Tauhid dalam Doa
Manusia dapat mengetahui dirinya sebagai eksistensi yang faqir, butuh, dan bergantung, melalui pengetahuan hudhurinya. Saat itu, ia akan menyadari akan kebutuhan dirinya pada Ilahi yang mampu menjawab kebutuhan dirinya. Apalagi, memenuhi kebutuhan merupakan sebuah fitrah yang senantiasa dicari oleh manusia. Perkara tersebut secara langsung memberikan pengaruh terhadap kesempurnaan dan perkembangan manusia.
Pengertian tauhid dalam doa yaitu manusia menyadari bahwa hanya Tuhan semata sumber pengaruh dan hanya Tuhan semata yang mampu memenuhi kebutuhan dirinya. Berkenaan dengan hal ini pada surah Jin : 18, Allah SWT berfirman, “Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.”Begitupula dalam surah Al-A’raf : 193, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (lemah) yang serupa juga denganmu. Maka serulah berhala-berhala itu, lalu biarkanlah mereka memperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang-orang yang benar.”Kemudian pada surah Fathir : 14, Allah SWT berfirman, “Jika kamu menyeru mereka, mereka tidak mendengar seruanmu; dan kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.”
Di sini penting untuk dipahami bahwa dalam Islam, tidak semua bentuk permintaan dan permohonan bantuan dipahami sebagai bentuk doa. Karena yang dimaksud dengan doa di sini bahwa manusia hanya menyeru pada Sang Pemilik dan Sang Pemelihara Hakiki sebagai penguasa atas segala ikhtiyar manusia. Oleh karenanya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, persoalan berkenaan dengan tawassul (perantara) kepada para wali Tuhan dan wali-wali pilihan Ilahi, sama sekali tidak bertentangan dengan tauhid doa. Pembahasan doa bisa dijabarkan secara lebih luas namun akan kami jelaskan pada kesempatan lain.
Tauhid dalam Tawakkal
Pengertian tauhid dalam tawakkal yaitu manusia menyadari bahwa hanya kepada Tuhan semata tempat sandaran dan tempat berserah diri. Dalam setiap perkara, manusia senantiasa berharap kepada Dia sebagai Sang penolong dan sebagai sebaik-baiknya tempat sandaran. Kesimpulannya, manusia hanya percaya kepada Tuhan semata, bukan kepada selain diri-Nya. Beberapa ayat Quran menjelaskan persoalan ‘tawakkal kepada Tuhan’. Dalam surah Al-Maidah : 23, Allah SWT berfirman, “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” Dalam surah Az-Zumar : 138, Allah SWT berfirman, “Cukuplah Allah bagiku. Kepada-Nya-lah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” Dalam surah Ali-Imran : 159, Allah SWT berfirman, “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Ada sebagaian yang mengatakan seperti ini bahwa, persoalan tawakkal memiliki aspek anestesi (pembiusan) karena akan menghalangi manusia dalam berusaha dan bergerak, sebab tawakkal bermakna menyerahkan segala perkara kepada Tuhan dan menafikan segala bentuk tanggung jawab pada dirinya serta menolak segala bentuk komitmen. Namun jika kita mengkajinya lebih dalam, persoalan mempercayai dan menyerahkan segala perkara kepada Tuhan, bukan dalam pengertian penafian terhadap tanggung jawab dirinya, bahkan bermakna menerima tanggung jawab dan komitmen yang disertai dengan keyakinan kepada kekuatan Ilahi yang tak terbatas.
Tawakkal yaitu manusia berusaha semaksimal mungkin dalam usahanya namun pada saat yang sama meyakini dilubuk hatinya bahwa segala perkara berada di tangan Tuhan. Jika Tuhan menginginkan, maka usaha manusia akan mendapatkan hasil. Jika kehendak Tuhan tidak menginginkan usaha tersebut, tentu usaha manusia tidak akan membuahkan hasil. Oleh karena itu, tawakkal kepada Tuhan, sama sekali tidak bermakna menafikan segala bentuk tanggung jawab dan bermalas-malasan, sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang. Tawakkal justru sebaliknya, menerima komitmen dan usaha serta tanggung jawab dalam menggapai usahanya yang disertai keyakinan kepada kekuatan dan kehendak Ilahi dalam qalbunya.
Tauhid dalam ‘Takut kepada Tuhan’ dan Berharap
Pengertian dari ‘takut kepada Tuhan’ (khauf)yaitu manusia merasakan takut hanya kepada Tuhan semata, oleh karenanya, dirinya senantiasa tawajjuh kepada diri-Nya. Namun jelas, hal ini bukan dalam artian bahwa Tuhan adalah keberadaan yang menakutkan, bahkan kita mengetahui bahwa seluruh sifat-sifat jamaliyah berasal dari Tuhan yang senantiasa terpancar dari-Nya rahmat dan kasih sayang kepada seluruh keberadaan. Cahaya kelembutan dan kemuliaan-Nya terpancar kepada seluruh keberadaan.
Hanya Dia cinta hakiki dan paling prinsip. Tak ada yang lain selain diri-Nya. Allah SWT bukan hanya tidak zalim kepada hamba-hambanya (Dan sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya, Ali-Imran : 182), bahkan Dia Rahman dan Rahim. Kesimpulannya, seluruh sifat-sifat kesempurnaan secara hakiki berasal dari-Nya dan segala sifat merupakan jelmaan dari sifat-sifat keindahan-Nya.
Sebenarnya apa yang dimaksud takut kepada Tuhan? Takut kepada Tuhan pada hakikatnya bermakna takut kepada konsekuensi akan amal dan perbuatan kita sendiri. Maksudnya takut kepada apa yang akan kita peroleh pada akhir kelak oleh perbuatan kita sendiri yang pada akhirnya akan mendatangkan azab kepada diri kita sendiri. Sebagaimana dalam surah Ali-Imran : 182, “(Azab) yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya.”
Ayat serupa seperti di atas, diulang berkali-kali di dalam Quran. Karena untuk mengingatkan kepada kita semua bahwa apa yang akan kita peroleh pada hari kiamat kelak adalah hasil dari perbuatan kita sendiri. Namun dalam pandangan Quran, tak ada satu pun perkara yang akan terjadi tanpa keinginan dan kehendak Ilahi, maka azab dan balasan ukhrawi juga dinisbahkan kepada Allah SWT. Dalam surah Al-Ghasyiyah : 24, Allah SWT berfirman, “maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar.” Namun sebagaimana yang kami jelaskan sebelumnya, Allah SWT tidak mungkin zalim kepada hamba-hamba-Nya, oleh karena itu azab Ilahi tidak mungkin terjadi tanpa sebuah perhitungan. Azab Ilahi pada hakikatnya aktualisasi atas tindakan serta amal buruk kita sendiri.
Berkenaan dengan berharap (rajā’) dalam pengertian ini diperhadapkan dengan putus asa. Pengertian putus asa yaitu seluruh pintu harapan bagi dirinya telah tertutup dan berbagai jalan alternatif untuk sampai kepada maksudnya telah tertutup. Oleh karena itu, berputus asa terhadap rahmat Ilahi berarti memutuskan harapan kepada diri-Nya, tentunya perbuatan ini terbilang sebagai perbuatan dosa besar. Perbuatan atau kondisi seperti ini berasal dari ketiadaan pengetahuan dan makrifat secara sempurna kepada Tuhan. Karena manusia arif yang menyadari kehendak tak terhingga Ilahi, tidak pernah membatasi kuasa Tuhan. Ia meyakini bahwa Allah SWT mampu menyelesaikan segala persoalan. Oleh karena itu, ia senantiasa berharap kepada rahmat Ilahi dan kasih sayang-Nya dalam setiap cobaan dan kesusahan. Ia tidak pernah sama sekali putus asa kepada Tuhan. Dalam surah Ali-Imran : 175, Allah SWT berfirman, “Karena itu, janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” Dalam surah Al-Baqarah : 218, Allah SWT berfirman,‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka dapat mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dari penjelasan sebelumnya telah jelas bahwa tauhid dalam ‘takut kepada Tuhan’ dan ‘berharap’ bahwa manusia senantiasa takut kepada azab Ilahi namun pada saat yang sama hatinya hanya berserah kepada Tuhan dan ia juga senantiasa berharap hanya kepada rahmat dan kasih sayang Ilahi.
Diterjermahkan dari Buku : “Ămuzesy-e ‘Aqâ‘id” Tim Penulis : Mohsen Gharaveyân, Mohammad Reza Ghulâmî, Sayed Mohammad Husain Mirbâqerî).