Ayat Lainnya mengenai Kefitrian Ilahi
Setelah mengkaji tentang ayat fitrah dan ayat mitsâq, kami juga akan mengkaji ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa manusia memiliki fitrah dalam menyembah kepada Tuhan yang meniscayakan manusia memiliki pengetahuan fitrawi kepada Tuhan. Namun ayat tersebut tidak seperti dengan ayat sebelumnya yang secara eksplisit menjelaskan kefitrian Ilahi, namun ayat tersebut menjelaskan kefitrian Ilahi secara implisit. Kami membagi dua ayat tersebut secara umum:
Bagian Pertama:
Terdapat ayat-ayat yang secara umum menjelaskan bahwa disaat manusia merasa seluruh harapannya terhadap segala faktor-faktor materi terputus, maka dirinya akan mengingat Allah SWT. Namun setelah keadaan kembali seperti semula, dirinya kembali ke jalan syirik. Hal ini menunjukkan bahwa kefitrian Ilahi dan fitrah dalam menyembah Tuhan serta keyakinan akan rububiyah Ilahi telah terpatri dalam diri manusia. Berdasarkan hal tersebut dirinya meyakini bahwa hanya Dia-lah yang memberikan pengaruh dan efek dan hanya kepada-Nya-lah dirinya memohon pertolongan. Kami telah menjelaskan beberapa ayat sebelumnya. Saat ini kami akan menjelaskan ayat-ayat lainnya:
قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُماتِ الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضَرُّعاً وَ خُفْيَةً لَئِنْ أَنْجانا مِنْ هذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرينَ
Katakanlah, “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan secara sembunyi-sembunyi (dengan suara yang lembut sembari mengatakan), ‘Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur? (QS. Al-An‘âm : 63)
قُلِ اللهُ يُنَجِّيكُمْ مِنْها وَ مِنْ كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ أَنْتُمْ تُشْرِكُونَ
Katakanlah, “Allah menyelamatkanmu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya.” (QS. Al-An‘âm : 64)
وَ إِذا مَسَّ الْإِنْسانَ الضُّرُّ دَعانا لِجَنْبِهِ أَوْ قاعِداً أَوْ قائِماً فَلَمَّا كَشَفْنا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَنْ لَمْ يَدْعُنا إِلى ضُرٍّ مَسَّهُ كَذلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفينَ ما كانُوا يَعْمَلُونَ
Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri. Tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia (kembali) berlalu seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah amal orang-orang yang melampaui batas itu dihiasi bagi mereka (sehingga mereka tidak pernah dapat melihat keburukan amalnya). (QS. Yunus : 12)
وَما بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ ثُمَّ إِذا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْئَرُونَ
Dan nikmat apa saja yang ada padamu, maka itu semua (datang) dari Allah, dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. (QS. An-Nahl : 53)
ثُمَّ إِذا كَشَفَ الضُّرَّ عَنْكُمْ إِذا فَريقٌ مِنْكُمْ بِرَبِّهِمْ يُشْرِكُونَ
Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudharatan itu darimu, tiba-tiba sebagian darimu mempersekutukan Tuhan mereka dengan (yang lain). (QS. An-Nahl : 54)
لِيَكْفُرُوا بِما آتَيْناهُمْ فَتَمَتَّعُوا فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ
Biarlah mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka, maka bersenang-senanglah kamu. Kelak kamu akan mengetahui (akibatnya). (QS. An-Nahl : 55)
وَ إِذا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلاَّ إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَ كانَ الْإِنْسانُ كَفُوراً
Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkanmu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia selalu tidak berterima kasih. (QS. Isra’ : 67)
Bagian Kedua:
Terdapat beberapa ayat yang menggambarkan dialog tentang penciptaan setelah menyebutkan fenomena-fenomena yang ada, misalnya percakapan berikut; jika anda bertanya kepada mereka siapakah pencipta segala fenomena-fenomena ini? Mereka akan berkata, “Tuhan-lah yang menciptakan segala fenomena-fenomena tersebut.”
وَ لَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّماواتِ وَ الْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi.” Tentu mereka akan menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Lukman : 25)
Perhatikanlah ‘lâm’ dan ‘nûn’ ta’kîd pada ayat di atas. Jika diperhatikan dengan seksama, ayat tersebut akan bermakna demikian; jika ditanya berkenaan dengan hal ini, mereka pasti akan menjawab, “Tuhan-lah yang menciptakan alam ini”. Bahkan dapat dikatakan bahwa maksud dari ayat ini – sebagaimana yang nampak dalam ayat tersebut dan dibuktikan dengan beberapa hadis yang menegaskannya – yaitu jika mereka menginginkan apa yang tersembunyi di dalam inti hati dan fitrah mereka, maka mereka akan berkata, “Tuhan-lah yang menciptakan seluruh keberadaan”. Ayat-ayat seperti ini banyak ditemukan dalam Al-Quran. Sebagai contoh, kami akan mengutip beberapa ayat berikut ini:
قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فيها إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَذَكَّرُونَ قُلْ مَنْ رَبُّ السَّماواتِ السَّبْعِ وَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظيمِ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَ هُوَ يُجيرُ وَلا يُجارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ
Katakanlah, “Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada di dalamnya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak mau sadar?” Katakanlah, “Siapakah pemilik tujuh langit dan ‘Arasy yang besar?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak bertakwa (dan menanggalkan seluruh pakaian kemusyrikan)?” Katakanlah, “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi dan membutuhkan perlindungan (kepada siapa pun), jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah, “(Kalau demikian), maka bagaimana mungkin kamu terkena sihir (oleh ayat-ayat Al-Qur’an ini)?” (QS. Mu’minun : 84-89)
وَ لَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّماواتِ وَ الْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ ما تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللهِ إِنْ أَرادَنِيَ اللهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كاشِفاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرادَني بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Niscaya mereka menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Apakah kamu pernah merenungkan tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?” Katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku. Kepada-Nya-lah bertawakal orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Zumar : 38)
Sampai Batasan manakah Tuhan itu dapat Diketahui ?
Setelah kita membahas secara panjang lebar tentang pengetahuan terhadap Tuhan, selanjutnya kita akan mengurai sebuah pertanyaan dan mencoba untuk menjawabnya. Pertanyaannya adalah setelah mengenal bentuk-bentuk pengetahuan terhadap Tuhan, apakah metode-metode ini – baik melalui metode argumentasi maupun melalui metode intuitif – dapat mengantarkan kita kepada pengetahuan terhadap Tuhan secara sempurna? Apakah diri-Nya dapat diketahui sebagaimana adanya dengan seluruh eksistensi kemutlakannya yang juga merupakan kesempurnaan tak terhingga? Bagaimana pandangan Al-Quran berkenaan dengan hal ini? Kita akan menemukan pandangan yang beragam dalam menjawab pertanyaan itu. Sebagian meyakini bahwa Tuhan hanya dapat diketahui dalam bingkai sifat-sifatnya sebagaimana yang tertera dalam Al-Quran dan hadis. Kelompok ini dapat disebut dengan kelompok ‘tauqîfî’ yaitu kelompok yang menyandarkan kepada sifat-sifat Ilahi atau asma Ilahi.
Kelompok lainnya berseberangan dengan pandangan di atas, selain meyakini bahwa sifat-sifat Tuhan dapat diketahui, bahkan mereka juga meyakini bahwa zat Tuhan pun dapat diketahui. Berdasarkan dengan metode yang telah kami lakukan dari awal hingga saat ini, kami akan menghindar dari perdebatan yang ada. Namun kami akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan dengan penjelasan-penjelasaan yang telah kami berikan sebelumnya.
Jawaban kami terhadap pertanyaan di atas bahwa sebagaimana yang telah kami jelaskan pada pembahasan sebelumnya, Tuhan dapat diketahui dengan dua cara, yaitu melalui pengetahun koresponden (ilmu hushuli) dan melalui pengetahuan kehadiran (ilmu hudhuri atau syuhudi). Pengetahuan koresponden adalah sebuah pengetahuan yang berkaitan dengan konsep-konsep atau pemahaman-pemahaman. Jelas, pengetahuan koresponden tidak dapat menunjukkan sebuah realitas eksternal dengan seluruh karekteristik-karekteristiknya. Sebab pemahaman hanya menunjukkan satu aspek tertentu saja akan sebuah realitas dan aspek tersebut yang dianggap sebagai cerminan realitas eksternal. Dalam kata lain, pemahaman-pemahaman merupakan fenomena-fenomena dari sesuatu dan fenomena-fenomena tersebut hanya sebatas gambaran universal. Fenomena sebuah pemahaman dari sesuatu yang ditangkap oleh diri kita.
Oleh karena itu, pengetahuan kita terhadap realitas-realitas melalui pemahaman-pemahaman universal, tentunya terbatas. Jelas, hal tersebut bukan pengetahuan hakiki dan sempurna akan sebuah realitas. Misalnya bagaimana pun kita membahasakan bagaimana cinta seorang ibu terhadap anaknya, kita tidak akan pernah merasakan cinta seorang ibu terhadap anaknya sebagaimana adanya. Contoh lain ketika seorang sufi merasakan kehadiran Ilahi di dalam dirinya atau ketika sampai pada maqam-maqam tertentu, maka kita tidak akan mungkin merasakan dengan benar apa yang dirasakan oleh sufi tersebut disaat mereka sampai pada kondisi-kondisi demikian. Terkecuali kita sampai pada kondisi tersebut, maka kita akan mengetahuinya dengan ilmu hudhuri. Oleh karena itu, pengetahuan kita terhadap Tuhan melalui pemahaman-pemahaman sangatlah terbatas. Melalui pengetahuan koresponden tidak akan pernah mengantarkan kita sampai kepada zat Tuhan. Kita hanya mengetahui-Nya sebatas pemahaman universal dimana pemahaman tersebut dianggap sebagai mishdaq dari zat Tuhan.