Penjelasan Beberapa Hal Penting
Berkenaan dengan ayat sebelumnya, terdapat beberapa hal penting yang akan kami sampaikan pada kesempatan kali ini;
Pertama; Mungkin ada yang bertanya berkenaan dengan Nabi Ibrahim as karena jika kita perhatikan pada ayat sebelumnya, Nabi Ibrahim as mempredikatkan kata ‘rabb’ pada bulan, bintang, matahari. Apakah hal ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim as pernah berada pada kondisi muysrik? Minimal pada priode tertentu Nabi Ibrahim as pernah musyrik? Sebagian mufassir menjawab bahwa apa yang diungkapkan oleh Nabi Ibrahim as pada saat itu bukanlah keyakinannya, karena Nabi Ibrahim as secara fitrawi bertauhid. Lalu berkaitan dengan persoalan tersebut, Nabi Ibrahim as pada saat itu sedang meneliti dalam persoalan ketuhanan. Dalam penelitian tersebut, pertama ia meyakini bahwa entitas-entitas tersebut mungkin saja berposisi sebagai rabb, namun setelah Nabi Ibrahim as meneliti persoalan tersebut, akhirnya beliau sadar bahwa pemikiran seperti itu adalah pemikiran yang batil dan tidak benar.
Namun penafsiran seperti ini menurut hemat kami tidak benar, karena jika kita melihat teks ayat Qurannya, Nabi Ibrahim as mengatakan hal tersebut karena sedang berdialog dengan orang-orang musyrik. Berdasarkan hal ini tidak tepat jika dikatakan bahwa Nabi Ibrahim as sedang mengadakan penelitian karena Nabi Ibrahim as sedang berdialog dengan orang-orang musyrik berkenaan dengan ketuhanan. Artinya Nabi Ibrahim as telah memiliki keyakinan tertentu dan dengan keyakinan tersebut didialogkan dengan orang-orang musyrik. Bukan juga dalam pengertian bahwa Nabi Ibrahim as ragu terhadap keyakinannya sehingga beliau berdialog dengan orang-orang muysrik. Persoalan ini dijelaskan sendiri oleh Quran pada surah Al-An’am : 83, “Dan itulah hujah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.” Demikian juga dalam surah Al-An’am : 75 “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, (agar ia berargumentasi dengannya) dan termasuk orang-orang yang yakin.”
Berdasarkan pada ayat di atas, ketika Nabi Ibrahim as berdialog dan berargumentasi dengan kaumnya, beliau telah memiliki keyakinan yang kuat, bukan dalam pengertian bahwa Nabi Ibrahim as masih dalam rangka penelitian. Oleh karena itu, kita tidak bisa menggunakan penafsiran di atas dalam menjawab persoalan tersebut.
Sebagian lainnya menafsirkan persoalan tersebut sebagai berikut; proposisi yang digunakan Nabi Ibrahim as adalah proposisi dalam bentuk pertanyaan dimana pertanyaan ini digunakan untuk menggugah kaumnya. Bentuk pertanyaannya, ‘Apakah ini rabb-ku?’ ‘Apakah ini tuhan-ku?’ Karena itu hal tersebut tidak menunjukkan keyakinan yang ada di dalam Kalbu Nabi Ibrahim as sehingga tidak menyebabkan Nabi Ibrahim as menjadi musyrik. Namun penafsiran ini menurut kami, juga penafsiran yang kurang tepat karena masih mesti dijelaskan bagaimanakah bentuk jenis pertanyaannya. Maksudnya kita masih bertanya bagaimana bentuk pertanyaannya, jika pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang bersifat hakiki maka hal ini menunjukkan Nabi Ibrahim as belum memiliki keyakinan yang kuat terhadap persoalan tauhid. Hal tersebut tentu bertentangan dengan keyakinan Nabi Ibrahim as sebagaimana yang dijelaskan sendiri oleh Quran. Dan jika jenis pertanyaan tersebut adalah pertanyaan dalam bentuk pengingkaran maka makna dari pertanyaan ‘Apakah ini tuhan-ku (rabb-ku)?’ Yaitu entitas-entitas tersebut sama sekali bukan tuhan-ku. Namun berargumentasi dalam persoalan keyakinan dengan audiens dalam bentuk seperti ini, khususnya dalam tahap pertama berdialog tidak dapat diterima. Selain itu pula, mengungkapkan sebuah bentuk proposisi namun yang diinginkan atau yang dimaksud bukan makna lahiriahnya tapi makna lainnya tentu tidak bisa diterima dalam argumentasi.
Penafsiran yang benar yaitu sebagaimana yang dijelaskan oleh teks lahiriah Quran bahwa Nabi Ibrahim as dalam dialog tersebut mencoba untuk mendekati pemikiran kaumnya. Jalan mendekatinya yaitu dengan mencoba bersama dengan pemikiran mereka sehingga mudah menarik pemikiran mereka dan selanjutnya membuktikan kebatilan keyakinan mereka dan menjelaskan keyakinan yang benar.
Kedua; Pembahasan lainnya yang akan kami jelaskan dalam kesempatan ini berkaitan dengan pernyataan Nabi Ibrahim as dalam surah Al-An’am : 76 “saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Pernyataan ini mengandung dua hal :
a) Rabb hakiki tentu Rabb yang meliputi secara sempurna terhadap ciptaan-ciptaannya. Dalam kata lain, diri-Nya senantiasa bersama makhluk. Maksudnya diri-Nya tak pernah jauh dari ciptaan-ciptaannya. Antara diri-Nya dan ciptaan-Nya tidak pernah terpisah. Sebagaimana dalam Quran berkenaan dengan Rabb hakiki mengatakan “Dia bersama kalian dimana saja kalian berada” (surah Al-Hadid : 4). Pada ayat lain Allah SWT berfirman, “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadinya.” (surah Qaf : 16).
Berdasarkan hal ini, dikarenakan bintang setelah menjelang beberapa waktu tertentu tenggelam dan lenyap dihadapan manusia, maka bintang tersebut tidak layak dalam menerima posisi sebagai rabb hakiki karena antara dirinya dengan entitas-entitas yang lain terdapat jarak dan juga terpisah. Sedangkan hal ini tidak sesuai dengan maqam rububiyah hakiki.
b) Pada pembahasan sebelumnya telah kami jelaskan mengenai Rabb hakiki dan Ilah hakiki. Pada pembahasan tersebut kami jelaskan bahwa Ilah adalah suatu realitas hakiki yang memiliki kelayakan untuk disembah. Di sisi lain kita mengetahui bahwa antara hamba dengan Ilah yang disembah, tentu terdapat relasi kecintaan di antaranya karena jika hamba tidak cinta pada apa yang disembahnya maka ia tidak akan pernah dapat menyembah Ilah secara hakiki. Hal tersebut juga didasari bahwa ibadah dalam pemaknaannya secara hakiki adalah jalan menuju kesempurnaan hakiki manusia dimana kesempurnaan tersebut adalah mendekatkan diri kepada Ilah. Kelaziman dari ibadah dan berjalan menuju kesempurnaan mutlak yaitu manusia tertarik kepadanya dan cinta terhadapnya. Jika tidak, maka ibadah tidak akan mewujud.
Berdasarkan hal di atas, jika diasumsikan bulan, matahari, dan bintang memiliki rububiyah hakiki, tentu mereka memiliki cinta yang kokoh dan kekal terhadap ciptaan-ciptaan yang diasumsikan padanya. Namun tenggelamnya rabb-rabb yang diasumsikan tersebut menunjukkan ketidakabadian mereka terhadap ciptaan-ciptaan yang diasumsikan padanya. Di sisi lain, hal tersebut juga akan membuat ciptaan-ciptaan yang diasumsikan tersebut tidak memilliki kecintaan terhadap rabb, karena secara prinsip, kecintaan dan kebergantungan hakiki tidak berkaitan dengan entitas-entitas yang tidak kekal. Entitas-entitas yang temporal dan semu tidak akan memberikan cinta hakiki dan abadi, seperti kecintaan pada dunia dan kenikmatan-kenikmatan dunia. Jika manusia memahami dengan baik akan ketidakabadian nikmat-nikmat tersebut maka ketertarikan dan kecintaan padanya akan segera sirna.
Berkenaan dengan kecintaan terhadap harta dunia dan mengumpulkan harta, dalam surah Al-Humazah : 2-3, Allah SWT berfirman, “Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkan dirinya.” Manusia mengira bahwa materi dapat memberikan kenikmatan dan cinta yang abadi dan kekal. Padahal mereka lupa, materi dan kenikmatan-kenikmatan materi itu semu. Sebagaimana dalam surah Al-Anbiya : 34, “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelummu (Muhammad). Maka jika kamu mati, apakah mereka akan kekal?”.
Berdasarkan hal di atas, realitas yang disembah secara hakiki dan Rabb hakiki tidak mungkin pada realitas yang tidak abadi dan sementara. Oleh karena itu, entitas-entitas seperti matahari, bulan, dan bintang tidak layak menduduki posisi uluhiyah dan menjadi objek yang disembah oleh manusia.
Ketiga; Poin penting lainnya berkenaan dengan Nabi Ibrahim as yaitu setelah beliau menyaksikan tenggelamnya bulan, dalam surah Al-An’am : 77 beliau berkata, “Sesungguhnya jika Tuhan-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Dari perkataan Nabi Ibrahim as menunjukkan bahwa salah satu sifat dari Rabb hakiki adalah memberikan hidayah kepada makhluk dan mengantar manusia menuju kesempurnaan, karena itu persoalan hidayah merupakan hal yang paling penting berkaitan dengan manusia dan seluruh makhluk. Oleh karenanya, urusan tersebut berada di tangan Rabb hakiki.
Dalam Quran terdapat beberapa ayat yang menunjukkan hal ini, salah satunya pada surah Al-Ankabut : 69 “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” Dalam surah Al-A’raf : 42 Allah SWT berfirman, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (semua kenikmatan surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi petunjuk kepada kami.” Juga dalam surah Al-Baqarah : 272, “Petunjuk mereka bukanlah berada di (tangan)mu. Akan tetapi, Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” Begitu pula dalam surah Al-Lail : 12 “Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk.”
Beberapa ayat di atas secara jelas menunjukkan bahwa persoalan dalam memberikan hidayah kepada makhluk salah satu dari sifat Rabb hakiki. Oleh karenanya tidak satu pun dari rabb yang diasumsikan tersebut diterima oleh Nabi Ibrahim as. Karena tak satu pun dari mereka (bulan, bintang, dan matahari) dapat memberikan hidayah dan jalan yang benar. Berdasarkan hal ini, Nabi Ibrahim as memohon kepada Rabb hakiki agar diberikan dan ditunjukkan hidayah sehingga Nabi Ibrahim as berkata, “Sesungguhnya jika Tuhan-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”
Diterjermahkan dari Buku : “Ămuzesy-e ‘Aqâ‘id” Tim Penulis : Mohsen Gharaveyân, Mohammad Reza Ghulâmî, Sayed Mohammad Husain Mirbâqerî).