Apa Kita Berhak Menyifatkan Suatu Sifat kepada Tuhan ?
Dalam persoalan ini secara umum terdapat tiga pandangan. Dua pandangan terjebak pada titik ekstrim dan pandangan ketiga dianggap sebagai pandangan moderat. Pertama-tama kami akan mengangkat dua pandangan tersebut yaitu yang lebih dikenal dengan pandangan tasybih dan pandangan tanzih, kemudian kami akan menjelaskan pandangan yang ketiga sebagai pandangan yang benar menurut hemat kami.
Pandangan Tasybih
Para pengikut pandangan ini meyakini bahwa manusia bisa menyifatkan Tuhan, bahkan disematkan kepada Tuhan dengan sifat jismaniyah. Mereka meyakini bahwa Tuhan bisa dilihat. Ibn Taimiyah dengan bersandar pada perkataan Ibn Hanbal yang dinukil dari sebuah hadis berkata bahwa pada malam jumat Tuhan turun dari arasy. Pandangan ini disebut dengan tasybih atau musyabbiha karena menyifatkan Tuhan dengan sifat jismani dan menyematkan juga kepada Tuhan dengan sifat-sifat yang bercampur dengan sifat-sifat kekurangan.
Mereka juga menggunakan dalil dalam membuktikan pandangannya. Namun pandangan mereka tidak sejalan dengan rasio dan akal sehat. Hal ini telah kami jelaskan dalam pembahasan pembuktian Tuhan. Pada pembahasan tersebut telah kami jelaskan bahwa Tuhan bukan materi. Pembahasan selanjutnya akan kami tegaskan kembali bahwa Tuhan bukan materi, tak dapat dilihat, dan tak punya ruang, dan seterusnya. Berdasarkan hal ini pandangan kelompok ini tidak dapat diterima.
Namun ayat yang mereka gunakan dalam membuktikan pandangan mereka salah satunya dalam surah Al-Fajr : 24 “Dan datanglah Tuhan-mu dan para malaikat hadir berbaris-baris.” Pada awal surah Thaha : 5 “Tuhan Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arasy.”
Di sini perlu dipahami bahwa ayat-ayat di atas termasuk ayat-ayat mutasyabihāt. Sebagaimana dipahami ayat-ayat mutasyabihāt mesti dikembalikan pada ayat muhkamāt. Dalam surah Ali Imran : 7, Allah SWT berfirman “Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Al-Quran) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah pokok-pokok isi Al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihât. Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya . . .”
Terdapat ayat Quran yang secara langsung menafikan pandangan tasybih, seperti dalam surah As-Syura : 11 “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” Kemudian hal lainnya, ketika kita bersandar pada satu teks ayat Quran, mesti dianalisa apakah ada teks lainnya yang secara lahiriah bertentangan dengan ayat tersebut atau tidak. Maksudnya dalam Quran kita temukan ada ayat tertentu yang bersifat umum, namun ayat tersebut bisa saja terinci melalui ayat lainnya yang berkenaan dengannya atau juga dirinci oleh hadis sahih sehingga dengan gabungan dua ayat tersebut kita akan mengetahui maksud dari pembicara. Melalui pendekatan rasio juga bisa memahami ayat Quran pada aspek lahiriahnya. Karena jika akal bukan salah satu media untuk memahami, lalu bagaimana mungkin kita bisa membuktikan mengenai esensi keberadaan seorang Nabi, dan jika tidak ada akal bahkan Tuhan pun tidak bisa kita buktikan apalagi jika ingin membuktikan sifat-sifatnya. Oleh karena itu jika keberadaan Tuhan bisa dibuktikan dengan rasio dan kita menerima argumentasinya maka tentu sifat-sifat-Nya pun bisa dibuktikan dengan akal.
Oleh karena itu, jika akal dapat membuktikan keberadaan Tuhan dan pada saat yang sama argumentasi akal berperan dalam proses ini. Karena itu berkenaan dengan sifat Tuhan pun dapat dibuktikan dengan akal dan dapat diterima. Jika akal tak dapat membuktikan sifat, tentu tak akan juga bisa membuktikan keberadaan Tuhan karena pembuktian akal mengenai keberadaan Tuhan tentu dibarengi dengan sifat dan karekteristik tertentu. Sekarang jika kita menerima bahwa akal juga bisa berperan dan memberikan hujjah dalam persoalan sifat Tuhan maka mesti dikatakan bahwa berkenaan dengan ayat yang telah disebutkan yaitu “Dan datanglah Tuhan-mu”, datang yang dimaksud di sini bukan seperti datangnya sesuatu yang bersifat jismani, bahkan terdapat penafsiran lainnya yang akan dibahas pada tempatnya sendiri. Begitu juga dengan ayat-ayat lainnya yang mungkin saja secara lahiriyah menunjukkan makna jismani namun dengan petunjuk akal kita dapat mengatakan bahwa hal tersebut tidak demikian.
Pandangan Tanzih
Aliran tanzih ini persis berhadap-hadapan dengan aliran tasybih. Aliran tanzih ini sama sekali tidak membenarkan adanya suatu bentuk penyifatan kepada Tuhan, baik itu sifat yang melazimkan kekurangan pada diri Tuhan seperti sifat jismani atau pun juga yang sifat kesempurnaan pada diri Tuhan. Menurut mereka, sifat-sifat yang diketahui oleh manusia adalah konsep-konsep yang diperoleh dari diri kita sendiri atau pun keberadaan-keberadaan yang serupa dengan diri kita. Oleh karenanya, tidak dibenarkan sifat-sifat tersebut disematkan kepada-Nya. Sifat-sifat yang mungkin kita predikatkan kepada Tuhan bentuknya adalah negasi (sifat salbi). Maksudnya sifat-sifat kekurangan tersebut kita negasikan atau nafikan dari diri Tuhan, misalnya Tuhan ‘tidak jahil’, dan bahkan berkenaan dengan keberadaan Tuhan pun kita hanya bisa mengatakan ‘Tuhan tidak ‘tidak ada’. Kelompok ini telah menanggalkan akalnya berkenaan dengan Tuhan berikut dengan sifat-sifat-Nya. Oleh karenanya kelompok ini juga dikenal dengan kelompok ta’thil yaitu kelompok yang sama sekali tidak mengaplikasikan akalnya berkenaan dengan Tuhan.
Sebagaimana kelompok sebelumnya, kelompok ini juga menggunakan ayat dalam menjustifikasi pandangannya. Misalnya dalam surah An-Nahl : 74 “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah” dan juga dalam surah As-Shaffat : 159 “Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan.”
Analisa atas Aliran Tanzih
Aliran ini mengatakan, kita mengetahui sifat-sifat di dalam diri kita seperti ilmu, hidup, kuasa, ikhtiar, iradah, dan sifat-sifat lainnya. Sifat-sifat ini tidak bisa dipredikatkan kepada Tuhan karena Tuhan berbeda dengan diri kita namun kita bisa menggunakan sifat negasi (salbiyah) untuk disematkan kepada Tuhan. Misalnya kita mengatakan Tuhan tidak jahil, Tuhan tidak lemah, Tuhan tidak terpaksa, dan seterusnya.
Dalam mengkritik pandangan di atas dapat dikatakan bahwa sifat afirmasi (tsubuti) dan sifat negasi (salbi) merupakan sifat yang saling bertentangan dan kategori kontrarinya adalah tiada dan memiliki (malakah). Kejahilan itu tak lain adalah ketiadaan ilmu, dan selama kita tidak memahami konsep ilmu, maka konsep jahil pun sebagai tiada ilmu tak akan diketahui. Oleh karena itu jika kita tidak dapat menyematkan ilmu pada Tuhan maka tentu kita tidak akan mungkin menafikan kejahilan pada diri-Nya karena konsep jahil ini maknanya bergantung pada makna ilmu yaitu tiada ilmu.
Di sini dapat dikatakan, pertama-tama kita menemukan kejahilan dalam diri kita dan selanjutnya kejahilan tersebut yang kita temukan dalam diri kita, kita nafikan dalam diri Tuhan. Dan oleh karena terdapat penafian dan penegasian maka hal ini tidak mengapa kita predikatkan kepada Tuhan bahwa kejahilan tidak terdapat dalam diri Tuhan. Namun gagasan ini juga tidak tepat karena ‘kejahilan’ yang kita temukan dalam diri kita, sebagaimana ilmu kita, merupakan suatu hal yang terbatas. Dan penafian kejahilan yang terbatas ini terhadap sesuatu, mishdaqnya ada dua kemungkinan; 1) mishdaq dari sesuatu yang tidak memiliki kejahilan sama sekali dan itu ilmu mutlak. 2) mishdaq dari sesuatu di mana kejahilannya tak terbatas dan itu kejahilan mutlak.
Oleh karena itu penafian kejahilan yang terbatas terhadap Tuhan juga meliputi pada mishdaq yang kedua. Berkenaan dengan sifat-sifat salbi lainnya pun demikian halnya. Kesimpulannya jika kita tidak dapat menyematkan sebuah sifat afirmasi terhadap Tuhan, tentu sifat negasi pun tidak mungkin dinafikan dari diri-Nya. Oleh karena itu jika aliran tanzih dapat menyematkan sifat negasi pada Tuhan yaitu dengan menafikan sifat-sifat kekurangan terhadap-Nya maka tentu sifat afirmasi pun mungkin disematkan pada-Nya.
Diterjermahkan dari Buku : “Ămuzesy-e ‘Aqâ‘id” Tim Penulis : Mohsen Gharaveyân, Mohammad Reza Ghulâmî, Sayed Mohammad Husain Mirbâqerî). (MN)