Memahami Sifat-Sifat Ilahi
Setelah pembahasan tauhid berakhir, selanjutnya kami akan memaparkan pembahasan mengenai sifat-sifat Ilahi dalam beberapa bagian. Kami akan mengawali pembahasan ini dengan mendefinisikan nama (ism) dan sifat beserta pengaplikasiannya jika disematkan kepada Tuhan. Selanjutnya kami akan membahas mengenai bagaimana selayaknya menyifatkan sesuatu kepada Tuhan dan sekaligus menjawab pertanyaan apakah kita bisa sampai kepada sifat Tuhan? pada bagian keempat akan menganalisa pembagian secara universal sifat-sifat Tuhan.
Definisi Nama dan Sifat
Dalam definisi nama (ism) dikatakan bahwa nama adalah kata yang menunjukkan atas makna atau zat dan secara konsep berdiri sendiri dan dengan sendirinya dapat dipersepsi. Misalnya ketika kita mengatakan ‘Hasan’, kata ini menunjukkan atas zat yaitu pada seorang tertentu dan kata ini juga merepresentasikan dirinya. Ketika kita mengatakan ‘ilmu’, kata ini menunjukkan atas makna tertentu dan benak kita akan mengantarkan dari kata tersebut kepada makna yang dimaksud. Jenis pertama disebut dengan nama zat (ism zat) dan yang kedua disebut dengan nama makna (ism makna). Sisi kesamaan kedua hal itu:
Pertama, keduanya adalah makna yang terpisah dari waktu, maksudnya keduanya tidak seperti perbuatan (fi’il) yang menunjukkan atas waktu tertentu. Aspek ini sekaligus menjadi pembeda antara nama (ism) dan perbuatan (fi’il).
Kedua, keduanya adalah konsep yang independen dimana benak kita mampu menkonsepsi masing-masing dari makna tersebut secara independen. Berbeda dengan konsep ‘huruf’ [maksud dari huruf disini adalah kopula] seperti konsep ‘dari’ atau ‘ke’ yang tidak dapat dikonsepsi dengan sendirinya. Aspek ini sekaligus menjadi pembeda antara nama (ism) dan huruf (kopula).
Dalam mendefinisikan sifat dikatakan bahwa sifat adalah kalimat yang menyifatkan nama dan juga memberikan penjelasan mengenainya. Ketika kita mengatakan bahwa ‘Hasan adalah seorang ilmuan’, dalam susunan kata ini, kata ‘Hasan’ menunjukkan atas seseorang tertentu tanpa menjelaskan karekteristik apapun dari orang tersebut. Namun kata ‘ilmuan’, selain menunjukkan atas orang tersebut, juga menjelaskan sebuah karekteristik dari orang tersebut kepada diri kita yaitu karekteristik ilmuan. Jika kata ini tidak ada, kita pun tidak akan tahu dan juga tidak akan pernah sampai kepada kesempurnaan ilmunya. Melalui penjelasan ini akan jelas perbedaan antara nama dan sifat. Nama adalah kata yang menunjukkan atas suatu konsep tanpa menjelaskan mengenai apapun dari nama tersebut dan juga tidak menggambarkan karekteristiknya. Sedangkan sifat adalah kata yang menunjukkan atas konsep tertentu namun dengan memperhatikan karekteristik tertentu. Dalam kata lain, ketika sebuah sifat kita gunakan pada sesuatu tertentu, sebenarnya kita telah menjelaskan sesuatu tersebut. Di saat kita mengatakan ‘lelaki itu seorang penyair’, dalam susunan ini, ‘penyair’ telah menunjukkan karekteristik lelaki tersebut, tentu dari sisi sebagaimana dia sebagai seorang penyair. Begitu juga ketika kita mengatakan ‘ilmu yang bermanfaat’, bermanfaat di sini kaitannya dengan ilmu dari sisi manfaatnya.
Berdasarkan pada dua definisi sebelumnya, setiap ada pembahasan tentang nama Tuhan, maka yang dimaksud adalah sebuah kata yang menunjukkan atas zat Tuhan Yang Mahasuci. Maksudnya sebuah hakikat yang meliputi seluruh sifat-sifat kesempurnaan dan nama ini adalah lafaz jalalah ‘Allah’. Kemudian setiap kita membicarakan sifat-sifat Tuhan, maka yang dimaksud adalah sebuah kata yang menunjukkan satu aspek tertentu dan pandangan tertentu terhadap zat Tuhan, seperti sifat Yang Mahakuasa yang menunjukkan zat yang kuasa, begitu juga dengan sifat-sifat lainnya seperti Mahamendengar, Mahamelihat, Mahamengetahui, Mahabijaksana, Maha Pencipta, Maha Pemberi rezeki, dan lain-lain.
Terkadang nama digunakan pada sebuah makna cakupannya lebih luas sehingga meliputi juga sifat-sifat. Dalam istilah ini, nama adalah kata yang menunjukkan sebuah konsep, baik itu sebagai penunjuk atas karakter tertentu sebagai mishdaq dari konsep tersebut atau pun juga tidak. Oleh karena itu, segala sifat-sifat berdasarkan istilah ini terbilang sebagai nama, dan juga sifat-sifat Ilahi tersebut, bisa juga dianggap sebagai asma Ilahi. Berdasarkan hal ini akan terlihat dengan jelas mengapa penggunaan kata ‘asma’ (jamak dari ism) banyak digunakan dalam Quran dan juga dalam hadis.
Perlu diingatkan di sini bahwa sesuai dengan istilah pertama pada bab nama dan sifat, maka Tuhan hanya memiliki satu atau paling maksimal hanya dua nama saja. Olehnya tidak tepat penggunaan kata ‘asma’ yang menunjukkan lebih dari dua makna. Namun berdasarkan istilah yang kedua penggunaan tersebut bisa dibenarkan.
Bagaimanakah sifat-sifat tersebut disifatkan kepada Tuhan?
Kita menyifatkan segala sesuatu dengan perlakuan yang sama. Terkadang kita mengatakan, ‘makanan itu asin’, makanan itu berminyak, pakaian itu basah, air itu kotor, dan lain-lain. Terkadang kita mengatakan garam itu asin, minyak itu berminyak, air itu mengalir, warna putih adalah putih, batu itu keras dan padat, dan lain-lain. Apakah anda tidak membedakan dua jenis penyifatan di atas? Apakah ketika kita mengatakan makanan itu asin, maknanya persis sama ketika kita mengatakan garam itu asin? Jika kita menganalisa lebih jauh kalimat ini akan menunjukkan bahwa sifat-sifat pada kalimat-kalimat pertama, satu pun tidak ada yang menyifatkan atas zat dirinya sendiri, namun sifat yang berkaitan di luar zat dirinya. Contohnya makanan, jika tak ada garamnya, tak ada minyaknya, makanan tersebut tidak akan disifatkan dengan sifat asin atau berminyak. Demikian pula halnya, jika pakaian tidak bersentuhan dengan air tidak bisa dikatakan bahwa pakaian tersebut basah.
Berbeda dengan kalimat yang kedua, tak satu pun sifat yang disifatkan padanya berkaitan dengan sesuatu di luar dirinya, namun sifat-sifat tersebut adalah objek sesuatu itu sendiri. Misalnya garam pada esensinya adalah asin dan tidak mungkin ada garam namun tidak disifatkan asin pada garam tersebut. Minyak jika tidak berminyak tentu bukan minyak. Air jika tidak memiliki sifat mengalir tentu bukan air. Namun mungkin saja bentuknya berubah, misalnya pada esensi batu, tidak meniscayakan bentuk tertentu, namun kondisi bentuknya bergantung pada syarat-syarat yang ada pada realitas eksternal.
Berdasarkan pada apa yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dikatakan bahwa kita memiliki dua jenis sifat yang kita predikatkan pada sesuatu: Pertama, suatu sifat yang kita sematkan pada sesuatu setelah sumber sifat tersebut yang berasal dari luar ditambahkan pada objek yang disifati, seperti asin bagi makanan. Kedua, suatu sifat dimana objek yang disifati dalam penyifatannya pada sifat tersebut tidak membutuhkan untuk ditambahkan pada sesuatu yang di luar dari zat dirinya. Namun mental atau pikiran kita mengabstraksi secara langsung sifat tersebut tanpa memandang realitas luar. Dalam kata lain, pandangan tertentu ini memandang pada objek yang disifati dan selanjutnya mengabstraksi salah satu dari eksistensi dirinya dan dinisbahkan kembali padanya. Air sebagaimana air memiliki sifat mengalir, basah, dan lembab. Juga berpotensi untuk menguap dan juga membeku serta potensi-potensi lainnya. Namun ketika kita mengatakan air mengalir, benak kita langsung tertuju pada dimensi tertentu yaitu keberadaan air. Oleh karenanya, sifat tertentu inilah yang kita abstraksi dari realitas air yaitu sifat mengalir. Kemudian mungkin saja kita mengabstraksi kembali dengan melihat aspek lainnya sehingga kita dapat mengabstraksi aspek kelembaban dan atau aspek-aspek lainnya. Seperti ini proses pengabstraksian sebuah sifat yang kita raih dari sebuah realitas. Di saat kita mengatakan wujud wajib, wujud mumkin, wujud sebab, wujud akibat, wujud substansi, dan wujud aksiden, dan lain-lain, sifat-sifat tersebut semuanya kita sematkan pada realitas dan objek yang kita sematkan padanya adalah eksistensi. Proses tersebut diabstraksi oleh mental kita yang biasanya disebut dengan konsep universal sekunder filsafat.
Selanjutnya, setelah menjelaskan beberapa pembahasan di atas, pertanyaan selanjutnya yang mesti kita jawab adalah bagaimanakah sifat-sifat tertentu disifatkan kepada Tuhan? Jika sebuah sifat kita nisbahkan kepada Tuhan, apakah jenisnya seperti dalam bentuk pertama atau yang kedua?
Dalam menjawab pertanyaan ini dan dengan memperhatikan pembahasan tauhid dalam sifat yang telah dijelaskan sebelumnya, terlihat dengan jelas bahwa sifat Tuhan adalah zat-Nya itu sendiri dan bukan di luar dari zat-Nya. Oleh karenanya bentuk penyifatan sifat jalal dan jamal kepada Tuhan dengan bentuk yang kedua. Maksudnya zat Yang Mahasuci adalah ilmu-Nya, kuasa-Nya, hidup-Nya itu sendiri. Bukan dalam pengertian bahwa ilmu adalah sesuatu seperti kualitas jiwa yang di luar dari zat Ilahi dan barulah setelah itu Tuhan mengetahui sebagaimana dalam pembahasan ilmu hushuli.
Diterjermahkan dari Buku : “Ămuzesy-e ‘Aqâ‘id” Tim Penulis : Mohsen Gharaveyân, Mohammad Reza Ghulâmî, Sayed Mohammad Husain Mirbâqerî).