Kita dapat menganalisa kritikan aliran ini dalam bentuk yang lain dan dari analisa ini kita dapat menunjukkan jalan keluarnya sembari menjelaskan teori moderat atau jalan tengah. Inti kritikan mereka bermula dari anggapan bahwa mereka menyaksikan sifat-sifat yang ada pada manusia terbatas, oleh karenanya mereka berpikir bagaimana mungkin kita dapat mensematkan sifat-sifat tersebut kepada Tuhan yang wujud-Nya tak terbatas ?!
Dalam menjawab pertanyaan diatas perlu dipahami berkenaan dengan sifat-sifat yang kita sematkan kepada diri kita. Dalam diri kita terdapat sifat-sifat tertentu seperti melihat, mendengar, berkata-kata. Disisi lain sifat hidup, kuasa, mumkin juga kita sematkan kepada diri kita. Apakah kedua jenis sifat-sifat tersebut sama ?
Kedua sifat tersebut tentu berbeda. Sifat-sifat yang pertama adalah sifat-sifat yang berkaitan dengan esensi manusia dan yang kedua adalah sifat-sifat yang berkaitan dengan eksistensi manusia. Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya, benak kita dapat memperhatikan suatu realitas wujud tertentu dan kemudian mengabstraksi suatu sifat tertentu darinya. Misalnya benak kita memahami bahwa realitas alam ini adalah sebuah entitas yang memiliki pencipta. Keberadaan entitas tersebut tidak berasal dari dirinya akan tetapi dari luar dirinya. Berdasarkan hal ini kita mengabstraksi konsep akibat dari realitas entitas tersebut dan konsep sebab dari Sang pencipta. Contoh lainnya seperti kita mengatakan ‘kapan saja kita ingin melakukan sesuatu dan kapan saja kita tidak ingin melakukan sesuatu’ maka dari proposisi ini kita mengabstraksi konsep kuasa. Sifat yang kedua sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya, semua bentuknya seperti ini. Maksudnya adalah sebuah sifat yang diperoleh melalui analisa mental. Namun bentuk sifat yang pertama tidak seperti ini. Maksudnya kita disematkan dengan sifat mendengar atau melihat namun bukan dari sisi bahwa kita memiliki wujud, namun dari sisi bahwa kita adalah wujud tertentu dengan karekteristik tertentu. Dalam kata lain diabstraksi dari sisi esensi diri kita. Maksudnya manusia adalah suatu keberadaan yang memiliki salah satu karekteristik tertentu yaitu memiliki satu anggota tubuh yang disebut dengan mata dimana setelah cahaya menerangi matanya maka suatu bentuk tertentu akan tergambar dalam benaknya sehingga melalui ini sesuatu tersebut dapat terlihat. Melalui hal ini, manusia disifati dengan sifat melihat dan wujud apapun itu yang memiliki karekteristik seperti ini maka kita dapat mensifatinya dengan sifat ini. Namun hanya bersandar pada wujud tidak cukup untuk menyematkan sifat melihat karena sebagian besar dari wujud tidak disifatkan dengan sifat ini meskipun pada saat yang sama mereka memiliki realitas keberadaan. Begitu juga dengan sifat-sifat lainnya seperti sifat mendengar dan berbicara.
Berdasarkan dengan persoalan diatas, ada dua sifat yang disematkan kepada diri kita: satu bagian sifat yang diabstraksi dari eksistensi kita dan bagian lainnya diabstraksi dari esensi kita. Jenis sifat yang pertama disebut dengan ‘kategori sekunder filsafat’ dimana istilah ini tidak meniscayakan kekurangan oleh karena itu sifat ini bisa disematkan kepada Tuhan secara langsung tanpa perlu ada proses sebelumnya, misalnya konsep kuasa, hidup, iradah, wujud dan sifat-sifat lainnya bisa ditemukan dalam diri kita dan dalam bentuknya yang sama bisa pula disematkan pada Tuhan sehingga kita mengatakan Tuhan memiliki kuasa, iradah, hidup, wujud, dan sifat-sifat lainnya. Namun jika suatu sifat bercampur dengan kekurangan dan kelemahan maka jelas sifat-sifat tersebut tidak bisa disematkan kepada Tuhan misalnya sifat sebagai akibat, memiliki materi, ruang, dan waktu. Contohnya sifat sebagai akibat tidak mungkin disematkan kepada Tuhan karena akibat adalah suatu entitas yang wujudnya tidak berasal dari dirinya sendiri namun diberikan oleh wujud yang lain, sementara wujud Tuhan berasal dari dirinya sendiri dan tidak butuh pada wujud yang lain. Berdasarkan hal ini, Tuhan tidak disematkan sifat akibat. Begitu pula dengan sifat-sifat lainnya yang melazimkan kekurangan tidak disematkan kepada Tuhan seperti materi, ruang, waktu, dan segala sifat-sifat salbiyah lainnya.
Adapun jenis sifat yang kedua yang berkaitan dengan esensi manusia, menunjukkan karekteristik tertentu atas manusia dan sifat tersebut hanya bisa disematkan pada jenis keberadaan yang sama yaitu yang memiliki karekteristik tersebut. Jika sifat tersebut ingin digeneralkan dan misdaqnya diperluas kepada segala keberadaan akan meniscayakan menghapus karekteristik-karekteristik partikularnya sehingga sampai melazimkan konsep tersebut tidak lagi memiliki kekurangan dan tidak bergantung pada lainnya. Nah pada saat inilah kita dapat menyematkan sifat tersebut kepada Tuhan. Misalnya jika kita memperluas makna dari konsep melihat dan mendengar sehingga sampai pada pemaknaan ilmu secara mutlak, maka hasil pemaknaan seperti ini bisa disematkan kepada Tuhan. Namun jika sifat tersebut melazimkan sifat kekurangan dan kelemahan maka tentu sifat tersebut tidak disematkan kepada Tuhan. Misalnya pada diri kita disifatkan dengan sifat berjalan. Sifat berjalan ini pada mulanya diabstraksi pada diri kita sendiri yakni kita melangkah dengan dua kaki. Kemudian konsep ini kita perluas pada hewan yang lain dimana sebagian hewan berjalan dengan dua tangan dan dua kaki, bahkan kita dapat memperluas konsep berjalan ini pada hewan yang bergerak dengan merangkak. Tentu konsep berjalan ini tidak disematkan kepada Tuhan dikarenakan akan meniscayakan materi dan perubahan tempat sedangkan Tuhan suci dari materi dan ruang.
Analisa Aliran Tanzih Menurut Quran
Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, aliran tanzih menjelaskan gagasannya dengan bersandar pada Quran. Salah satu ayat yang digunakan dalam surah al-shaffat ayat 159 ‘Mahasuci Tuhan dari segala yang engkau sifatkan’. Begitu juga dalam surah al-nahl ayat 74 ‘Janganlah engkau mengambil perumpamaan bagi Tuhan’.
Kita mesti mengatakan selain dari pada ayat tersebut tidak menunjukkan maksud dari asumsi mereka, juga dengan bersandar pada Quran tak kan dapat dibuktikan aliran tanzih dan tha’thil dengan alasan:
Pertama; aliran ini bertentangan dengan metode Quran karena Quran sendiri yang mensifatkan Tuhan dengan berbagai macam sifat. Kemudian disisi lain ada perintah kepada kita untuk tadabbur dalam Quran dan bahkan ada ayat dalam Quran yang mencela orang-orang yang membaca Qur’an namun mereka tidak berpikir. Sekarang apakah sifat-sifat Tuhan yang telah dijelaskan dalam Quran tersebut merupakan bagian dalam Quran atau tidak ? jika sifat-sifat yang telah dijelaskan dalam Quran dan Quran sendiri yang menjelaskan bahwa mesti tadabbur terhadapnya, lalu bagaimana mungkin kita dapat tadabbur terhadapnya jika mereka aliran tanzih mengatakan bahwa tak ada yang dapat dipahami dari sifat-sifat tersebut !
Sebagai contoh sebagian dari ayat yang menjelaskan sifat-sifat Ilahi sebagaimana dalam surah al-hasyr ayat 22-24 ‘Dia-lah Allah Yang tiada tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah Yang tiada tuhan selain Dia, Raja Diraja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Mengawasi, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa. Dia memiliki nama-nama yang paling baik. Seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana’.
Dalam beberapa riwayat menganjurkan untuk membaca ayat diatas setiap harinya. Apakah anjuran ini sesuai dengan ketidakpahaman kita akan makna-makna ayat tersebut ?! tentu tidak demikian. Bahkan mesti dikatakan agar manusia lebih banyak tadabbur terhadap ayat tersebut. Dalam ayat lain Allah swt secara langsung memerintahkan kepada Rasulullah saw untuk disampaikan kepada hamba-hamba-Nya dalam surah al-hijr ayat 49 ‘Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’. Apakah kita sama sekali tidak memahami ayat ini ?!
Kedua; dalam surah al-nahl ayat 74 ‘Janganlah engkau mengambil perumpamaan bagi Tuhan’ dan surah al-syura ayat 11 ‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya’ ialah ayat yang menjelaskan penafian tasybih (penyerupaan) dan tamtsil (perumpamaan) berkenaan dengan Tuhan. Maksudnya berkenaan dengan Tuhan jangan engkau membuat penyerupaan dan perumpamaan dan secara umum tidak ada hubungannya dengan pensifatan Tuhan dari orang-orang mukmin karena ayat ini diperuntukkan kepada orang-orang musyrik dan pada konteks pelarangan atas perumpamaan secara hakiki terhadap Tuhan.
Ketiga; Dari berbagai ayat yang ada di dalam Quran hanya satu ayat yang bisa digunakan oleh kaum tanzih karena ayat lainnya berkenaan atas anggapan tasybih oleh orang-orang musyrik dan tidak berkenaan dengan pensifatan kepada Tuhan oleh orang-orang beriman. Ayat tersebut adalah dalam surah al-shaffat 159-160 ‘Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan, Kecuali hamba-hamba Allah yang dibersihkan dari (dosa)’.
Dalam menjawab persoalan diatas bahwa ayat yang dimaksud sama sekali tidak dalam posisi untuk melarang dalam mensifatkan Tuhan secara mutlak, namun mengatakan bahwa anda tidak akan sampai pada hakikat dan zat Tuhan melalui konsep-konsep. Pengetahuan manusia dalam konteks pengetahuan hushuli yaitu melalui konsep-konsep dan ide-ide universal adalah sebuah pengetahuan yang lemah.
Penjelasan Persoalan
Konsep-konsep yang kita gunakan pada sesuatu yang ada diluar sebagiannya adalah konsep-konsep esensial yaitu konsep-konsep yang secara langsung diabstraksi dari realitas eksternal dan pada realitas eksternal memiliki misdaq dan juga mental kita dalam mengabstraksi hal tersebut tidak butuh proses analisis. Konsep-konsep seperti ini disebut dengan konsep ‘kategori primer’ atau konsep-konsep esensi seperti konsep manusia, pohon, air, dan lain-lain.
Selain daripada konsep-konsep tersebut terdapat juga konsep yang diaplikasikan pada realitas eksternal namun konsep tersebut tidak diperoleh secara langsung melalui indrawi namun melalui aktivitas mental dan komparasi yang dilakukan oleh mental melalui realitas keberadaan eksternal seperti konsep wujud, ketiadaan, sebab, akibat, wajib, mumkin, dan seterusnya. Konsep-konsep seperti ini disebut dengan ‘kategori sekunder filsafat’. Sifat-sifat dan beragam pemahaman yang kita gunakan untuk Tuhan semuanya digolongkan kepada ‘kategori sekunder filsafat’. Oleh karenanya bisa diaplikasikan sebagian konsep-konsep universal pada Tuhan namun tentu konsep-konsep ini tidak menunjukkan realitas zat wajib.
Namun jika seseorang sampai pada suatu maqam dimana dirinya mampu menggapai Tuhan dengan ilmu hudhuri dan syuhudi, pada saat itu dirinya akan meraih sifat Ilahi sebatas dengan keluasan eksistensi dirinya. Namun apapun yang diraih dengan ilmu husuli dan apapun yang dipahami mengenai diri-Nya melalui pemahaman pada hakekatnya adalah sebuah pengetahuan dan persepsi yang terhijabi, bukan hudhuri dan syuhudi.
Ayat diatas menjelaskan bahwa jangan sama sekali menyamakan ilmu husuli dengan ilmu huduri dan jangan pula beranggapan bahwa apa yang diraih dengan konsep-konsep yang berkenaan dengan Tuhan secara keseluruhan menjelaskan hakekat diri-Nya secara sempurna. Selanjutnya perlu pula dipahami bahwa ilmu hudhuri memiliki tingkatan atau derajat. Semakin tinggi derajat eksistensi seseorang, realitas hudhuri akan semakin kuat dan semakin menjelma. Begitu pun sebaliknya, semakin rendah derajat eksistensi dirinya maka realitas hudhurinya pun akan semakin lemah. Namun mesti diingat ketika ilmu hudhuri dijelaskan dengan pemahaman tentu berubah menjadi ilmu hushuli.
Para sufi yang menjelaskan apa yang mereka saksikan dengan ilmu hudhuri dan syuhudi mengenai sifat Ilahi tentu berbeda dengan selain sufi. Disaat para sufi menjelaskan kata ‘alim (mengetahui) berkenaan dengan Tuhan, para sufi tersebut mengetahui dan memahami apa yang mereka sampaikan. Namun manusia lainnya yang belum sampai pada tingkatan derajat pengetahuan seperti ini, hanya bisa memahaminya dengan ilmu husuli. Namun bukan berarti bahwa selain sufi sama sekali tidak memahami maknanya sebagaimana yang diasumsikan oleh kalangan kaum tha’thil yang juga merupakan kaum tanzih.
Kesimpulannya mesti ada jalan diantara tasybih dan tanzih sehingga tidak sampai pada sebuah anggapan bahwa kita sama sekali tidak memahami sifat-sifat Tuhan yang mana anggapan ini akan melazimkan konsep tha’thil, dan bukan juga beranggapan bahwa ilmu, kuasa, hidup, dan sifat-sifat lainnya persis sama dengan sifat-sifat yang ada pada diri kita yang akan meniscayakan pemahaman tasybih. Apa yang dapat dikatakan ialah diri-Nya memiliki sifat-sifat tersebut pada tingkatan derajat kesempurnaan yang paling tinggi. Adapun zat dan sifat-Nya sama sekali tidak memiliki akhir dan batasan. Inilah yang dimaksud dengan jalan tengah yang menggabungkan diantara keduanya.
Diterjermahkan dari Buku : “Ămuzesy-e ‘Aqâ‘id” Tim Penulis : Mohsen Gharaveyân, Mohammad Reza Ghulâmî, Sayed Mohammad Husain Mirbâqerî).