Penjelasan tentang Rububiyah Tasyri’i
Dalam pembahasan sebelumnya telah kami jelaskan bahwa rububiyah dapat dibagi menjadi dua bagian; rububiyah tasyri’i dan rububiyah takwini. Apa yang telah kami bahas sebelumnya berkenaan dengan rububiyah takwini Tuhan. Pada pembahasan tersebut telah kami buktikan bahwa hanya ada satu Rabb hakiki dan Tuhan hakiki.
Sekarang kami akan menjelaskan mengenai rububiyah tasyri’i. Sebagaimana diketahui bahwa manusia adalah makhluk yang berikhtiar atau yang mendasari tindakannya dengan ikhtiar karena manusia memiliki kebebasan dalam iradahnya atau dalam berkeinginan. Berdasarkan hal ini, tentu manusia membutuhkan aturan-aturan sebagai petunjuk dalam mengaplikasikan ikhtiar dan iradah tersebut pada jalan yang benar. Nah sekarang persoalannya, siapakah yang layak meletakkan aturan itu dan seperti apa maqam yang mesti dimiliki oleh peletak aturan tersebut? Di sini kami katakan bahwa Tuhan lebih layak di antara keberadaan manapun dalam menentukan jalan-jalan yang benar yang mesti dilalui manusia dimana manusia menjalaninya dengan iradah dan ikhtiar yang telah Tuhan berikan padanya. Karena Tuhanlah yang menciptakan manusia dimana manusia diciptakan secara ikhtiar serta memberikan manusia iradah yang bebas. Oleh karena itu, hanya Tuhan saja yang memiliki kelayakan secara hakiki dalam membuat aturan dan hukum-hukum syariat.
Namun tentunya berdasarkan pada maslahat tertentu, Tuhan juga memberikan ijin dalam membuat aturan tertentu pada manusia-manusia pilihan, sehingga manusia pilihan tersebut dapat membuat aturan pada batasan tertentu dan dalam bingkai yang telah ditentukan pula. Namun hal ini bukan dalam pengertian bahwa manusia tersebut membuat aturan-aturan secara independen sehingga dirinya juga disebut sebagai peletak hukum dan berdampingan dengan Tuhan sebagai peletak hukum secara hakiki. Akan tetapi sebagaimana yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya bahwa manusia meletakkan hukum tersebut dibawah naungan Ilahi sebagai peletak hukum hakiki. Oleh karenanya hal ini tidak bertentangan dengan tauhid dalam rububiyah tasyri’i.
Tauhid Fitri
Istilah fitri berasal dari kata fitrah atau fathara dan maknanya yaitu sebuah bentuk penciptaan. Berkenaan dengan makna ini, bisa ditemukan dalam Quran pada surah Al-An’am : 79, “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi.” Juga pada surah Rum : 30, “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” Juga pada surah Al-An’am : 14, “Apakah akan aku jadikan selain Allah; Allah yang menjadikan langit dan bumi.”
Berdasarkan dengan beberapa ayat di atas, tauhid fitri ini pada dasarnya berkaitan erat antara persoalan keyakinan terhadap ketunggalan Tuhan dengan penciptaan manusia. Dalam kata lain, bentuk penciptaan manusia senantiasa dibarengi dengan keyakinan terhadap ketunggalan Tuhan. Jika manusia tidak didominasi oleh lupa dan lalai, dan juga tak ada tirai dan hijab yang menjadi penghalang bagi hati dan batin manusia, maka manusia dapat memperoleh cahaya kesadaran hudhuri dan syuhudi secara batin. Keyakinan batin seperti ini bisa diperoleh. Dalam hadis dijelaskan bahwa seluruh manusia lahir berdasarkan fitrah tauhid. Maksudnya setiap penciptaan dan kelahiran manusia disertai dengan keyakinan terhadap ketunggalan Tuhan (tauhid). Dalam membuktikan keyakinan batin seperti ini, kami akan menjelaskannya dalam persoalan tauhid fitri, khususnya dalam membuktikan keberadaan Tuhan.
Sebagaimana yang telah kami jelaskan pada pembahasan sebelumnya, jika manusia telah melalui beberapa tahapan pembahasan pengetahuan dan ilmu hushuli, dan hatinya juga siap dalam menerima pengetahuan hudhuri serta tak ada penghalang pada hati dan qalbunya sehingga dirinya dapat menyaksikan hakikat-hakikat eksistensi, maka pada saat itu ia dapat menyaksikan hubungan dirinya dengan Tuhan dan juga mengetahui bentuk dan hakikat dari hubungan tersebut. Maksudnya melalui persepsi hudhuri tersebut, manusia akan menyaksikan hakikat kebergantungan dirinya pada Tuhan dan juga akan menyaksikan bahwa dirinya adalah faqir mutlak di hadapan Ilahi. Di sisi lain manusia juga akan menyadari secara hudhuri bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya keberadaan yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan manusia. Melalui ilmu hudhuri ini manusia akan meyakini bahwa hanya Dia Rabb yang hakiki. Pengetahuan ini tak mungkin dihilangkan pada diri manusia dan juga tak dapat dipelajari karena pengetahuan ini bersandar pada hubungan eksistensi antara keberadaan manusia dengan Tuhan sehingga istilah yang digunakan adalah fitri. Sekarang melalui penemuan dan syuhud hudhuri ini maka jelaslah bahwa manusia bukan hanya sampai pada hakikat eksistensi pencipta namun juga bisa menyaksikan seluruh manifestasi dan efek-efek serta kelaziman dalam hubungan realitas eksistensi tersebut dengan Tuhan. Salah satu hal yang disaksikan dengan hudhuri adalah rububiyah Sang Pencipta realitas dan kefaqiran seorang hamba serta kebutuhan dirinya pada Sang Khaliq. Mungkin hal ini salah satu rahasia yang disampaikan oleh Quran pada surah Al-A’raf : 172, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) lengah terhadap (kesaksian Tauhid) ini.” Pada ayat ini bukan kata Khaliq yang digunakan akan tetapi kata Rabb. Maksudnya dengan syuhud dan pengetahuan hudhuri tersebut, bukan hanya akan menemukan inti realitas penciptaan, namun juga manusia akan menemukan realitas lainnya, salah satunya adalah rububiyah. Oleh karena itu, pada ayat tersebut Allah SWT berkata kepada manusia, ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’. kemudian seluruh manusia menjawab ‘iya’, Engkau adalah Tuhan kami.
Sekarang, dalam membuktikan bahwa seluruh manusia pada saat itu hadir dan hanya menyaksikan realitas yang tunggal, karena jika ada rabb dan pencipta yang lain bagi realitas alam eksistensi maka manusia pada saat itu tentu menyaksikannya pula dengan hudhuri. Jika diasumsikan manusia menyaksikan adanya Tuhan yang lain, maka seharusnya pertanyaan dari Tuhan adalah ‘Bukankah kami ini Tuhanmu?’ dan semua manusia mengiyakannya. Namun kenyataannya tidak demikian halnya karena kenyataannya sebagaimana yang disampaikan oleh Quran bahwa pencipta dan rabb hakiki hanya satu. Kemudian manusia pun menjawab pertanyaan itu berdasarkan dengan satu Tuhan saja. Oleh karenanya, hubungan eksistensi ini dari sisi manusia hanya berhubungan dengan satu realitas eksistensi semata. Karena itu Dia lah rabb yang hakiki, tunggal, dan tak terbatas.
Melalui penyaksian syuhudi dan hudhuri ini, ketunggalan dalam penciptaan dan rububiyah telah terbukti dengan sendirinya. Kemudian berdasarkan pada pembahasan sebelumnya bahwa yang layak berposisi sebagai uluhiyah dan penyembahan adalah sebuah keberadaan yang menciptakan dan mengatur manusia. Berdasarkan hal ini maka tauhid dalam uluhiyah juga telah dibuktikan. Dan juga tauhid dalam uluhiyah, rububiyah, dan penciptaan semuanya dapat diyakini dengan hudhuri. Oleh karenanya istilah ‘tauhid fitri’ bisa diaplikasikan pada masing-masing dari pembagian tauhid tersebut. Misalnya tauhid dalam rububiyah fitri, tauhid dalam uluhiyah fitri, dan seterusnya. Dalam surah Yasin : 60-61 “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu, hai Bani Adam, supaya kamu tidak menyembah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu?’, ‘Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.” Ayat ini bisa menunjukkan bahwa pada alam perjanjian, manusia menyaksikan secara hudhuri penciptaan dan rububiyah Ilahi. Sehingga manusia pun secara sadar meyakini bahwa hanya Dia yang layak disembah karena Dia lah yang memiliki uluhiyah dan rububiyah. Kemudian di sisi lain, menyembah dan beribadah pada syaitan merupakan perbuatan yang tidak lagi berada dalam koridor shirathal mustaqim dan juga keluar dari tauhid fitri karena setan bukan rabb hakiki dan juga bukan pencipta manusia.
Diterjermahkan dari Buku : “Ămuzesy-e ‘Aqâ‘id” Tim Penulis : Mohsen Gharaveyân, Mohammad Reza Ghulâmî, Sayed Mohammad Husain Mirbâqerî).