Dengan memperhatikan pembahasan sebelumnya, makna ayat yang dimaksud yaitu jika telah dibuktikan di alam ini hanya ada satu pencipta, maka ketunggalan pencipta dan zat-Nya juga terbukti dengan sendirinya. Oleh karena itu, berdasarkan dengan ayat sebelumnya maka empat pembagian tauhid juga dapat dibuktikan; yaitu tauhid dalam rububiyah, tauhid dalam zat, tauhid dalam uluhiyah, dan tauhid dalam khaliqiyah.
Namun berkenaan dengan ayat tersebut, banyak bentuk penjelasan dan penafsirannya. Ada juga sebagian orang yang mencoba menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut sebenarnya menjelaskan persoalan yang sudah sangat jelas dan diketahui secara umum oleh masyarakat. Oleh karenanya, dalam menjelaskan ayat ini biasanya mereka mengatakan; ‘tidak mungkin ada dua kepala desa dalam sebuah desa’. Maksudnya sebagaimana dalam sebuah desa tidak mungkin ada dua kepala desa karena tidak sesuai dan akan menimbulkan kondisi yang tidak harmoni dalam desa tersebut, maka jika pada alam ini juga terdapat dua pencipta, tentu akan terjadi perselisihan diantara kedua pencipta tersebut, dan pada akhirnya sistem eksistensi alam akan hancur. Namun penjelasan seperti ini hanya sekedar bentuk justifikasi, bukan argumentasi. Disisi lain kita menyaksikan bahwa ayat tersebut adalah sebuah bentuk argumentasi dalam mengargumentasikan tauhid uluhiyah, bukan sekedar penjelasan yang bersifat justifikasi.
Sebagian penafsir lain mengatakan bahwa bentuk argumentasi ayat ini disebut dengan ‘burhan tamanu’ (argument from mutual hindering). Namun jika diperhatikan secara detail, ada beberapa hal yang mesti dianalisa; pertama; dalam pembahasan argumentasi tamanu’ kita mengatakan bahwa argumentasi ini membuktikan ketunggalan wajibul wujud. Sedangkan pada ayat tersebut menjelaskan pembuktian ketunggalan pencipta. Oleh karena itu tidak bisa dikatakan bahwa makna ayat tersebut persis sama dengan apa yang dijelaskan pada burhan tamanu’. Kedua; pada burhan tamanu’ membuktikan bahwa jika dua wajibul wujud diasumsikan terjadi, maka akan melazimkan tidak akan ada ciptaan yang tercipta sama sekali dan alam tidak akan muncul. Namun pada ayat tersebut sebenarnya ingin menjelaskan dan membuktikan bahwa jika ada dua pencipta maka alam ini akan sirna, bukan mengatakan tak ada sama sekali ciptaan yang akan tercipta. Dalam kata lain, sirnanya alam hanya akan terjadi jika telah ada alam terlebih dahulu sebelumnya. Oleh karena itu, maksud dari ayat tersebut bahwa adanya pencipta lebih dari satu, bukan berarti akan melazimkan bahwa tidak akan ada alam yang akan tercipta sama sekali. Namun adanya pencipta lebih dari satu akan meniscayakan kehancuran alam ini. Tentu penjelasan ini berbeda dengan argumentasi tamanu’.
Ayat Kedua
Ayat lainnya yang membuktikan tauhid rububiyah dan uluhiyah, pada surah Al-Mukminun : 19. Dalam surah tersebut Allah SWT berfirman:“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya. Kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.”
Dalam mengargumentasikan ayat diatas, para penafsir memiliki pandangan yang beragam berkenaan dengan hal tersebut. Dalam kesempatan ini kami tidak ingin menukil semua pandangan tersebut, apalagi menganalisa pandangan mereka satu persatu. Kami hanya ingin menukil pandangan yang lebih sesuai dengan penafsiran ayat tersebut, tentunya yang lebih sesuai menurut pandangan kami.
Ayat ini sebagaimana dengan ayat sebelumnya mencoba untuk membuktikan tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah. Dalam ayat tersebut mengatakan bahwa jika ada tuhan disamping Tuhan yang hakiki dimana hal tersebut akan meniscayakan berbilangnya tuhan, maka masing-masing dari tuhan tersebut akan mengatur ciptaannya sendiri tanpa membutuhkan pada yang lainnya. Jika demikian halnya maka tentu akan meniscayakan terciptanya sistem yang berbeda-beda pada alam ini. Namun tidak demikian halnya jika kita menyaksikan alam ini, sistem yang berjalan pada alam eksistensi tak lebih dari satu sistem saja. Jika pada alam ini hanya ada satu sistem, sedangkan terdapat dua pencipta dan pengatur maka akan meniscayakan alam ini hancur dan sirna. Oleh karena itu –sebagaimana yang telah kami jelaskan pada ayat sebelumnya- karena ‘keragaman sistem eksistensi’ tidak terjadi, dan karena ‘kehancuran dan kesirnaan’ tidak terjadi pada sistem eksistensi, maka keberbilangan tuhan juga tidak terjadi dan tidak ada tuhan selain Allah SWT sebagai Tuhan yang hakiki, dan tentunya tidak ada yang menyekutukan-Nya.
Pada bagian kedua ayat tersebut :“Dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.” Maksud dari ayat ini membutuhkan penjelasan dan bisa dijelaskan dengan penjelasan berikut ini. Kita mengetahui dengan baik bahwa pada alam ini terjadi hukum kausalitas. Sebagian keberadaan merupakan sebab bagi keberadaan lainnya. Oleh karena itu, sebagian keberadaan merupakan sebab, sedangkan keberadaan lainnya adalah akibat. Jika masing-masing dari bagian-bagian keberadaan ini terdapat tuhan dan pengatur tertentu, dimana kelaziman dari sebab adalah mendahului akibatnya, maka terdapat tuhan yang mengatur atas keberadaan-keberadaan sebab dan juga terdapat tuhan yang mengatur atas keberadaan-keberadaan akibat. Tentu tuhan yang mengatur sebab lebih dahulu dari pada tuhan yang mengatur akibat, karena diasumsikan bahwa tuhan akibat mengatur keberadaan-keberadaan akibat. Jelas, jika sebab tuhan dan ‘keberadaan-keberadaan sebab’ yang niscaya harus lebih dahulu ada, tidak eksis pada realitas eksternal maka pasti tuhan akibat dan ‘keberadaan-keberadaan akibat’ tidak akan ada. Disini kita akan melihat bahwa tuhan akibat tidak independen dalam segala sisi dan tidak memiliki kuasa sepenuhnya. Bahkan pengaturan dia terhadap keberadaan-keberadaan akibat bergantung pada sebab dan tuhan sebab. Maksudnya, ‘tuhan akibat’ butuh pada tuhan yang lebih tinggi darinya. Dalam kata lain, ketuhanan ‘tuhan akibat’ dibawah naungan ketuhanan ‘tuhan sebab’. Tentu gambaran seperti ini hanya akan meniscayakan satu Tuhan yang hakiki sekaligus pengatur yang hakiki. Dalam asumsi ini tuhan tersebut adalah ‘tuhan sebab’ dimana segala eksistensi yang lain berada dalam genggamannya dan dalam aturannya. Bahkan bisa dikatakan yang dimaksud oleh Quran dengan ayat berikut ini :‘Dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain’ adalah rangkaian mata rantai tuhan-tuhan antara satu dengan yang lainnya sebagaimana yang telah kami gambarkan diatas.
Ayat Ketiga
Ayat lainnya yang membuktikan tauhid dalam uluhiyah yaitu pada surah Al-Isra’ : 42. Pada ayat tersebut Allah SWT berfirman :‘Katakanlah, “Jika ada tuhan-tuhan bersama-Nya sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai ‘Arasy.”
Dalam mengargumentasikan ayat ini, kata ‘Arasy’ dalam bahasa Quran digunakan untuk menunjukkan maqam pengaturan Tuhan, sebagaimana pada surah Yunus : 3, Allah SWT berfirman : “…kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy untuk mengatur segala urusan.”
Ada dua penjelasan berkenaan dengan ayat yang sedang dibahas. Pertama; pada ayat tersebut dikatakan bahwa jika diasumsikan ada tuhan yang lain maka tuhan tersebut niscaya dapat mengatur (maqam rububiyah) keberadaan-keberadaan yang lain. Dalam kata lain, hanya dikatakan tuhan jika ada keniscayaan mengatur atau memelihara akan keberadaan lain karena maqam uluhiyah tidak terpisah dari maqam rububiyah. Kemudian jika diasumsikan setiap tuhan masing-masing memiliki maqam rububiyah, maka jika tuhan berbilang (lebih dari satu) tentu maqam rububiyah pun berbilang. Sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya, asumsi ini akan meniscayakan berbilangnya maqam rububiyah dan berbilangnya maqam rububiyah akan meniscayakan kehancuran dan kesirnaan alam eksistensi. Kedua; orang-orang musyrik meyakini terhadap tuhan-tuhan yang lain dan mereka tidak meletakkan tuhan-tuhan tersebut sejajar dan setara dengan Allah. Bahkan mereka sendiri meyakini bahwa pencipta seluruh alam semesta dan Tuhan hakiki hanya Tuhan yang tunggal. Dalam Quran pada surah Luqman : 25 juga menegaskan hal tersebut :“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi.” Tentu mereka akan menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
Dengan memperhatikan pembahasan diatas, mesti dikatakan bahwa maksud dari orang-orang musyrik berkenaan dengan tuhan-tuhan tersebut adalah meletakkannya sebagai pemberi syafaat dibawah naungan singgasana Tuhan. Dan mereka menjadikan tuhan-tuhan tersebut sebagai perantara jika mereka ingin dekat kepada Tuhan. Dalam surah yunus : 19 orang-orang musyrik berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah’. Juga dalam surah Az-Zumar : 3 orang-orang musyrik berkata, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.”
Berdasarkan pada apa yang telah kami sampaikan pada pembahasan sebelumnya. Ayat yang telah kami bahas sejak awal mampu menjawab asumsi-asumsi yang diyakini oleh orang-orang musyrik. Maksudnya tuhan-tuhan yang mereka jadikan sebagai pemberi syafaat dan sebagai wadah yang mendekatkan mereka kepada Allah sama sekali tidak memiliki keindependenan, tuhan-tuhan tersebut juga butuh kepada Allah ketika ingin memberi syafaat dan juga sebagai perantara. Oleh karena itu, tuhan-tuhan tersebut bukanlah tuhan hakiki karena sama sekali tidak memiliki keindependenan. Bahkan jika tuhan-tuhan tersebut ingin melakukan sesuatu butuh pada Allah sebagai pemilik Arasy.
Diterjermahkan dari Buku : “Ămuzesy-e ‘Aqâ‘id” Tim Penulis : Mohsen Gharaveyân, Mohammad Reza Ghulâmî, Sayed Mohammad Husain Mirbâqerî).