Karekteristik Akibat
Setelah menjelaskan tolak ukur kebutuhan akibat kepada sebab, sekarang kami akan menjelaskan karekteristik wujud akibat sehingga pada pembahasan yang akan datang akan membantu kita dalam menjelaskan berbagai argumentasi akan keberadaan Tuhan :
- Bergantung pada syarat-syarat
Salah satu ciri wujud akibat adalah bahwa dalam keberadaan dirinya membutuhkan syarat-syarat dan kekhususan-kekhususan tertentu, maksudnya bahwa jika syarat-syarat tersebut tidak ada maka wujud akibat tidak akan pernah merealitas. Misalnya uap air akan muncul disaat syarat-syarat yang lazim tersedia, seperti air, panas, dst. Jika kita memperhatikan satu-persatu akan fenomena-fenomena alam materi maka kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa seluruh fenomena-fenomena tersebut dalam keberadaan dirinya membutuhkan adanya syarat-syarat tertentu dimana jika syarat-syarat tersebut tidak ada maka keberadaan dirinya tidak akan pernah ada. Ciri kebergantungan ini terhadap syarat-syarat merupakan salah satu ciri ‘akibat’. Setiap wujud yang bergantung dalam syarat-syarat tertentu maka wujud tersebut adalah wujud akibat, karena jika dalam keberadaan dirinya tidak bergantung pada apapun dan independen maka tentunya hal tersebut tidak meniscayakan butuh pada syarat-syarat eksternal. Namun ini harus dipahami bahwa yang dimaksud dengan setiap wujud yang memiliki karekteristik tersebut adalah wujud akibat. Akan tetapi hal ini juga tidak berarti bahwa setiap wujud akibat meniscayakan memiliki karekteristik tersebut. Karena boleh jadi melalui argumentasi lainnya dapat dibuktikan bahwa terdapat wujud akibat yang tidak memiliki karekteristik tersebut.
- Perubahan
Tidak diragukan lagi bahwa sebuah wujud akan mengalami perubahan jika berada dalam syarat-syarat tertentu. Wujud tersebut akan menemukan kondisi baru dan kualitas-kualitas yang baru juga. Dalam mendapatkan kondisi-kondisi yang baru ini tentunya dibutuhkan sebab diluar dirinya. Karena perubahan tersebut tidak mungkin dihasilkan secara otomatis dalam dirinya sendiri. Disinilah dibutuhkan faktor eksternal yang memberikan efek terhadapnya dan kemudian efek ini memberikan kondisi-kondisi yang baru terhadapnya. Oleh karena itu setiap wujud yang menemukan kondisi dan perubahan yang berbeda-beda, maka wujudnya adalah wujud akibat dan tentunya membutuhkan sebab diluar dirinya. Namun harus diingat, hal diatas tidak bermakna bahwa setiap wujud akibat meniscayakan memiliki perbubahan-perubahan dan kondisi-kondisi yang beragam.
- Keterbatasan
Jika sebuah keberadaan dari sisi ruang dan waktu memiliki keterbatasan, maksudnya dia ada hanya pada ruang dan waktu tertentu dan selain hal tersebut tidak mungkin dia mewujud, maka hal ini menunjukkan bahwa ‘wujud’ bagi wujud tersebut tidak bersifat zati. lazimnya kezatian wujud yaitu tidak akan pernah dan tidak mungkin dinafikan wujud darinya. Oleh karena itu bagi wujud yang memiliki keterbatasan ruang dan waktu maka niscaya wujud tersebut bukan wajibul wujud secara zati (bizzat). Karena itu pula dalam eksistensi dirinya membutuhkan sebab diluar dirinya yang akan memberikan wujud terhadapnya. Karekteristik ketiga ini pun tidak seluruhnya berlaku pada setiap wujud akibat. Karena banyak wujud-wujud akibat yang tidak berada pada ruang dan waktu akan tetapi mereka adalah wujud akibat. Tapi tentunya mereka memiliki keterbatasan tertentu juga yaitu keterbatasan eksistensial. Insya Allah kami akan menjelaskan lebih lanjut pada pembahasan yang akan datang.
=> Keberiringan Sebab dan Akibat
Salah satu prinsip dalam kausalitas adalah mengenai keberiringan antara sebab dan akibat. Maksudnya kapan saja sebab sempurna ada maka akibat pun ada. Dalam kata lain jika seluruh hal-hal yang meniscayakan akibat tersebut merealitas di alam eksternal dan tidak ada yang menjadi penghalang akan keberadaannya maka tidak mungkin ada jarak waktu dengan sebab sempurna dalam meng-ada-kan akibat tersebut. Bahkan secara niscaya akibat tersebut ada dikarenakan keniscayaan keberadaan sebab sempurna. Karena jika ada jarak – walaupun jarak yang sangat sedikit – antara sebab sempurna dengan akibat, maksudnya bahwa walaupun sebab sempurna telah siap akan tetapi akibat darinya belum juga ada, maka hal ini meniscayakan terjadinya kontradiksi karena ‘sebab’ menjadi sebab sempuna dan sebab tidak sempurna pada saat yang bersamaan dan tentunya hal ini adalah mustahil. Oleh karena itu berdasarkan prinsip kausalitas telah dibuktikan bahwa sebab sempurna tidak mungkin mendahului akibat dari sisi waktu (taqaddum zamani). Untuk menjelaskan lebih jauh baiknya anda perhatikan contoh berikut ini ; ketika ada kunci di tangan anda dan anda ingin membuka pintu dengan kunci tersebut, kapan saja anda memutar tangan anda maka niscaya kunci itu pun ikut berputar seiring dengan bergeraknya tangan anda, tidak mungkin tangan anda bergerak namun kunci tersebut tidak bergerak seiring dengan gerak tangan anda. Walaupun dengan jelas anda memahami bahwa gerak tangan anda lebih dahulu dari pada gerak kunci. Namun ini harus dipahami bahwa ‘dahulu’ dalam konteks ini bukan dalam pemaknaan waktu (taqaddum zamani), tapi para Filosof menyebutnya sebagai taqaddum rutbi (hierarchic priority ; priority in terms of rank).
=> Keindentikan Sebab dan Akibat
Salah satu pembahasan lain yang biasanya dibahas dalam pembahasan kausalitas adalah berkenaan tentang keidentikan antara sebab dan akibat. Dalam pandangan filsafat, yang dimaksud dengan identik adalah bahwa setiap akibat tidak mungkin berasal dari setiap sebab. Di sisi lain setiap sebab tidak mungkin lahir darinya setiap akibat. Prinsip ini juga dibangun berdasarkan prinsip yang lain yaitu bahwa ‘yang tidak punya tidak mungkin memberi’. Maksudnya bahwa sesuatu yang tidak memiliki sifat tertentu maka tidak mungkin ia memberikan sifat tersebut pada yang lainnya. Manusia yang dalam inti kediriannya adalah kefakiran murni, maka dirinya tidak mungkin memberikan uang pada yang lainnya. Yang jahil (tak berpengetahuan) tidak mungkin memberikan pengetahuan pada yang lainnya.
Berdasarkan hal ini ‘sebab’ pasti memiliki kesempurnaan akibatnya dalam derajat yang lebih sempurna dan lebih tinggi, sehingga berdasarkan hal tersebut sebab memberikan kesempurnaan kepada akibatnya. Oleh karena Zat wajibul wujud merupakan sebab pertama akan seluruh keberadaan alam maka meniscayakan diri-Nya memiliki seluruh kesempurnaan segala keberadaan yang ada.
=> Kemustahilan Daur dan Tasalsul
Pembahasan yang kedua di antara pembahasan yang lazim untuk dibahas sebelum masuk dalam pembahasan inti yaitu dalam membuktikan keberadaan Tuhan adalah tentang batilnya prinsip daur dan tasalsul.
=> Batilnya Daur (circle)
Daur jika dikaitkan dengan wujud adalah dua sesuatu dimana masing-masing dalam aspek kewujudannya saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Misalnya jika wujud ‘A’ akibat dari wujud ‘B’ dan kemudian pada saat yang sama wujud ‘B’ adalah akibat dari wujud ‘A’ maka hal tersebut melazimkan daur dan tentunya daur seperti ini adalah mustahil. Karena melazimkan akibat ‘A’ setelah adanya ‘B’ namun disisi lain sebab ‘A’ harus ada sebelum ‘B’ ada.
Berdasarkan hal ini kita tidak dapat mengatakan bahwa dua keberadaan dalam mewujudkan dirinya mungkin saja satu sama lain saling memberikan keberadaan, karena hal ini meniscayakan bahwa tidak satu pun dari dua wujud tersebut akan meng-ada. Hal tersebut akan melazimkan daur dari sisi eksistensi dan tentunya hal tersebut adalah mustahil sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya.
Agar kita dapat memahami lebih jauh akan persoalan tersebut, perhatikan contoh berikut ini ; asumsikan bahwa salah satu pintu kamar tertutup, sementara kunci dari pintu tersebut berada di dalam kamar dan tidak ada jalan lain untuk masuk ke kamar itu kecuali melalui pintu tersebut. Berdasarkan asumsi ini maka pintu ini tidak akan bisa terbuka, karena untuk mendapatkan kunci harus masuk melalui pintu kamar dan untuk masuk melalui pintu kamar dibutuhkan kunci agar pintu kamar tersebut dapat terbuka.
=> Batilnya Tasalsul
Yang dimaksud dengan tasalsul dalam kaitannya dengan mata-rantai sebab-sebab eksistensi misalnya ‘A’ akibat dari ‘B’ dan ‘B’ akibat dari ‘C’ dan ‘C’ akibat dari ‘D’ dst, dan mata-rantai ini berlangsung hingga tak terhingga dan tidak akan pernah sampai pada sebab yang tidak disebabkan oleh yang lainnya.
Mata-rantai seperti ini ‘mustahil’ menurut Filosof. Hal tersebut akan melazimkan bahwa tidak satu pun dari wujud tersebut dapat eksis. Jika diasumsikan bahwa masing-masing dari mata-rantai wujud tersebut seluruhnya adalah bergantung (akibat = wujud yang bergantung) maka secara rasio, mustahil mata-rantai keberadaan-keberadaan yang bergantung tersebut tidak berakhir pada sebuah wujud yang tetap dan independen. Karena jika tidak demikian maka asumsinya akan sama dengan angka yang berasal dari mata-rantai ‘nol’ yang tak terhingga, atau keberadaan (ada) berasal dari mata-rantai ‘tiada’ yang tak terhingga. Berdasarkan dengan asumsi sebelumnya bahwa masing-masing dari mata-rantai wujud-wujud yang tak terhingga tersebut berasal dari wujud lainnya dan dimana masing-masing wujud tersebut secara zati tidak memiliki eksistensi sama sekali, artinya pada hakikatnya jika tidak ada sebab di luar dirinya maka dia tidak mungkin ada. Oleh karena itu jika kita mengatakan bahwa mata-rantai ini yang tak terhingga tidak akan berakhir pada wujud wajib dan independen maka sama saja jika kita mengatakan bahwa dari mata-rantai ‘nol’ menghasilkan kuantitas, atau dari mata-rantai ketiadaan yang tak terhingga akan menghasilkan keberadaan, dan tentunya asumsi seperti ini sangat jelas kebatilannya.
Berdasarkan hal di atas – tentang batilnya tasalsul dalam kaitannya dengan mata-rantai sebab-sebab eksistensi – maka mata-rantai kausalitas niscaya akan berakhir pada sebuah eksistensi wajibul wujud sebagai sebab pertama dimana keberadaan dirinya tidak berasal dari selain dirinya. Tidak mungkin mata-rantai kausalitas tersebut berlanjut hingga tak terhingga.
Setelah menjelaskan beberapa hal penting dan lazim yang akan membantu dalam menjelaskan pembahasan yang akan datang, maka saat ini kita akan masuk pada pembahasan inti berkenaan dengan argumentasi pembuktian wujud Tuhan. Dalam kesempatan ini kami akan menjelaskan beberapa argumentasi penting dalam pembuktian wujud Tuhan.
=> Argumentasi Pembuktian Wujud Tuhan
Secara garis besar kita dapat membagi argumentasi pembuktian wujud Tuhan menjadi dua pembagian besar. Sebagian dari argumentasi tersebut hanya bersandar pada pikiran semata tanpa melihat wujud-wujud alam tabiat dan alam mumkin. Bagian kedua adalah argumentasi-argumentasi dimana pondasi dalam membuktikan wujud Tuhan tersebut berdasarkan pada alam tabiat dan alam mumkin.
Dalam kesempatan ini pertama-tama kami akan menjelaskan argumentasi yang cukup popular yaitu burhan ‘shiddiqin’ dimana pondasinya bertumpu pada pemikiran murni, dan selanjutnya kami akan menjelaskan argumentasi lainnya.