Berkenaan dengan ilmu hudhuri terhadap Tuhan, mesti diperhatikan bahwa ilmu hudhuri terhadap Tuhan memiliki beberapa tingkatan; ada yang memiliki kualitas kuat dan ada yang memiliki kualitas lemah (sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya). Begitupun juga, ilmu hudhuri terhadap Tuhan ini, jika dilihat dari aspek keluasan dan keterbatasan maka akan memiliki beberapa tingkatan. Maksudnya, setiap keberadaan mengetahui Tuhan berdasarkan kadar wadah eksistensi dirinya. Agar permasalahan ini lebih jelas, perhatikan contoh berikut ini; jika anda naik ke atas atap, kemudian pada saat itu anda duduk dan memandang ke atas langit, maka pandangan anda akan menerawang jauh ke tiap sudut-sudut langit yang tak terbatas. Namun, jika anda menengok ke angkasa di balik jendela, maka anda hanya bisa menyaksikan sebagian saja dari sudut langit. Pengetahun manusia terhadap Tuhan pun demikian halnya, Setiap orang mengetahui Tuhan melalui eksistensi dirinya dan berdasarkan batas kadar eksistensi yang dimilikinya. Dalam kata lain, manifestasi-manifestasi Tuhan yang akan termanifestasi bagi setiap orang, bergantung pada kesiapan dan wadah eksistensi dirinya atau bergantung pada kesempurnaan-kesempurnaan yang dimilikinya. Dalam hal ini, melalui perbuatan-perbuatan ikhtiyar yang kita miliki, mampu meraih kesempurnaan-kesempurnaan eksistensial sehingga kita dapat melewati tahapan-tahapan kesempurnaan setahap demi setahap. Kemudian, dalam setiap tahapan yang telah kita lalui akan mengantarkan kita dalam mengetahui Tuhan secara lebih baik lagi. Ilmu hudhuri kita pun terhadap-Nya akan lebih mendalam dan manifestasi-manifestasi sifat-sifat jalal dan jalal akan termanifestasi lebih banyak lagi.
Berdasarkan penjelasan di atas, semakin sempurna sebuah keberadaan, maka dirinya akan dekat dengan kesempurnaan mutlak dan akan mengetahui Tuhan lebih sempurna. Namun apa yang tidak mungkin diketahui adalah zat Tuhan yang menjelaskan hakikat diri-Nya sebagaimana hakikat diri-Nya, sebab diri-Nya adalah sebuah keberadaan yang tak terbatas. Sebagaimana yang dijelaskan dalam doa bulan Rajab oleh Imam Mahdi afs :
“Duhai Tuhan yang sifatnya mampu diungkapkan namun zat-Nya tak mampu diraih. Duhai Tuhan yang dapat diketahui, namun tidak dengan jalan tasybih dan persamaan, sebab tak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Mu. Duhai yang segala batasan eksistensi berada ditangan-Mu. Duhai saksi atas segala yang disaksikan. Duhai yang menciptakan segala keberadaan. Duhai yang mengetahui segala yang terbilang. Duhai penghapus segala kekurangan. Duhai Ilahi Yang Maha Besar, tak ada yang patut disembah selain diri-Mu. Segala pujian hanyalah untuk-Mu. Segala keagungan hanyalah milik-Mu. Duhai pemiliki kemuliaan, pada diri-Mu tak mungkin melekat kualitas-kualitas, kondisi-kondisi, dan perubahan-perubahan. Duhai yang tak terikat dalam batasan ruang dan waktu. Duhai yang tak mungkin terlihat oleh setiap mata. Duhai Yang Maha Tetap. Duhai Yang Maha Perkasa. Duhai yang mengetahui segala yang diketahui. Duhai yang mengetahui segala sesuatu.”
Segala keberadaan yang merupakan makhluk dari Allah SWT adalah terbatas. Hanya Dia-lah yang tak terbatas. Tak satu pun dari keberadaan yang mampu menjangkau zat-Nya dan secara pasti mustahil zat-Nya dapat dijangkau dengan pengetahuan. Maksudnya manusia tidak mungkin mengetahui secara sempurna hakikat diri-Nya dan tak mungkin sampai pada zat-Nya;Dan mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya (QS. Al-An‘âm : 91).
Pembahasan di atas tidak bertentangan dengan pembahasan sebelumnya bahwa manusia dapat mengetahui Tuhan sebatas kemampuan dan kadar dirinya. Jika kita merujuk pada riwayat yang ada, kita akan menemukan riwayat yang melarang manusia memikirkan zat Tuhan. Jelas pengetahuan apapun itu tidak akan mungkin sampai menjangkau zat-Nya. Melalui argumentasi-argumentasi dan konsep-konsep tidak akan sampai kepada zat-Nya. Bahkan boleh jadi memikirkan persoalan keraguan justru akan mengakibatkan kebingungan dan keraguan.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dalam Nahjul Balaghah mengatakan, “Sesungguhnya Allah SWT tertutupi dari keterbatasan persepsi akal sebagaimana tertutupi dari setiap mata.” Namun sebagaimana yang telah kami ungkapkan sebelumnya bahwa dengan meraih kesempurnaan-kesempurnaan serta sinaran cahaya qalbu akan mampu memperoleh cahaya-cahaya Ilahi, namun tentunya sebatas kemampuan dan kadar eksistensi dirinya, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat; “Manusia dapat melihat-Nya melalui hatinya yang telah diterangi dengan cahaya keimanan.” Juga dalam hadits Qudsi diungkapkan; “Di antara makhluk-makhluk-Ku, tak satupun dari langit dan bumi yang dapat menampung diri-Ku, hanya qalbu hamba-Ku yang mukmin dapat menampung diri-Ku.”
Berdasarkan hadits di atas, hanya hati orang mukmin yang dapat menjadi wadah dan tempat manifestasi sifat-sifat jalal dan jamal Ilahi. Oleh karena itu, kita jangan merasa cukup dengan sekedar membuktikan sifat-sifat dan karekteristik-karekteristik Tuhan melalui pemikiran dan argumentasi rasional. Namun kita mesti mengetahui lebih dalam lagi serta merasakan kebahagiaan dan maqam-maqam spiritual dimana hal tersebut dapat diraih melalui jalan amal perbuatan, mengembangkan ilmu hudhuri, dan membangkitkan fitrah di dalam diri kita.
Kami ingin menegaskan kembali bahwa riwayat-riwayat tersebut, sama sekali tidak bermaksud meninggalkan akal dan melarang usaha akal dalam bidang tertentu. Karena penjelasan melalui argumentasi-argumentasi akal pada saat tertentu juga digunakan oleh para Nabi dan Maksumin dalam menjelaskan dan memahamkan persoalan-persoalan tertentu. Jelas para Nabi dan Maksumin tidak akan pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Al-Quran sebab mereka adalah Al-Quran Al-Nathiq itu sendiri. Juga jelas, betapa banyak ayat yang menegaskan untuk senantiasa berpikir dan tafakkur. Oleh karena itu, usaha akal dan usaha yang bersifat filosofis, selain menyiapkan mental kita agar dapat memahami dengan baik konsep dan persepsi pemahaman-pemahaman akal yang mungkin dapat dipredikatkan kepada Tuhan, juga dapat menghindari dalam menggunakan konsep-konsep yang bersifat ambigu yang terkadang dapat menyebabkan kesalahan dalam melakukan proses verifikasi. Selanjutnya hal itu juga bisa menjadi penyiap agar qalbu kita memusatkan perhatiannya kepada Tuhan dan hasilnya mampu membuat pengetahuan manusia semakin berkembang. Bahkan salah satu tujuan dari ayat-ayat tauhid Al-Quran adalah memperhatikan makrifat qalbu. Sebagaimana yang dialami para ahli makrifat yang mendapatkan manfaat besar dari Al-Quran yaitu; disaat mereka membaca Al-Quran dengan penuh kehadiran qalbu – khususnya dalam keheningan malam dan atau dalam keadaan shalat – maka mereka dianugerahkan penyaksian-penyaksian qalbu.
(Diterjermahkan dari Buku : “Ămuzesy-e ‘Aqâ‘id” Tim Penulis : Mohsen Gharaveyân, Mohammad Reza Ghulâmî, Sayed Mohammad Husain Mirbâqerî).