Tauhid dalam Perbuatan-Perbuatan
Sebagaimana telah diisyaratkan sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan tauhid dalam perbuatan adalah perbuatan-perbuatan Ilahi yang hanya dinisbahkan kepada Tuhan dan pelaku perbuatan lainnya tidak bekerja sama atau membantu Tuhan dalam melakukan perbuatan. Namun yang dimaksud disini ‘tidak mungkin digambarkan di samping Tuhan terdapat perbuatan lainnya’ adalah tak ada pelaku eksistensial yang sejajar dengan perbuatan Tuhan, akan tetapi persoalan tersebut tidak bertentangan dengan adanya rangkaian perbuatan-perbuatan vertikal dalam melakukan perbuatan-perbuatan Ilahi. Agar persoalan ini bisa dipahami dengan baik, kami akan menjelaskan maksud dari pelaku perbuatan vertikal dan pelaku perbuatan horisontal.
Pelaku Perbuatan Vertikal dan Pelaku Perbuatan Horisontal
Ketika sebuah perbuatan terjadi, terkadang perbuatan tersebut terjadi karena adanya beberapa pelaku yang saling berdampingan dan saling bekerja sama dalam melakukan sebuah perbuatan. Sebagai contoh ketika terdapat lima orang yang bekerja sama satu sama lain dalam mengangkat benda yang berat. Dalam perbuatan tersebut, masing-masing dari kelima orang tersebut adalah pelaku dalam perbuatan horisontal dan pelaku perbuatan secara hakiki adalah kekuatan yang berasal dari rangkapan kekuatan dari masing-masing kelima orang tersebut. Kekuatan masing-masing dari orang tersebut adalah bagian dari kekuatan pelaku.
Namun terkadang perbuatan itu terjadi dari beberapa pelaku yang ada secara vertikal sehingga perbuatan tersebut terjadi. Dalam hal ini ‘pelaku secara hakiki’ hanya ada satu dan pelaku-pelaku selanjutnya menemukan fungsinya sebagai pelaku dalam naungan pelaku hakiki.
Dalam memahami persoalan ini, kami akan mengambil sebuah perumpamaan, meskipun mungkin saja perumpamaan itu memiliki perbedaan dengan realitas yang diperumpamakan.Ala kulli hal, perumpamaan tersebut tetap saja berguna dalam membantu memahamkan sesuatu. Misalnya anda menggerakkan sebuah bola nomor satu dengan sebuah tendangan, selanjutnya bola nomor satu tadi menabrak bola nomor dua sehingga menyebabkan bola nomor dua bergerak, dan bola nomor dua juga menggerakkan bola nomor tiga, bola nomor tiga menggerakkan bola selanjutnya, dan seterusnya. Dalam perumpamaan ini, kita melihat terdapat beragam gerak dan secara lahiriah terpahami akan adanya beberapa pelaku. Maksudnya tendangan tadi hanya menggerakkan bola nomor satu, kemudian menjadi pelaku gerak bagi bola nomor dua, dan bola nomor dua menjadi pelaku gerak bagi nomor ketiga, dan begitu seterusnya.
Namun pada hakikatnya, pelaku secara hakiki gerak bola nomor dua, nomor ketiga, adalah kekuatan tendangan kaki anda. Pelaku dan penggerak bola nomor satu dan nomor kedua dan seterusnya adalah efek dari perbuatan kaki anda. Namun tidak demikian halnya bahwa bola nomor satu dan nomor dua adalah pelaku-pelaku yang sejajar [dalam satu tingkatan horisontal] dengan anda dan bekerja sama dengan anda. Dalam kata lain, selain diri anda, tak satu pun dari bola tersebut berperan dalam melahirkan kekuatan.
Setelah menjelaskan perumpamaan di atas, yang ingin kami sampaikan bahwa jika ada pelaku lain yang secara hakiki bersekutu dengan Tuhan maka akan meniscayakan pelaku tersebut sejajar dengan Tuhan dan secara terpisah [independen] berperan dalam melakukan perbuatan. Jika demikian, konsekuensi dari pelaku horisontal tersebut adalah setara dengan wajibul wujud, sebab jika pelaku tersebut mumkin wujud dan sebagai akibat, maka pada hakikatnya dirinya bergantung pada Tuhan dan secara esensi tidak independen dalam perbuatannya.
Di sisi lain, pada pembahasan tauhid zati telah kami buktikan bahwa tidak mungkin ada duawajibul wujud dan keragaman pada wajibul wujud adalah hal yang mustahil. Selain itu pula, kelaziman dari dua atau beberapa sebab pada satu akibat adalah terjadinya gesekan dan hal ini mustahil karena akan melazimkan satu wujud memiliki beberapa wujud, yaitu satu keberadaan, pada saat yang sama memiliki beberapa keberadaan, tentunya hal ini kontradiksi dan mustahil. Persoalan ini akan dijelaskan lebih jauh dalam pembahasan burhan tamânuʻ.
Namun disisi lain, para filosof meyakini bahwa berdasarkan kelaziman keidentikan (sinkhiyyah) antara sebab dan akibat maka perbuatan-perbuatan Ilahi terjadi melalui sebuah mata rantai perantara-perantara dan sebab-sebab vertikal. Keberadaan perantara-perantara dan sebab-sebab ini adalah niscaya dalam mengaktualkan perbuatan tersebut. Persoalan ini sama sekali tidak bertentangan dengan tauhid perbuatan.
Kritik: apakah menerima keberadaan perantara-perantara, sebab-sebab, dan syarat-syarat dalam mengaktualkan perbuatan-perbuatan Ilahi dan dalam mewujudkan makhluk-makhluk, tidak bertentangan dengan aspek kewajibul wujudan Tuhan dalam segala aspek ?
Jawab: dalam mewujudkan setiap perbuatan dan fenomena, terdapat dua syarat yang sangat mendasar dan jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada maka perbuatan tersebut tidak akan bisa terjadi. Pertama, sisi pelaku. Kedua, sisi potensi sebagai penerima. Tak ada satu pun dari seorang tukang kayu yang mahir yang dapat membuat pintu, jendela, dan kursi dari benda cair seperti air karena benda cair tersebut tidak memiliki potensi untuk menjadi kursi. Bukan berarti bahwa tukang kayu tersebut tidak memiliki pengetahuan dalam keahliannya. Tukang kayu tidak memiliki kekurangan dalam perbuatannya, akan tetapi airlah yang tidak memiliki kemampuan dalam menerima perbuatan tukang kayu tersebut dan oleh karenanya perbuatan tersebut tidak terwujud.
Dengan memperhatikan hal di atas, mesti dipahami bahwa keberadaan perantara-perantara, sebab-sebab, dan syarat-syarat dalam mewujudkan akibat-akibat dan perbuatan-perbuatan Tuhan adalah niscaya. Pada hakikatnya syarat-syarat tersebut bukanlah berposisi sebagai pelaku, namun hal tersebut adalah syarat-syarat potensi penerimaan dan kelaziman terwujudnya akibat-akibat dan makhluk-makhluk di alam ini. Dalam kata lain, jika Tuhan menginginkan memberikan wujud maka diri-Nya sama sekali tidak membutuhkan kepada syarat-syarat tersebut. Namun eksistensi makhluk-makhluk tersebut memiliki realitas sedemikian rupa sehingga jika ingin aktual dan mewujud membutuhkan perantara-perantara, sebab-sebab, dan syarat-syarat. Sebagai contoh; dalam mewujudkan sebuah pohon di alam ini, niscaya membutuhkan perantara-perantara dan sebab-sebab seperti cahaya matahari, tanah, nutrisi yang ada di dalam perut bumi, air, udara, dan seterusnya. Jika menginginkan sebuah pohon yang muncul di alam ini yang tidak membutuhkan syarat-syarat dan sebab-sebab, maka pohon tersebut bukan lagi pohon yang kita saksikan di alam ini. Pohon tersebut adalah wujud lain yang bergantung pada sistem dan alam lainnya. Oleh karena itu, batasan-batasan dan syarat-syarat tersebut pada hakikatnya berhubungan dengan makhluk-makhluk itu sendiri, bukan pada perbuatan pelaku dan tindakan Pencipta.
Dalam memahami dengan baik hal tersebut, kita dapat menggunakan tingkatan-tingkatan vertikal yang ada pada bilangan. Jika kita asumsikan pada angka 2, maka secara esensi niscaya terletak setelah angka 1 dan sebelum angka 3. Jika angka 2 tersebut ingin diletakkan pada tingkatan lainnya maka bukan lagi angka 2. Oleh karena itu, misalnya jika Tuhan ingin memunculkan angka 2 maka sebelumnya niscaya menciptakan angka 1 dan setelah angka 2 menciptakan angka 3 sehingga angka 2 terletak di antara kedua angka tersebut. Di sini akan terlihat dengan baik bahwa hal tersebut merupakan syarat terjadinya angka 2, bukan syarat pemberian wujud dari Sang pemberi wujud. Oleh karena itu, jawaban terhadap kritikan sebelumnya bahwa jika terdapat perantara-perantara dan sebab-sebab dalam terwujudnya fenomena-fenomena alam, pada hakikatnya syarat-syarat dan batasan-batasan makhluk-makhluk itu sendiri dan sama sekali tidak menafikan aspek wajibul wujud Tuhan dalam segala sisi.
Diterjermahkan dari Buku : “Ămuzesy-e ‘Aqâ‘id” Tim Penulis : Mohsen Gharaveyân, Mohammad Reza Ghulâmî, Sayed Mohammad Husain Mirbâqerî).