Irfan & Akhlak

Wilayat dalam Irfan dan Tasawuf (1)

Oleh : Ruhullah Syams

Mukaddimah

Irfan dan tasawuf sebagai salah satu ilmu dan makrifat Islam dibagi atas dua bagian; irfan teoritis dan irfan amali. Bagian teoritisnya menjelaskan dan menafsirkan pandangan dunia irfan yang merupakan hasil dari syuhud kalbu dan akal para urafa dan bagian amalinya merupakan tuntunan dan riyadhah dalam menjalankan sair suluk untuk mendapatkan kesucian dan kesempurnaan insani hingga mencapai akhlak Ilahiah, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Nabi SAW: Takhallaqu bi akhlaaqillah (berakhlaklah dengan akhlak Tuhan).

Ilmu irfan dibandingkan dengan ilmu dan makrifat Islam lainnya memiliki keunggulan spesifik dalam tema bahasan wujud hakiki (wahdatul wujud) dan manusia hakiki (insan kamil). Dalam tema dan topik manusia hakiki, irfan Islami merupakan maktab yang paling sempurna membahas masalah ini dan paling tinggi menempatkan kedudukan manusia dalam tataran derajat eksistensi dan manifestasi Tuhan. Sebagai maktab yang mempunyai keluasan cakupan tentang hakikat manusia, ia bertanggung jawab memberikan penjelasan yang memadai tentang jalan kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki manusia, dimana perkara ini merupakan pusat perhatian dan cita seluruh umat manusia. Salah satu tema yang terdapat dalam irfan yang berhubungan dengan masalah ini adalah masalah wilayat, dimana perkara ini mempunyai pengaruh besar dalam meluaskan dan memekarkan makrifat dan substansi diri manusia. Tentang pentingnya wilayat irfani cukuplah kita melihat betapa dalam perjalanan menuju Allah SWT berpusat kepada makrifat insani, tingkatan-tingkatan, stasiun-stasiun, manazil, dan maqam-maqamnya, di mana salah satu terpenting dari itu adalah tingkatan dan maqam wilayat serta fana dalam Hak SWT.

Oleh karena itu, dalam hamparan realitas, ibaratnya nabi sebagai mentari dan wilayat adalah rembulannya dan cahaya-cahaya makrifat serta maknawi lewat perantaraan mereka memancar kepada segenap alam dan manusia. Faidh (emanasi) Ilahi dari batin kenabian sampai kepada wilayat dan dari wilayat sampai kepada pesalik jalan hakikat. Karena itu, wilayat merupakan landasan dan asas jalan tasawuf dan irfan Islami.

Dalam sistem penciptaan, keberadaan nabi, rasul, washi, dan wali adalah suatu kemestian untuk membawa manusia kepada cahaya hidayah, derajat tinggi, dan kesempurnaan insani. Dalam seluruh periode zaman, seorang nabi atau rasul serta sesudahnya seorang washi atau wali sebagai pengganti mereka senantiasa bergantian berdatangan. Sistem kenabian dan kerasulan Ilahiah ini dimulai dari hadhrat Nabi Adam As, hadhrat Nabi Nuh As, hadhrat Nabi Ibrahim As, hadhrat Nabi Musa As, dan hadhrat Nabi Isa As beserta washi-washi mereka, hingga kedatangan nabi dan rasul terakhir hadhrat Khatam SAW, di mana tidak ada lagi nabi dan rasul yang datang sesudahnya. Sebagai pengganti dan pelanjut hadhrat Khatam SAW, Tuhan telah menetapkan 12 washi dan wali, dimana yang paling akhir dari mereka adalah mentari khatam wilayat hadhrat Mahdi As, yang mengemban penerimaan faidh dan hidayah Tuhan serta menyampaikannya kepada seluruh manusia. Dengan tenggelamnya mentari akhir ini maka kiamat pun datang dan hukum dunia berganti dengan hukum akhirat serta wajah akhirat menampak dan tinggal serta tetap untuk selamanya.

Para wali Tuhan yang menempati maqam wilayat, mereka itu adalah pengganti dan penyambung mentari cahaya kenabian kepada seluruh alam dan manusia. Mereka adalah pengungkap rahasia-rahasia Ilahi yang ditutup dan ditinggal para nabi dan rasul Tuhan, sebab para nabi dan rasul ditugaskan untuk menjelaskan syariat Tuhan dan membimbing manusia pada keimanan, ibadah, dan amal saleh. Oleh karena itu, apa yang tidak sempat mereka ungkapkan akan diungkap oleh washi dan wali-walinya. Para ausiya dan auliya Tuhanlah yang membukakan rahasia-rahasia yang ditinggalkan tertutup oleh para nabi dan rasul. Banyak dari rahasia-rahasia kesturi hakikat dibiarkan tidak terjamah  oleh jari-jari para nabi dan rasul, namun dibuka dan disiarkan oleh para washi dan walinya.

Wilayat dan Nubuwwat                             

Walayat (dengan fatha huruf wau), dalam bahasa bermakna pertolongan  dan dengan kasrah huruf wau (wilayat) bermakna kepemimpinan, dan kedua lafazh ini (walayat dan wilayat) merupakan masdar dari lafazh waliy, seperti kata dalalat dan dilalat. Wilayat juga bermakna rububiah, dan karena makna ini Tuhan berfirman: “Di sana, walayat (pertolongan) itu hanya dari Allah Yang Mahabenar. Dialah (pemberi) pahala terbaik dan (pemberi) balasan terbaik.”Sebab orang-orang kafir berpaling dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya dan mereka akan menjauh dari sesembahan dan tuhan-tuhan mereka.

Wilayat juga bermakna mahabbah (kecintaan). Wilayat, tegaknya hamba dengan Hak SWT dalam keadaan fana dari dirinya. Dan wali adalah fana dalam Hak SWT serta langgeng dengan Hak SWT. Oleh karena itu, wali mutlak adalah hamba yang mentarbiyah (seseorang) fana hingga sampai kepada akhir maqam qurb. Wilayat dikatakan juga memelihara kepenjagaan Hak SWT, dimana Dia menjaga sang hamba dari segala sesuatu yang bertentangan dengan qurb, seperti ayat: “Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah dan rasul-Nya”  mengisyaratkan tentang makna ini.

Sebagian urafa memandang bahwa substansi awal ciptaan adalah ruh Nabi Mulia SAW. Mereka berpandangan tentang keberadaan dua sisi dari ruh tersebut. Satu sisi dari itu mereka sebutwilayat, dimana ia menerima emanasi Hak SWT dan satu sisinya lagi mereka sebut nubuwwat(kenabian) yang menyampaikan faidh kepada seluruh manusia yang didapatkannya dari Hak SWT.  Oleh karena itu, perjalanan kesempurnaan secara busur naik menjadikan wilayat adalah batin daripada nubuwwat, sedangkan pengembanan misi dan rahasia-rahasia Ilahiah menjadikan wilayat merupakan kelanjutan daripada batin kenabian.

Nubuwwat

Nubuwwat (kenabian) dari sudut pandang irfan  memiliki hubungan yang sangat erat dengan wilayat, karena itu sebagai bagian dari pembahasan dipandang perlu untuk mengungkap pemahaman dan konsep  ini secara tinjauan irfani.

Dalam menentukan akar kata nabi terdapat tiga kemungkinan. Pertama, nabi berasal dari kata“naba-a” yang bermakna  berita atau kabar. Sebab nabi mengabarkan berita dari Tuhan dan menyampaikan kepada manusia tentang zat, sifat, perbuatan, dan hukum-hukum-Nya.  Kedua, kata nabi berasal dari kata “nabwah” dan “nabaawah” yang berarti ketinggian. Sesuai dengan kata ini nabi adalah orang yang memiliki posisi mulia dan tinggi derajatnya. Ketiga, sebagian memandang nabi bermakna jalan, sebab para nabi merupakan jalan-jalan hidayah manusia kepada Hak SWT. Dari ketiga makna yang disebutkan di atas makna pertama yang lebih masyhur dikalangan ulama, terutama karena memiliki hubungan yang selaras dengan risalah kenabian sebagai pembawa berita dari Tuhan. Ini juga sesuai dengan definisi ulama lugah Ragib Isfahani dimana ia menyatakan: Nubuwwat adalah kedutaan antara Tuhan dan hamba-hamba-Nya yang berakal, yang mana untuk melengkapi perkara maad (eskatologi) dan kehidupan mereka. Dan nabi dikatakan nabi dikarenakan dia berbicara tentang hakikat yang mana akal intelek  mengambil ketenangan dengannya. (Bersambung).

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: