Seorang ulama menceritakan bahwa seorang penyair bernama Hajib keliru dalam memahami syafaat. Ia melantunkan syair ini :
“Jika Hajib bertransaksi di hari kebangkitan dengan Ali (bin Abi Thalib)
Berbuat dosa sesukamu dan saya akan menjamin.”
Di malam hari, ia bermimpi berjumpa dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam keadaan marah dan berkata kepadanya, “Engkau tidak melantunkan syair yang bagus.”
“Bagaimanakah sebaiknya?” tanya Hajib.
Imam Ali menjawab, Perbaikilah syairmu menjadi ini :
“Hajib jika bertransaksi di hari kebangkitan dengan Ali
Malulah kepada Ali, sedikitlah berbuat dosa.”
Ya, harus terdapat keserasian antara pemberi syafaat dan penerima syafaat. Antara pemberi syafaat (syafi’) dan yang diberi syafaat (masyfu’) harus memiliki hubungan maknawi. Itu agar masyfu’ dapat memperoleh syafaat. Sebab syafaat adalah pertolongan yang diberikan kepada seorang yang memang patut mendapatkannya.