Oleh : Musa Kazhim
Bagian 1
Salah satu istilah yang lazim dipakai oleh para sufi dan ulama akhlak adalah kata taqwa (selanjutnya ditulis, takwa). Dalam Al-Quran dan teks-teks hadis, sebagai kata kerja (fi’il) ataupun kata benda (ism), kata takwa telah disebut kira-kira sebanding dengan kata iman dan lebih banyak dari penyebutan kata shaum dan hajj, misalnya. Hal itu menunjukkan tinggi dan pentingnya kedudukan takwa dalam pandangan Islam.
Di dalam kitab Nahj al-Balaghah terdapat satu khutbah panjang yang bernama Khutbah al-Muttaqin. Khutbah ini disampaikan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib sebagai jawaban atas permintaan seseorang yang menginginkan penjelasan tentang sifat-sifat seorang yang bertakwa. Pada mulanya beliau menghindar untuk memberi jawaban dan hanya memberi tiga atau empat kalimat jawaban. Namun, orang yang bernama Hammam bin Syarih itu tidak merasa puas dengan jawaban singkat beliau dan berkeras meminta keterangan selanjutnya. Maka, berbicaralah Amirul Mukminin menyangkut karakteristik spiritual, intelektual, moral dan tindak tanduk orang-orang yang bertakwa sampai lebih dari seratus sifat. Para sejarahwan menulis bahwa khutbah Amirul Mukminin berakhir bersamaan dengan jatuh pingsannya Hammam.
Secara bahasa, kata takwa berasal dari akar kata waqyan, yang berarti “penjagaan” dan “pemeliharaan”. Dalam terjemahan bahasa Indonesia, belum terlihat ada orang yang menerjemahkan takwa dengan arti “memelihara” atau “menjaga” diri. Pada umumnya, orang Indonesia memadamkannya dengan “ketakwaan” atau “menjauhi (larangan Allah)”. Bila kata ini dalam bentuk kata kerja perintah, maka orang cenderung menerjemahkannya menjadi “takut”. Ungkapan ittaqullah, umpamanya, sering diterjemahkan menjadi “takutlah kepada Allah”. Padahal, tak seorang ahli bahasa pun yang mengatakan bahwa arti “takwa” adalah takut atau menjauhi (larangan).
Penjagaan dan pemeliharaan diri dari satu hal boleh jadi memang erat kaitannya dengan rasa takut terhadap upaya menjauhi hal tersebut. Jadi, dapatlah dipahami mengapa pada beberapa tempat kata takwa secara metaforis diartikan “menjauhi” atau “takut”. Tetapi, kita harus sadar bahwa maksud pokok dari kata itu adalah “memelihara” dan “menjaga” diri. Apa yang membuat kita membatasi arti ittaqullah pada “takutlah kepada Allah?”! Arti yang lebih tepat dari ungkapan itu adalah “peliharalah dirimu dari pembalasan Allah”. Oleh karena itu, terjemahan yang tepat dari kata “takwa” bukan “menjauhi” atau “takut”, melainkan “menjaga dan memelihara diri”.
Raghib al-Isfahani dalam kitabnya yang termasyhur, al-Mufradat li Alfadz Al-Quran mengatakan, “Kata wiqayah berarti menjaga sesuatu dari hal-hal yang menyakitkan. Adapun takwa berarti menempatkan diri dalam penjagaan dari sesuatu yang menakutkan. Kata takwa dalam pandangan syariat berarti menjaga diri dari hal-hal yang akan menyeret manusia kepada perbuatan dosa dan meninggalkan hal-hal yang dilarang dan diharamkan oleh-Nya.” Bahkan, secara gamblang Raghib mengatakan bahwa arti “takwa” ialah menjaga dan memelihara diri, sementara penggunaan kata “takwa” dalam arti “takut” adalah penggunaan majazi atau metaforis.
Berkenaan dengan rasa takut kepada Allah SWT, mungkin sebagian kita bertanya-tanya, apa maksud takut kepada Allah? Apakah Allah adalah Zat yang menakutkan? Bukankah Allah Zat Mahasempurna dan layak dicintai? Dan mengapa manusia harus takut kepada Allah SWT? Dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan ini, kita mengatakan bahwa memang Allah adalah Zat yamg mempunyai siafat-sifat baik yang tidak menyebabkan atau mendatangkan rasa takut. Takut kepada Allah SWT maksudnya ialah takut kepada hukum keadilan Allah. Di dalam suatu doa disebutkan : “Wahai Zat yang tidak diharapkan dari-Nya kecuali karunia-Nya, dan juga tidak ditakuti dari-Nya kecuali keadilan-Nya.”
Demikian juga dalam doa lain disebutkan : “Mahasuci Engkau yang tidak perlu ditakuti kecuali keadilan-Mu, dan tidak diharapkan kecuali karunia dan kebaikan-Mu.”
Keadilan itu sendiri pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang menakutkan. Manusia merasa takut kepada hukum keadilan karena ia sadar telah berbuat kesalahan atau melanggar hak-hak orang lain. Oleh karena itu, para sufi mengajarkan bahwa seorang pelancong spiritual harus mempunyai keseimbangan dalam merasa cemas dan berharap (Khawf dan raja’). Ia mesti senantiasa berharap dan cemas, berpikir positif sekaligus negatif secara seimbang. Maksudnya, seorang muslim harus senantiasa takut dan khawatir terhadap pembangkangan hawa nafsu dan kecenderungan jahat dalam dirinya, supaya kendali urusan tidak terlepas dari genggaman akal dan keimanan. Tetapi, pada saat yang bersamaan, dia harus tetap merasa yakin dan berharap akan kebaikan dan ampunan Allah SWT dengan memohon perlindungan dari-Nya.
Imam Ali Zainal Abidin dalam doa yang diriwayatkan oleh Abu Hamzah ats-Tsumaly mengatakan : “Tuhanku, aku berdoa pada-Mu dengan penuh rasa gentar, cinta, harapan dan kecemasan. Tuhanku, aku takut bila melihat dosa-dosaku, namun, jika aku melihat kedermawanan-Mu, aku menjadi penuh harapan.”
Bagian 2
Ada dua hal yang sangat khas pada manusia: kehendak-bebas dan akal. Kehendak-bebas berarti bahwa manusia dapat bertindak sesuai dengan keinginan dan pilihannya. Tidak ada kekuatan yang sanggup memaksa manusia untuk melakukan sesuatu secara permanen dan total kecuali bila yang bersangkutan menghendaki terjadinya pemaksaan tersebut. Jadi, mungkin saja ada orang atau kekuatan yang dapat memaksa manusia untuk melakukan suatu tindakan tertentu di waktu tertentu. Tetapi, tanpa kehendak untuk tunduk terhadapnya, maka pemaksaan tersebut tak akan lama bertahan. Orang-orang yang dipaksa melakukan sesuatu pasti akan punya kesempatan untuk melawan dan memberontak dengan cara-cara yang beragam. Bahkan, suatu saat bukan mustahil dia akan bisa mematahkan kekuatan pemaksa once and for all.
Selain kehendak-bebas, manusia juga mempunyai akal. Salah satu fungsi akal adalah mengarahkan kehendak-bebas manusia ke jalan yang benar. Akal dapat memahami prinsip-prinsip umum tentang jalan yang benar. Akan halnya rumusan rinci dan spesifik tentang jalan yang benar akal tidak mampu menjabarkannya. Tidak ada kesanggupan padanya untuk merinci soal demi soal atau praktik demi praktik yang dapat membawa manusia pada jalan yang benar. Sebagai contoh, akal bisa memahami penyembahan kepada Sang Maha Pencipta sebagai prinsip umum dan jalan yang benar. Namun, akal tidak bisa menjelaskan cara-cara untuk menyembah Sang Maha Pencipta secara rinci dan spesifik. Untuk itulah isyarat Ilahi diturunkan dalam rangka menjabarkan aturan-aturan khusus menyangkut prinsip umum “penyembahan” yang telah ditetapkan dan dibenarkan oleh akal.
Masalahnya kemudian adalah bahwa syariat sebagai kumpulan aturan dan tuntunan spesifik tidak akan efektif tanpa kesadaran dalam diri manusia untuk melaksanakan, menjaga, dan memeliharanya. Semua aturan dan undang-undang, baik yang datang dari manusia maupun yang dating dari Sang Maha Pencipta, tidak akan berguna tanpa adanya kesadaran yang demikian. Kesadaran semacam itu adalah prasyarat bagi keberhasilan dan efektivitas suatu aturan, baik di tingkat individual maupun sosial.
Dalam kaitan itu “bertakwa kepada Allah” bermakna bahwa seluruh aturan dan tuntunan Ilahi tidak akan berguna tanpa lahirnya ketakwaan dalam diri manusia. Hanya takwa yang bisa memunculkan swakarsa dan self-enforcement untuk melaksanakan semua aturan dan tuntunan syariat. Kekuatan atau kesadaran takwa dapat menghindarkan orang dari segala bentuk pelanggaran, baik pada tataran kehidupan pribadi maupun masyarakat.
Dalam kaitannya dengan takwa, setidaknya ada dua pembacaan di kalangan sufi. Pertama, takwa negatif yang besumber pada upaya menjauhkan diri dari noda-noda maksiat. Pada tingkat ini, takwa hanya menjauhkan diri dari hal-hal yang menjurus pada kemaksiatan; persis seperti upaya seseorang memelihara kesehatan fisiknya dengan menjauh dari lingkungan yang diduga tersebar penyakit atau wabah tertentu. Yang demikian tak pelak akan membawa sikap reaktif terhadap segala kemungkinan adanya penularan. Mendekati suatu tempat atau bergaul dengan suatu kelompok yang diduga tertular, dengan alasan apapun, jelas-jelas merupakan pantangan.
Kedua, takwa positif yang bersumber pada kekuatan dalam jiwa. Pada tingkatan ini, takwa bukan hanya menjauhkan orang dari lingkungan maksiat, malainkan menjaga dan membentenginya, terlepas apakah noda-noda itu berada ditempat yang jauh ataupun dekat. Sekiranya orang seperti ini tinggal di lingkungan yang penuh dengan berbagai fasilitas maksiat, maka kekuatan takwa yang ada dalam dirinya akan menjaga dan mencegahnya dari pencemaran lingkungan sekitarnya. Dan ini tak ubahnya seperti orang yang telah menjalani vaksinasi sehinga menjadi kebal terhdap pengaruh-pengaruh penyakit.
Kekebalan yang datang dari takwa ini sudah terang tidak bersumber pada faktor-faktor fisikal-ekternal, melainkan bersumber pada aktivasi potensi-potensi spiritual–internal untuk menolak segala macam keburukan yang dapat mengancam kesehatan aspek ruhani manusia. Dan salah satu potensi itu tak lain adalah akal dan perenungan. Fitrah, kalbu yang bersih, kesabaran, tawakkal, keistiqamahan, dan lain sebagainya juga dapat memperkuat posisi akal dalam membentengi manusia.
Sayangnya, di kalangan para sufi, pembacaan negatif lebih umum berkembang ketimbang pembacaan positif. Akibatnya, berbondong-bondonglah orang menjauhi ruang-ruang kehidupan dan menyendiri di pedesaan. Padahal, semua itu hanya mengacu pada makna takwa negatif, lemah, dan temporer. Karena, coba kita bayangkan, kalau asumsinya memang takwa itu berarti hidup dalam kesendirian, maka orang yang “bertakwa” akan cepat (atau bahkan lebih cepat) terpengaruh oleh berbagai godaan yang muncul dalam keramaian dari pada kebanyakan orang yang tidak bertakwa. Lebih dari itu, bagaimana bila “keramaian” itu berlangsung dalam imajinasi dan fantasi, yang tidak bisa dihindari dengan lari dan menyendiri secara fisik?” Karena itu, takwa negatif itu sebenarnya lebih merupakan ketakutan, kecemasan, kegelisahan, dan bukan takwa yang sejati.
Barangkali, pembacaan negatif itu muncul lantaran sejak awal takwa telah dimaknai sebagai “menjauhkan diri dari dosa”. Lalu, secara bertahap, makna “menjauhkan diri dari dosa” terasosiasi dengan “menjauhkan diri dari lingkungan dan hal-hal yang mengakibatkan dosa”. Selanjutnya, “takwa” identik dengan pengucilan dan kehidupan asosial. Selanjutnya, takwa berbanding lurus dengan keterkucilan, keterasingan dan keterpisahan dari lingkungan; makin terkucil dan terpencil kehidupan, makin besar pula peluang orang untuk bertakwa. Perbandingan semacam ini menjadi tidak relevan dalam pembacaan yang positif. Sebab, orang yang benar-benar bertakwa akan tetap bersikap sejalan dengan syariat, bagaimanapun situasi dan kondisi di sekelilingnya.