Pandangan Dunia

Risalah Pandangan Dunia (6)

Persepsi Indrawi dan Rasio (Akal)

Dalam pembahasan sebelumnya kami telah menyimpulkan bahwa persepsi akal (konsep-konsep universal) adalah salah satu persepsi yang terpisah dari persepsi-persepsi partikular. Potensi yang menangkap konsep universal tersebut disebut dengan akal. Sekarang kita akan mempertanyakan bagaimanakah hubungan di antara kedua persepsi tersebut? Apakah persepsi akal, dalam hal ini konsep universal adalah sebuah proses pengembangan dari konsep-konsep indrawi dan partikular melalui abstraksi dan generalisasi sebagaimana yang diungkapkan oleh Jhon Lock? Ataukah kedua dari persepsi tersebut tidak ada sama sekali hubungannya antara satu dengan lainnya? Apakah pandangan empirisme yang benar ataukah rasionalisme?

Analisa terhadap Gagasan diatas

Pertama-tama kami akan menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan ‘indrawi’. Umumnya yang dimaksud dengan persepsi indrawi adalah sebuah persepsi yang didapatkan melalui panca indra, seperti penglihatan, pendengaran, penciuman dst. Namun terkadang ‘indrawi’ memiliki makna yang lebih luas karena meliputi psikologis dan kondisi internal jiwa. Jhon Lock salah satu tokoh yang memaknai indrawi secara general. Jhon Lock adalah tokoh empiris pertama yang meyakini akan ke-empiris-an dalam persoalan persepsi. Dia juga meyakini kondisi-kondisi internal sebagai bagian dari persepsi indrawi seperti perasaan lapar, haus, sedih, gembira dst. Namun apa yang menjadi objek pembahasan kita kali ini adalah persoalan indrawi dalam pemaknaan yang pertama, mengingat pembahasan kita kali ini pada persepsi-persepsi indrawi  dan rasio dimana keduanya merupakan pembagian dari tasawwur. Sebelumnya juga telah disampaikan bahwa tasawwur dan tashdiq merupakan pembagian dari ilmu hushuli. Oleh karenanya kondisi-konsisi internal tidak menjadi objek pembahasan kita dikarenakan hal tersebut merupakan pembagian dari ilmu hudhuri.

Pada pembahasan sebelumnya akal dipahami sebagai sebuah potensi untuk memahami hal-hal yang bersifat universal. Harus dipahami bahwa akal memiliki makna yang beragam bahkan dalam istilah filsafatpun demikian halnya. Namun yang kami maksudkan dengan akal adalah sebuah persepsi yang menangkap konsep-konsep universal sebagaimana yang kami sampaikan sebelumnya.

Untuk mengeritik gagasan yang disampaikan oleh kaum empiris berkenaan dengan persepsi universal, kita bisa menganalisa konsep-konsep universal yang ada dalam alam mental kita sendiri. Nanti kita akan menyaksikan bahwa indrawi tidak akan mungkin sampai pada persepsi universal dan melalui hal inilah kita akan mengeritik gagasan mereka. Sebenarnya ada banyak konsep universal yang telah kita ketahui dimana konsep-konsep tersebut sama sekali tidak mungkin dipersepsi melalui persepsi indrawi. seperti konsep-konsep logika misalnya subjek, predikat, proposisi, jenus, difrensia, dan juga konsep-konsep filsafat seperti sebab, akibat, mumkin dan wajib, ataupun juga konsep-konsep yang biasa digunakan dalam ilmu-ilmu sains seperti medan magnet, potensi, energi, materi dst. Tapi tentunya ada juga sebagian dari konsep-konsep universal yang didapatkan melalui proses generalisasi dan abstraksi persepsi indrawi.  Seperti konsep putih, manis dan konsep-konsep lainnya yang mirip dengannya. Kesimpulannya bahwa konsep-konsep universal terbagi menjadi beberapa pembagian dimana sebagian dari pembagian tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan persepsi-persepsi indrawi. Seperti konsep-konsep filsafat dan konsep lainnya, demikian pula konsep logika dimana didalamnya peran dari indrawi hanya sebagai faktor penyiap. Maksudnya bahwa konsep-konsep indrawi adalah sebagai wadah untuk mempersiapkan persepsi akal dalam menangkap konsep universal. Bagian lainnya adalah konsep-konsep yang didapatkan melalui pengabstraksian konsep indrawi. Dari pembahasan sebelumnya menjelaskan bahwa akal dapat mempersepsi sebuah konsep tanpa adanya perantara indrawi sama sekali. Hanya pada bagian akhir yang kami jelaskan diatas yang menerangkan fungsi lain dari akal yaitu generalisasi dan abstraksi. Dengan penjelasan ini kami telah membuktikan akan gagasan rasionalisme sebagaimana yang kami maksud.

Tashdiq Badihi ( Sederhana ) dan Nazari ( Teoritis )

Tashdiq adalah hubungan dari beberapa konsep melalui hukum ( judgement ) yang dilakukan oleh alam mental. Dalam istilah lainnya disebut dengan proposisi, karena proposisi adalah rangkaian dari beberapa konsep dan hukum. Oleh karena itu selama belum ada hukum di antara konsep-konsep yang ada maka tentunya tidak akan ada juga proposisi dan tashdiq. Hukum yang dilakukan oleh alam mental kita tidak seluruhnya sama. Sebagian besar dari hal tersebut – setelah mempersepsi subjek dan predikat – membutuhkan dalil atau argumentasi agar hubungan antara subjek dan predikat terjadi. Misalnya ketika kita mengkonsepsi ‘jumlah sudut segitiga’  dan kemudian ‘180 derajat’, tidaklah cukup bagi alam mental kita untuk mengeluarkan hukum dan menghubungkan kedua konsep diatas. Terkecuali sebelumnya telah dibuktikan bahwa jumlah seluruh sudut segitiga adalah 180 derajat. Setelah ada dalil barulah kemudian alam mental kita bisa menghubungkan diantara kedua konsep tersebut. Akan tetapi sebagian dari hal tersebut, alam mental kita sama sekali tidak membutuhkan dalil atau argumentasi dalam mengeluarkan sebuah hukum. Cukup dengan mengkonsepsi subjek dan predikat, alam mental kita langsung mengeluarkan hukum di antaranya. Misalnya proposisi berikut ini ; keseluruhan lebih besar dari sebagiannya. Jika anda perhatikan contoh ini, cukup anda menkonsepsi dengan baik subjek dan predikat maka secara otomatis anda akan mengeluarkan hukum di antaranya tanpa membutuhkan dalil atau argumentasi sama sekali. Sebagai contoh coba anda persepsi ‘keseluruhan’ dan kemudian anda persepsi ‘sebagian’ maka secara otomatis anda akan men-tashdiq ( mengeluarkan hukum ) bahwa keseluruhan lebih besar dari pada sebagian. Begitu juga proposisi-proposisi lainnya yang bersifat badihi yang ada dalam alam mental setiap orang. Namun jika kita menginkari tashdiq-tashdiq yang bersifat badihi maka kita tidak akan pernah bisa mentashdiq hal-hal yang bersifat teoritis. Karena sebagaimana yang telah kami ungkapkan sebelumnya bahwa tashdiq-tashdiq teoritis didapatkan melalui dalil atau argumentasi dan argumentasi tidak mungkin dicapai tanpa adanya pengetahuan-pengetahuan badihi. Alam mental kita menggunakan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya untuk bisa memecahkan problema pengetahuan. Perhatikan proposisi berikut ini sebagai contoh ;  manusia adalah sosok yang memiliki ikhtiyar dan yang memiliki ikhtiyar melaksanakan perbuatannya dengan pengetahuannya, kesimpulannya adalah bahwa manusia adalah makhluk yang melaksanakan perbuatannya dengan pengetahuannya.

Jika kita lihat contoh proposisi diatas maka kita melihat proposisi di atas dibangun berdasarkan dua premis dan dari dua premis tersebut menghasilkan sebuah kesimpulan. Jika kedua premis tersebut tidak ada maka kita tidak akan sampai pada tahap tashdiq. Sekarang jika kedua premis tersebut adalah terdiri dari proposisi-proposisi teoritis maka tentunya proposisi tersebut membutuhkan premis-premis yang lain, agar proposisi tersebut dapat dibuktikan dan begitu selanjutnya sampai berakhir kepada sebuah proposisi dimana proposisi tersebut tidak membutuhkan argumentasi lagi, dan proposisi yang terakhir itulah yang disebut dengan badihi.  Selain dari pada itu pondasi sebuah argumentasi didasarkan pada prinsip non-kontradiksi dimana prinsip tersebut bersifat badihi. Jika prinsip tersebut tidak ada maka argumentasi tentunya tidak memiliki makna sama sekali. Sebab jika kita telah membuktikan sebuah persoalan dengan seluruh argumentasi yang ada, tentunya masih terbuka peluang akan kebenaran dan kesalahan dari kesimpulan tersebut dikarenakan prinsip non-kontradiksi tidak berlaku. Oleh karena itu penafian terhadap tashdiq-tashdiq badihi melazimkan penafian terhadap tashdiq-tashdiq teoritis. Akan tetapi harus dipahami bahwa hubungan di antara proposisi-proposisi badihi dan nazari dalam pemaknaan bahwa jika kita ingin sampai pada proposisi-proposisi teoritis maka kita harus memiliki proposisi-proposisi badihi. Namun tentunya untuk sampai kepada proposisi-proposisi teoritis tidak cukup hanya bersandarkan kepada proposisi-proposisi badihi karena dibutuhkan syarat-syarat lainnya, secara istilah dijelaskan bahwa tashdiq-tashdiq badihi syarat yang lazim tapi bukan syarat yang cukup.

Disini harus dipahami juga bahwa kebutuhan kepada tashdiq-tashdiq badihi untuk sampai tashdiq-tashdiq teoritis tidaklah sama dan pada umumnya berbeda-beda. Prinsip badihi yang paling umum adalah prinsip non-kontradiksi yang biasa dijelaskan dalam ilmu logika dengan seluruh syarat-syaratnya. Tidak ada seorangpun yang bisa mengingkari prinsip tersebut bahkan mereka yang secara lahiriah mengingkari prinsip tersebut tidak mungkin mengingkarinya. Seluruh pengetahuan manusia dibangun berdasarkan prinsip tersebut, oleh karenanya jika kita menafikan prinsip tersebut maka seluruh pengetahuan manusia tidak memiliki makna sama sekali, bahkan aktivitas keseharian kita pun yang kita lakukan berdasarkan pengetahuan akan sirna sama sekali.

Tashdiq-Tashdiq Eksperimentasi  dan Non-Eksperimentasi

Salah satu pembagian lain dalam tashdiq adalah bahwa tashdiq tersebut dibagi kepada tashdiq eksperimentasi dan non-eksperimentasi. Tapi dikarenakan istilah eksperimentasi memiliki makna yang berbeda-beda maka perlu kiranya kami sampaikan dalam kesempatan ini beberapa makna dari istilah tersebut sehingga pembahasannya akan semakin jelas.

  1. Terkadang yang dimaksudkan dengan eksperimentasi adalah penyaksian secara indrawi dan intuitif. Maksudnya adalah sebuah persepsi yang dilakukan dengan penyaksian dan pengindraan oleh salah satu dari indrawi kita, seperti sesuatu yang kita lihat dan kita sentuh, bau tertentu yang kita cium atau hirup, bunyi yang kita dengar, atau rasa yang kita cicipi, kesemua hal tersebut merupakan persepsi-persepsi indrawi. Lawan  dari istilah eksperimentasi di atas adalah sebuah persepsi yang didapatkan melalui pemikiran dan argumentasi dan atau melalui penukilan. Seperti persoalan matematika, persoalan filsafat, atau persoalan-persoalan lainnya yang didapatkan melalui argumentasi. atau seperti persoalan-persoalan sejarah yang didapatkan melalui perantara penukilan. Jelas bahwa hal-hal di atas sama sekali bukanlah persoalan eksperimentasi. Eksperimentasi equivalen dengan pengamatan dan dengan istilah inilah eksperimentasi ini digunakan. Terkadang juga istilah eksperimentasi meliputi kondisi-kondisi internal jiwa yang biasa disebut dengan eksperimentasi internal. Hal penting yang ingin kami sampaikan bahwa terkadang indrawi digunakan berkaitan dengan konsepsi sedangkan eksperimentasi digunakan berkaitan dengan tashdiq.
  2. Istilah lain dari eksperimentasi adalah penyaksian secara berulang-ulang sebuah fenomena dimana kita bisa mengetahui sebabnya secara global. Berbeda dengan istilah ‘hads’ (intuitif) dimana dalam hal tersebut tidak dilazimkan adanya perulang-ulangan bahkan boleh jadi hanya satu kali pengamatan akan tetapi langsung bisa sampai kepada sebab yang dimaksud.
  3. Istilah ketiga dari eksperimentasi adalah sebuah metodologi yang biasa digunakan dalam mengecek unsur-unsur yang berlaku dalam sebuah fenomena, biasanya dengan meletakkan unsur tertentu atau menghilangkan unsur tertentu dalam fenomena tersebut sehingga kita bisa sampai kepada sebab yang dimaksud. Dalam istilah ini penekanannya lebih banyak pada konsep praktek dan observasi. Oleh karena itu biasanya diterjemahkan ke dalam kata ‘praktek’. Misalnya ketika kita ingin menemukan penyebab dari uap air. Tentunya kita harus melakukan observasi secara berulang-ulang, biasanya dengan melebihkan atau mengurangi unsur yang ada dalam kondisi yang berbeda-beda maka kita akan mengetahui sebab yang dimaksud.

Perbedaan istilah eksperimentasi di atas antara istilah kedua dan ketiga adalah bahwa menurut istilah kedua, eksperimentasi hanya membantu kita sampai pada sebab pada tataran globalnya saja, akan tetapi pada istilah ketiga kita bisa sampai pada sebabnya secara detail.

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: