Konsep Keteraturan
Di saat kita menyaksikan diantara fenomena-fenomena yang beragam, terjalin relasi diantaranya dan juga terdapat sistem tertentu dimana masing-masing dari fenomena tersebut berada pada tempatnya masing-masing dan pada saat yang sama terhubung satu sama lain dengan fenomena-fenomena lainnya. Kita mengatakan dengan tanpa ragu bahwa terdapat keteraturan diantara fenomena-fenomena tersebut. Namun jika kita mengamatinya dengan cermat, ‘keteraturan’ itu sendiri bukan sesuatu realitas yang berdiri sendiri di antara realitas-realitas yang ada pada alam eksternal, dalam kata lain, keteraturan itu bukan sesuatu yang dapat diindrai dengan persepsi indrawi. Namun ‘keteraturan’ itu adalah sebuah kualitas dan kita mempersepsinya dengan adanya hubungan dan pola tertentu diantara fenomena-fenomena yang ada. Istilah yang lebih tepat bahwa konsep ‘keteraturan’ itu merupakan sebuah konsep abstraksi yang diperoleh dari realitas eksternal, namun keteraturan itu sendiri bukan realitas eksistensi yang berdiri sendiri pada realitas eksternal.
Berdasarkan hal di atas, jika dikatakan bahwa Tuhan itu Pengatur, pada hakikatnya ‘pengatur’ yang dimaksud di sini akan kembali pada makna Khalik atau Sang Pencipta. Maksudnya, Tuhan sebagai pengatur merupakan sebuah realitas yang didapatkan dari kualitas penciptaan fenomena-fenomena pada alam eksistensi. Misalnya ketika kita melihat manusia sebagai sebuah fenomena di antara fenomena-fenomena eksistensi dan juga melihat kebutuhan-kebutuhan manusia yang beragam, kemudian pada sisi lain terdapat fenomena yang lain seperti matahari, tanah, air, udara, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan seterusnya, maka kita akan melihat hubungan tertentu diantara fenomena-fenomena yang ada. Masing-masing dari fenomena tersebut memenuhi salah satu atau beberapa kebutuhan manusia. Di sini kita mengatakan bahwa Tuhan mengatur kebutuhan manusia, maksudnya bahwa penciptaan Tuhan terhadap manusia sekaligus memenuhi dengan baik seluruh kebutuhan manusia. Berdasarkan hal ini kita mengatakan bahwa ‘keteraturan’ adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari penciptaan. Oleh karena itu, rububiyah juga demikian halnya yaitu dengan hubungannya secara langsung dengan penciptaan sehingga melazimkan adanya rububiyah.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa antara ‘tauhid rububiyah’ dan tauhid uluhiyah serta tauhid penciptaan terdapat hubungan kelaziman yang jelas diantaranya dimana mishdaq dari ‘Rabb’, Ilah, dan Khaliq adalah hanya satu dan tunggal yaitu zat Allah SWT.
Pada surah Al-An’am : 102, kita dapat meyaksikan hubungan kelaziman diantara ketiga hal tersebut, “(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada tuhan selain Dia; pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah pemelihara dan pelindung segala sesuatu.”
Jika kita memperhatikan dengan baik ayat di atas, rububiyah dan ulluhiyyah serta khaliqiyyahketiga-tiganya ada pada ayat tersebut dan ayat di atas juga menyebutkan hubungan diantara ketiganya.
Sekarang, setelah menjelaskan kelaziman diantara ketiga bagian dari tauhid tersebut, kita dapat mengatakan bahwa ‘Rabb’, Ilah, dan Khaliq mishdaqnya hanya satu saja. Oleh karena itu, zat wajibul wujud hanya satu dan zat wajibul wujud inilah sebagai pencipta dan pengatur alam eksistensi dan sebagai Ilah. Di sini juga kita menemukan hubungan kelaziman antara tauhid zati dengan tiga bagian tauhid di atas. Oleh karena itu, keempat bagian tauhid tersebut terdapat kelaziman diantaranya.
Tauhid dalam Ibadah
Tauhid dalam ibadah bermakna bahwa pada maqam ibadah dan penyembahan hanya semata-mata kepada Allah SWT, dan kehambaan serta kepatuhan tak akan pernah dilakukan terkecuali dihadapan-Nya.
Pada kesempatan ini pertama-tama kami akan menjelaskan tentang hakikat ibadah dan kemudian kami akan menjelaskan perbedaan tauhid dalam ulluhiyah dengan tauhid dalam ibadah.
Hakekat Ibadah; ibadah bermakna kehambaan dan bersujud di hadapan Allah SWT. Namun tidak semua jenis kehambaan dan kepatuhan terbilang sebagai ibadah yang hakiki karena tonggak ibadah pada tujuan dan niat. Namun persoalan ini tidak hanya berkisar pada perbuatan-perbuatan ibadah, bahkan dalam perbuatan-perbuatan akhlak juga dijelaskan bahwa tujuan dan niat memberikan pengaruh yang sangat fundamental. Maksudnya perbuatan ikhtiyar manusia bisa disifatkan padanya dengan sifat baik atau sifat buruk, bergantung pada tujuan dan niat pada perbuatan tersebut.
Dalam amal ibadah terdapat sebuah perbuatan yang berfungsi sebagai badan ibadah, di sisi lain terdapat niat yang berfungsi sebagai ruh ibadah. Karena itu ibadah pada hakikatnya kumpulan dari ruh dan badan, dalam kata lain, gabungan dari perbuatan dan niat.
Sebagai contoh, coba anda konsepsi ‘pemuliaan’ dan ‘penghormatan’. Terkadang sebuah perbuatan mungkin saja dilakukan dan kita katakan bahwa perbuatan tersebut sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan. Juga mungkin terdapat sebuah perbuatan namun kita tidak mengatakan sama sekali bahwa perbuatan tersebut adalah bentuk pemuliaan dan penghormatan. Misalnya ketika ada seseorang yang masuk ke dalam sebuah ruangan, orang yang berada pada ruangan tersebut berdiri yang bertujuan sebagai pemuliaan dan penghormatan kepada orang itu. Perbuatan ini disebut sebagai perbuatan akhlak dan kita anggap sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan. Namun jika perbuatan ini tidak disertai dengan niat tersebut bahkan dengan tujuan yang lain maka perbuatan tersebut tidak bisa disebut sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan.
Pokok penting; yang mesti diperhatikan disini bahwa setiap perbuatan tidak dapat menyertainya niat apa saja. Maksudnya tiap tindakan akan meniscayakan potensi yang lazim bagi niat yang dimaksud. Misalnya dengan menempeleng seseorang tidak dapat diniatkan padanya sebagai sebuah bentuk pemuliaan dan penghormatan. Maksudnya antara perbuatan dan niat mesti terdapat keidentikan diantara keduanya. Oleh karena itu dalam ibadah juga mesti memperhatikan dan mengetahui hal ini bahwa tidak setiap perbuatan bisa diniatkan padanya sebagai taqarrub atau mendekatkan diri kepada Tuhan. Tidak bisa diniatkan taqarrub atau mendekatkan diri kepada Tuhan melalui jalan kezaliman, kebohongan, penipuan, pemaksaan, dan seterusnya. Maka amal dan perbuatan semestinya dan seharusnya memiliki kesesuaian dan harmonis dengan niat taqarrub kepada Tuhan.
Motif dalam ibadah; setelah kita mengetahui bahwa tonggak ibadah pada niat dan niat berfungsi sebagai ruh dalam tubuh ibadah. Pertanyaan selanjutnya yaitu apa sebenarnya motif hakiki dalam niat? Maksudnya faktor apa yang menyebabkan niat ibadah seperti ini terpancar dari diri manusia? Mengapa para psikolog mengatakan bahwa tak satupun niat yang akan muncul tanpa adanya motif yang melatar belakanginya?
Berdasarkan analisa yang mendalam dalam persoalan ini, kita akan mengetahui bahwa dasar motif dalam ibadah pada hakikatnya adalah pemikiran dan akidah atau keyakinan. Maksudnya keyakinan kepada Allah SWT dan keyakinan bahwa tak ada yang patut disembah selain Allah SWT, menjadi sebuah motif niat dalam ibadah. Jika seseorang berkeyakinan terdapat wujud tertentu yang layak untuk disembah maka keyakinan ini menjadi motif amal ibadahnya dan juga mengantarkan dirinya untuk menyembah-Nya dan mematuhi-Nya.
Berdasarkan hal di atas dapat kita saksikan bahwa penyembah berhala dan orang-orang musyrik sekalipun, mereka menyembah dihadapan batu dan kayu. Namun dalam pandangan mereka, tidak semua batu dan kayu yang layak untuk disembah. Namun terdapat batu-batu dan kayu-kayu yang mereka buat kemudian mereka jadikan sebagai berhala. Jadi pertama-tama mereka berkeyakinan bahwa berhala-berhala itulah yang mengatur segala persoalan dan juga memberikan efek kebahagiaan dan derita dalam kehidupan mereka sehingga mereka berkeyakinan bahwa berhala-berhala tersebut layak untuk disembah dan dipatuhi. Selanjutnya dalam aspek amal dan perbuatan, mereka beribadah kepada berhala-berhala dengan khusyuk.
Oleh karena itu, pada ibadah-ibadah yang batil sekalipun terlihat dengan jelas bahwa pertama-tama mereka meyakini keyakinan yang batil tersebut, selanjutnya berdasarkan dengan keyakinan batil mereka, akan keluar darinya sebuah amal dan perbuatan.
Diterjermahkan dari Buku : “Ămuzesy-e ‘Aqâ‘id” Tim Penulis : Mohsen Gharaveyân, Mohammad Reza Ghulâmî, Sayed Mohammad Husain Mirbâqerî).