Ambil Islam seluruhnya, atau tinggalkan seluruhnya. Inilah prinsip hidup seorang laki-laki yang menjalani hidup dengan harga diri, dan menjemput maut dengan harga diri pula. Inilah teriakan lantang seorang anak manusia yang menggoncangkan tahta thaghut dimanapun dia berada. Inilah teriakan Sayyid Quthb kepada seluruh umat manusia.
Sayyid Quthb Ibrahim Husain, atau lebih dikenal dengan nama Sayyid Quthb, lahir pada tanggal 9 Oktober 1906 di Mausyah, salah satu provinsi Asyuth, di datara tinggi Mesir. Kehidupannya dibangun di atas pondasi keislaman yang kuat. Karena pada usia 11 tahun, Beliau sudah menyelesaikan hafalan al-Qur’annya dan menjadi seorang hafidz. Masa kecilnya juga penuh diwarnai oleh nuansa pergerakan yang kental karena ayahnya merupakan anggota Komisaris Partai Nasionalis di desanya. Sehingga rumahnya merupakan pusat informasi dan diskusi para aktivis partai.
Pada masa kuliah, Sayyid Quthb sangat terpengaruh oleh pemikiran Abbas Mahmud al Aqqad yang cenderung pada pemikiran Barat. Oleh karenanya, Beliau semakin akrab dan berinteraksi secara intensif dengan literatur-literatur Barat.
Berkat kualitas dan hasil kerjanya yang luar biasa, Sayyid Quthb diberi kesempatan oleh pemerintah Mesir untuk menimba ilmu mengenai metode pendidikan Barat di Amerika Serikat. Tidak tanggung-tanggung, Beliau belajar di 3 tempat sekaligus, yaitu Wilson’s Teacher’s College di Washington (sekarang bernama University of the District of Columbia), the University of Northern Colorado’s Teacher’s College, dan Stanford University di California.
Ketika berada di Amerika inilah, Sayyid Quthb mengalami titik balik kekagumannya terhadap Barat. Sayyid Quthb terpukul oleh fenomena kebebasan seksual dan pelacuran yang meruyak dalam masyarakat Amerika.
Pada tahun 1952, Sayyid Quthb kembali ke Mesir dan bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Dan sejak saat itulah, kekuatan pena Sayyid Quthb mulai melancarkan kritikan-kritikan pedas yang emerahkan telinga para penguasa Mesir. Hal inilah yang kemudian memaksa Beliau untuk keluar masuk tahanan hingga akhir usianya.
Ketika berada dalam penjara, berbagai macan siksaan, baik fisik dan mental, dialaminya. Namun ini tidak membuatnya berhenti berkarya. Dan dalam kondisi yang demikian, lahirlah kitab tafsir Fii Dzilal al-Qur’an yang merupakan masterpiece Sayyid Quthb.
Akhirnya pada taggal 12 Agustus 1965, Sayyid Quthb, bersama dengan dua pemuka Ikhwanul Muslimin lainnya, dijatuhi hukuman gantung. Meskipun banyak permohonan untuk membatalkan eksekusi mati tersebut datang dari para pemimpin Islam, termasuk Raja Faisal bin Abdul Azis dari Arab Saudi, pemerintah Mesir tetap tidak bergeming. Pada tanggal 29 Agustus 1969, Sayyid Quthb menjalani hukumannya dan menjemput syahid, Insya Allah, dalam lilitan tali gantungan.
Meskipun sudah hampir 40 tahun Sayyid Quthb berpulang, namun buah pemikirannya masih tetap hangat diperbincangkan dan menginspirasi banyak orang. Ada sebagian pihak menganggapnya berpaham takfir. Namun tidak sedikit pula yang mencoba berbaik sangka terhadap Sayyid Quthb.
Bagi Sayyid Quthb, tauhid adalah inti dari segalanya. Oleh karenanya, memurnikan tauhid adalah pokok perjuangannya. Tauhid tidak lagi hanya mengesakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam pengakuan dzat ketuhanan dan tujuan penyembahan. Sayyid Quthb membawanya selangkah lebih jauh ke tauhid al-hakimiyyah. Yaitu pengakuan bahwa hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala sajalah yang berhak mengatur dan membuat hukum bagi alam semesta.
Sebagai konsekuensinya, syariat Islam adalah hal yang wajib adanya bagi setiap insan yang mengesakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Masyarakat yang tidak berhukum dengan syariat Islam tidak ubahnya dengan masyarakat Arab sebelum masa kenabian. Saat itu, masyarakat Arab mengakui Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai tuhannya namun mereka menyembah berhala-berhala. Itulah jahiliyah tempo dulu. Dan sekarang, manusia mempertuhankan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menyembah-Nya di masjid-masjid, namun mereka masih rela diatur dengan hukum-hukum buatan makhluk-Nya. Dan itulah jahiliyah modern.
Karena jahiliyah, menurut Sayyid Quthb, bukanlah pengingkaran terhadap risalah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam semata. Namun juga karena manusia-manusia tidak memurnikan tauhidnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mereka tidak merasa berdosa jika hidup mereka diatur oleh hukum-hukum buatan manusia. Mereka inilah thaghut. Sesembahan-sesembahan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menganggap dirinya berhak menentukan mana yang halal dan mana yang haram.
Meskipun dalam karya-karyanya bertebaran kata-kata “jahiliyah” dan “thaghut”, namun tidak sedikitpun niatan Sayyid Quthb untuk mengkafirkan saudara-saudaranya yang seiman. Ini hanyalah gaya bahasa Beliau yang menghentak-hentak kesadaran, mendobrak kebekuan, dan membangunkan dari keterlenaan. Setidaknya inilah yang dituliskan dalam kitab tafsirnya, “Sesungguhnya tugas kita bukan untuk menghukum manusia, ini kafir, ini Mukmin. Tapi tugas kita adalah mengenalkan hakikat tauhid – tiada tuhan selain Allah. Karena manusia tidak mengetahui konsekuensi kalimat tersebut, yaitu menerapkan hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan”.
Ambil Islam seluruhnya, atau tinggalkan seluruhnya. Sungguh saya malu dengan diri saya sendiri.
(Ringkasan dari Majalah Sabili No. 03 Th. XVI 21 Agustus 2008 / 19 Sya’ban 1429)