yang tidak menyebut kelas kami kecuali satu dari enam ribu syairnya-syairnya.

Sahabatku, pada saat ini pada komunitas ini, kita sangat membutuhkan dia. Dia bukan seperti para pemikir, filsuf dan lainnya yang baik merupakan manusia pemikir tanpa aksi dan perjuangan atau manusia-manusia dengan aksi tanpa pemikiran, kebijaksanaaan dan kesalehan. Jika kami bayangkan seseorang disampingnya memiliki seluruh kualitasnya, mungkin ia tidak mungkin memiliki kelembutan perasaan, cinta dan semangat. Mungkin ia akan kurang kuat iman terhadap Tuhan. Dialah manusia yang hakekatnya menerobos ke seluruh dimensi kemanusiaan. Sebagaimana engkau dan aku, ia bekerja sebagai buruh. Tangan sama yang mencatat garis-garis petunjuk ilahi, masuk ke dalam tanah, menyebar benih dan memupuk tanah-tanah bergaram. Dia bekerja bukan untuk siapapun! Ketika ia membuat air dari dalam tanah menyembur keluar, keluarganya melihatnya dengan suka cita. Sebelum dia dan istrinya istirahat, dia nyatakan “kabar baik untuk para pewarisku yang tidak akan memperoleh bahkan satu tetes dari air ini sebagai bagian mereka”.. Sahabatku, dia telah melakukan amal itu untuk aku dan engkau.

Kita membutuhkannya. Kita membutuhkan kepemimpinan seperti dia. Peradaban, sistem pendidikan, dan agama-agama telah membuat manusia seperti binatang yang hanya tertarik pada keamanan keuangan, atau egoisme, atau ahli ibadah yang tak berperasaan atau manusia-manusia pemikiran dan alasan, yang kehilangan perasaan, cinta dan inspirasi dan juga pengetahuan, kebijaksanaan dan logika. Tetapi dialah manusia yang mengkombinasikan seluruh dimensi ini ke dalam dalam orang-orangnya. Dialah seorang pemimpin dari kelas pekerja dan mereka yang menderita. Dialah ungkapan kekuatan yang berjuang mensejahterakan komunitasnya. Ketulusan, kesetiaan, kesabaran, ketabahan, dan konsep-konsep revolusi dan keadilan adalah agenda utama dari pesan-pesan hariannya kepada massa.

Sahabatku, aku hidup dalam suatu kelompok dimana aku menghadapi sistem yang mengendalikan separuh dari jagad ini mungkin semuanya. Manusia sedang dikendalikan masuk ke dalam kubu perbudakan yang baru. Meski kami tidak dalam perbudakan fisik, kami benar-benar ditakdirkan dengan nasib lebih buruk dari nasibmu! Pemikiran kami, hati kami, kekuatan kehendak kami diperbudak. Atas nama sosiologi, pendidikan, seni, kebebasan seksual, kebebasan keuangan, eksploitasi cinta, dan cinta diri, keimanan atas tujuan, keyakinan atas tanggung jawab kemanusiaan dan percaya pada satu saja madrasah pemikiran, semuanya diserabut dari dalam hati kami! Sistem telah mengubah kami menjadi pot-pot kosong yang menerima apapun yang dituangkan kedalamnya!

Sekarang, kami atas nama kelompok, darah dan tanah dan sistem melawan sistem, sedang mengalami perpecahan, sehingga setiap dari kita dapat dengan mudah dimasukkan ke dalamnya. Pengikutnya yang merupakan pengikut dari madrasah pemikirannya, didorong untuk saling berkelahi satu dengan yang lain. Mengapa, dalam pengaruh global mereka menganggap satu sama lain sebagai musuh? Satu membiarkan tangannya bergantung saat shalat sedang yang lainnya menyedekapkannya. Satu sujud pada sekeping tanah sementara yang lain pada karpet. Untungnya sedikit perbedaan yang telah dibuat sekarang! Para pemikir kami didorong kepengasingan, mereka telah menjadi wali-wali tuhan.

Sahabatku, ketahuilah bahwa ketika engkau menjadi budak, engkau dapat mengidentifikasi tuanmu. Engkau dapat menerima bekas lecutan cambuk pada tubuhmu, tetapi tidak mampu mengetahui mengapa itu ada pada tubuhmu. Siapa yang membuat kami menjadi budak-budak di negeri kami? Dari mana kami diserang? Mengapa kami harus tunduk dengan pemikiran-pemikiran yang menyesatkan. Mengapa kami terlibat ibadah-ibadah duniawi? Seperti binatang, kami telah menjadi korban eksplotasi bahkan lebih dari ras dan era-mu. Kami bekerja untuk sistem-sistem, kekuasaan, mesin-mesin dan istana-istana yang dipertahankan melalui kerja-kerja kami. Kekayaan dikumpulkan melalui kerja keras kami namun bagian kami sangatlah kecil; oleh karena itu, kami diharuskan bekerja di hari berikutnya. Kami semua lebih menderita darimu! Kekejaman dan diskriminasi lebih parah dari zamanmu!

Sahabatku, Ali telah mengorbankan hidupnya untuk pertimbangan-pertimbangan ini: madrasah pemikiran, persatuan dan keadilan. Itu Nampak jelas dalam duapuluh-tiga tahun perjuangan dan pengorbanannya unuk membangun iman keimanan dalam hati-hati para kelompok-kelompok barbar. Itu nampak jelas dalam duapuluh-lima tahun kebungkamannya dan bertahannya demi untuk menjaga persatuan Islam dan menjaganya dari bahaya kekaisaran Roma dan Persia. Itupun nampak jelas dalam lima tahun bekerjanya dan penderitaanya untuk mendapatkan keadilan, menggunakan pedangnya untuk menghancurkan kebencian dan membebaskan manusia. Meski dia tidak mampu mencapai ini, dia telah berhasil memberikan kepada kita makna kepemimpinan atas manusia dan agama. Dia menempatkan hidupnya dan hidup keluarganya dalam tiga slogan ini: Pemikiran, persatuan dan keadilan!

Oleh : DR. Ali Shariati

 (Diterjemahkan oleh Mochammad Baagil) 

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: