Oleh : Akmal Kamil
Alangkah agungnya Revolusi yang engkau ciptakan wahai Husain,
Menerangi pemikiran dan hati, wahai Husain;
Melaluinya, umat manusia dibebaskan;
Melaluinya, bersemi kasih dan cinta;
Melaluinya, dunia bermandikan cahaya;
Dalam sebuah hadis dinukil sebuah riwayat yang menegaskan bahwa Muhammad SAW dan Ali Kw berasal dari cahaya yang satu. Cahaya Muhammad dan Ali merupakan turunan dari cahaya Tuhan. Mereka disimbolkan sebagai cahaya, dalam hadis tersebut, sebagaimana Tuhan yang menurut kitab suci adalah Cahaya langit dan bumi. Cahaya Tuhan, cahaya Muhammad dan Ali merupakan cahaya yang satu bergradasi. Titik konvergensi mereka adalah cahaya sebagaimana titik divergensinya. Dalam kamus Mulla Shadra, Tuhan dicitrakan sebagai Wujud. Wujud itu berderajat dan bergradasi. Dan Tuhan merupakan Wajibul Wujud, Wujud Segala wujud. Atau meminjam bahasa Syaikh Isyraq yang menyebut, Tuhan sebagai Cahaya segala cahaya, Nur al-Anwar. Cahaya Tuhan, yang juga bergradasi dan berderajat, kemudian setelah itu Cahaya Muhammadi (yang termasuk di dalam cahaya itu adalah Ali dan 11 keturunannya yang suci). Lantaran mereka adalah cahaya yang satu.
Hakikat cahaya adalah secara esensial bercahaya, benderang dan pada saat yang sama memberikan cahaya dan terang. Atau ibarat air di samping ia suci secara zati ia juga mensucikan. Para Imam dari keluarga Nabi SAW (Ahlul Bait) memiliki karakteristik sedemikian. Mereka adalah cahaya, benderang dan memberikan terang. Suci dan mensucikan. Seluruh Imam Ahlul Bait adalah tajalli cahaya Tuhan. Mereka bukan saja tajalli cahaya Tuhan, bahkan mereka merupakan tajalli atam (terlengkap) dan akmal (terparipurna) cahaya Tuhan.
Dalam konteks Imam Husain, yang – mestinya setiap harinya – kita peringati kiprah dan perjuangannya dalam membela dan mempertahankan Islam tetap pada relnya, juga merupakan manifestasi cahaya. Hadis nabawi ihwal Imam Husain menyebutkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Husain dariku dan Aku dari Husain”, juga dapat digunakan untuk menegaskan entri poin di atas.
Dalam altar sejarah, manusia mengenal Imam Husain sebagai tokoh pembebasan. Dengan sifat zati yang dicirikan kepadanya sebagai cahaya, ia benderang dan memberikan terang di zamannya. Ia adalah imam yang bangkit mengajak manusia kepada kebebasan hakiki. Ia bebas dan membebaskan. Ia merdeka dan memerdekakan. Seruan “merdeka” Al-Husain adalah seruan universal. Seruan yang membahana dan membakar setiap insan yang cinta kemerdekaan. Ia mengajarkan kepada umat manusia bagaimana menjadi manusia merdeka. Ia menyerahkan kepalanya, dan keluarganya, namun tidak menyerahkan tangannya untuk baiat kepada manusia bengis, Yazid bin Muawiyah. Tragedi Asyura hanya berlangsung beberapa saat, namun tragedi ini kemudian dikenang sepanjang masa. Mahatma Gandhi pernah ditanya tentang Imam Husain, ia berkata: “Perjuanganku banyak terilhami dari perjuangan Imam Husain.” Iya, bagi setiap pejuang, Al-Husain adalah teladan. Ia adalah insan yang merdeka sekaligus memerdekakan.
Demikianlah slogan yang patut kita tanamkan kepada mereka-mereka yang mengaku sebagai pecintanya. Dengan membuka lembaran sejarah Imam Husain, mari kita buka lembaran baru sejarah ke-Indonesia-an kita dengan semangat Husaini. Kita berikan nuansa baru dengan membaca sejarah kehidupan Al-Husain, Sang Pembebas, bahkan lebih dari sekedar membaca tapi juga menghidupkan ajaran-ajaran moral dan sosial Asyura Imam Husain.
Peristiwa tragis Asyura ini kurang-lebih 14 abad telah berlalu, mengapa kita harus memperingatinya? Bukankah peristiwa itu merupakan sebuah peristiwa sejarah yang telah berlalu; manis-getirnya sudah usai. Mengapa kita harus mengadakan majelis-majelis Asyura untuk mengenang peristiwa ini?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini boleh jadi terlintas pada benak setiap orang terkait dengan Asyura. Dalam menjawab pertanyaan ini kita berkata bahwa pelbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu pada setiap masyarakat dapat berperan konstruktif dalam menentukan pendulum sejarah masa depan dan nasib suatu komunitas. Kendati peristiwa sejarah tidak akan terulang apa-adanya sebagaimana ia, namun pada ranah sosiologi telah terbukti bahwa terdapat sisi-sisi common dan nilai-nilai universal di antara peristiwa sejarah; oleh karena itu, pada setiap peristiwa sejarah terdapat pelajaran yang dapat diambil untuk dijadikan sebagai bekal menghadapi masa depan dan mencetaknya dengan gemilang.
Memperingati Asyura tahun ini menemukan relevansinya tatkala kita berhadapan dengan kenyataan ril kehidupan yang serba permissif, gaya hidup hedonis, mekanisme machiavellian, dominasi suatu bangsa atas bangsa lain, tirani atas nama kebebasan dan kemanusiaan, pencitraan yang kurang tepat bagi mereka yang berjuang membela kehormatan, bangsa dan agama, budaya hipokrit, dan sebagainya.
Dalam menghadapi hidup yang sedemikian kompleks, tentu kita memerlukan sebuah lentera dan living compass yang dapat memandu kita menuju dermaga keselamatan dan cinta.
Dengan berpedoman dari tragedi Asyura, tentu kita banyak dapat menggali pelajaran dan meraup energi ekstra untuk sukses menghadapi kompleksitas persoalan ini. Hidup yang bercorak insania sekaligus Ilahiah, taat-azas, penghormatan terhadap hak-hak asasi, pengorbanan, keprawiraan, kecintaan, adalah energi ekstra dan segar yang ditawarkan Asyura di setiap tahun dan di setiap tempat. Penggalian dan upaya memahami nilai universal Asyura inilah yang menjadi dalih bagi kita untuk memperingati Asyura setiap tahunnya.
Sejatinya syiar Asyura adalah syiar kepada cahaya. Syiar cahaya al-Husain yang benderang menerangi semesta dengan pesan-pesan Ilahi dan insani yang disampaikan pada hari Asyura. Cahaya yang memancar dari wujud suci al-Husain sebagai jelmaan cahaya murni Tuhan adalah energi yang kita ingin “sedot” pada setiap acara Asyura.
Memperingati Asyura adalah sesuatu yang disebut dalam Al-Quran sebagai jelmaan ketakwaan. “Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya tindakan ini adalah sebagian dari tanda ketakwaan hati.” (Qs. Al-Hajj [22]:32) Asyura dan pesan-pesan Imam Husain di hari ini merupakan misdaq paling jelas dari syiar-syiar Allah ini. Lantaran tiada yang tersisa dari Islam sekiranya bukan pengorbanan yang dipersembahkan oleh al-Husain di hari Asyura.
Khawaja Mu’inuddin Chisti berkata, Imam Husain memberikan kepalanya, tapi tidak menyerahkan tangannya kepada Yazid. Sesungguhnya, Imam Husain adalah landasan kalimat tauhid, laa ilaha illa Allah. Husain adalah tuan dan tuan dari para tuan. Husain sendiri adalah Islam itu sendiri dan pelindung Islam. Meskipun dia menyerahkan kepalanya (untuk Islam) namun dia tidak pernah rela memberikan bai’at kepada Yazid. Sesungguhnya Imam Husain merupakan penegak panji “Laa ilaha illa Allah”.
Sir Muhammad Iqbal dalam mengomentari kiprah Imam Husain dalam memberantas akar-akar kezaliman berkata, Imam Husain mencabut akar-akar tirani dan despotisme selamanya hingga hari kiamat. Dia telah menyirami taman kebebasan yang kering dengan darahnya, dan sesungguhnya dia telah membangunkan umat yang sedang tidur. Jika Imam Husain memiliki maksud untuk mendapatkan kekuasaan dunia, dia tidak akan mengadakan perjalanan (dari Madinah ke Karbala). Husain lebur dalam darah dan debu, demi untuk menegakkan kebenaran dan mengokohkan pijakan tauhid kaum Muslimin.
Peringatan Asyura kali ini tentu lebih memiliki nuansa tersendiri karena beriringan dengan berbagai tragedi kemanusiaan yang terjadi di berbagai tempat. Seperti halnya tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza yang tak kunjung usai. Begitu pula upaya teror dari kelompok takfirisme yang ingin menggagalkan atau mengganggu peringatan kesyahidan Al-Husain tersebut.
Gaza bersimbah darah lantaran masyarakatnya tidak mau tunduk kepada kehinaan, sebuah dosa besar yang tidak dapat diampuni oleh agresor dan penjajah Israel, bahkan oleh sesama so-called muslim sendiri dari orang-orang dan raja-raja Arab. Sebuah ironi keberagamaan bagi kaum Muslimin dan ironi kemanusiaan bagi masyarakat dunia.
Betapa tidak, para misionaris hak-hak asasi terkait tragedi kemanusiaan Gaza ini bungkam seribu bahasa. Para penyokong demokrasi bersembunyi di balik meja perundingan untuk tidak terlalu malu karena tidak dapat berbuat apa-apa atas nama demokrasi di Gaza. Para pemburu teroris bertekuk lutut di hadapan terrorist state Israel yang memborbardir dengan rudal-rudal canggihnya bak bermain play station ke atas rakyat tak berdosa Gaza.
Demikian juga halnya, para mufti penguasa tiran kehabisan tinta untuk menuliskan fatwa kewajiban membantu rakyat Gaza dan melawan penguasa yang menghalangi dibukanya pintu demarkasi Rafah tanpa alasan yang jelas. Para raja-raja Muslim Arab yang rela menghabiskan milyaran Dolar untuk memasok bahan bakar jet-jet Israel untuk menyerang Hamas, karena Hamas dipandang mempropagandakan budaya perlawanan (resistensi) dan istiqamah (persistensi).
Banyak teman yang berkata bahwa tragedi Asyura kini berulang…Karbala kini hadir di Gaza. Di tempat itu, kezaliman berjajal dengan upaya penegakan keadilan, kehinaan bertarung dengan kemuliaan, penjajahan berduel dengan kebebasan, angkara-murka beradu dengan cinta-kasih, nilai-nilai Yazidi berperang melawan nilai-nilai Husaini. Anda dan saya memilih yang belakangan. Anda dan saya, mari bersama rakyat Gaza memekikkan…Haiat minna adz-Dzilla…Pantang Hina!!!! Mari…kita bangkit untuk berjuang.
(Diadaptasi ulang oleh Muttaqin Azikin)